Kamis, 05 November 2009

THAGHUT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada bukhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2 : 256)

Allah SWT menyebutnya ‘Thaghut’, yaitu syaithoon atau apa saja yang disembah kecuali Allah. Menyembah berhala adalah syirik, semua orang yang beriman mengetahuinya, jika segala sesuatu mempunyai makna lahir dan batin, maka makna batin dari berhala begitu luas, dari yang mudah dilihat sampai yang tersembunyi dan sangat tersembunyi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Sesungguhnya jumlah penyakit hati itu ada enam puluh enam banyaknya.’ Penyakit ini sungguh sangat berbahaya, karena para masyaikh menyebutnya syirik khofi (syirik yang halus), dan syirik adalah dosa yang tidak ada ampunan-Nya.

Sebut saja binatang riya, sejak kecil binatang jinak ini sudah menjadi peliharaan kesayangan, dalam setiap kesempatan diberinya makan, sehingga bertambah umur seseorang maka bertambah gemuklah binatang kesayangan ini. Makanannya berupa suka ‘pamer,’ dan mendapatkannya sangat mudah. Ironis memang, cara orang tua memberikan motivasi kepada anaknya adalah dengan banyak memuji atas tindakan-tindakan yang positif, hati sang anak terbiasa dengan hal ini, dan binatang riya semakin gemuk, alhasil semakin hari ia membutuhkan makanan semakin besar pula. Memasuki usia remaja (akil baligh), binatang ini bersahabat dengan syaithon, mereka berbisik agar setiap tindakan apakah prestasi disekolah, atau prestasi kegiatan eksta kurikuler, bermain piano, gitar, bahasa inggris segera di pamerkan, bertujuan hanya untuk mendapatkan pujian dari orang tuanya dan orang lain. Nah, begitu ia belajar melakukan ritual keagamaan, seperti shalat, puasa, membayar zakat dan shodaqoh binatang riya ini sudah menjadi liar, dan seseorang tidak dapat keluar dari perangkapnya, jadilah ia golongan penghibur yang mempertontonkan semua tindakan ritual keagamaan didepan orang tua dan teman-temannya, ‘sekarang aku sudah menjadi anak sholeh’ pikirnya, dan binatang riya pun bergembira karena terjamin makanannya.

Begitu binatang ini tumbuh menjadi liar, ia ingin mendapatkan makanan lain selain dari pamer, yaitu makanan yang berupa ‘pujian’ atas kegagahan melakukan peribadatan dengan cara memberitahukannya kepada orang lain (sum’a), apa saja bentuknya dari tindakan yang kecil sampai tindakan yang besar. Ia tidak peduli, bahwa lawan bicaranya akan merespon atau tidak.

Binatang liar itu menyelinap lagi, ia membutuhkan makanan yang berkualitas dan cara mendapatkannya sangatlah mudah, yaitu berupa ‘kekaguman’ terhadap diri sendiri (ujub) dan merasa lebih baik dari orang lain (takabur). Cukup dengan merasa bahwa ia sudah dapat melakukan peribadatan dengan baik, banyak bangun malam untuk shalat tahajud, dan disiang hari berpuasa, lalu menganggap bahwa ia pantas mendapatkan tempat yang layak karena ia lebih baik dari orang lain.

Sekarang yang menjadi pertanyaan mengapa riya, sum’a, ujub dan takabur melahap habis amal seseorang ? Inilah berhala-berhala yang bersarang didalam hati seseorang, karena setiap peribadatannya dipersembahkan untuk berhala-berhala ini, bukan untuk Allah SWT semata.

Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyaband berkata : ‘Hamba-hamba Allah tidak pernah merasa bangga dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya hanya karena cinta kepada Allah SWT. Seperti doa Rabi’ah al-‘Adawiyyah, yang tidak mencari Surga dan tidak pula karena takut akan siksa atas peribadatannya, melainkan hanya untuk Allah semata. Jika ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi dirimu sendiri, maka itu adalah syirik yang tersembunyi, karena engkau telah menyekutukan Allah baik dengan pahala maupun azab. Beliau juga berkata : ‘Adanya hubungan antara hatimu dengan sesuatu selain Allah adalah hijab terbesar bagi seorang pencari.’

Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili,ra., pernah ditanya oleh Gurunya : ‘Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?’ Beliau berkata : ‘Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.’ Gurunya menjawab : ‘Wahai anakku, ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu terhadap segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya.’ Banyak orang yang mendalami agama melalui pendidikan formal memegang teguh pada perbuatan mereka, atas dasar pahala dan azab. Jika mereka berbuat baik, mereka akan mendapat balasan berupa kebaikan dan sebaliknya bila mereka berbuat buruk mereka menemukan keburukan, lalu mereka bergantung pada amal perbuatannya itu. Bagi para pejalan (salik), hal tersebut merupakan syirik khofi (yang tersembunyi), karena telah menyekutukan Allah dengan amalnya. Walaupun melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk itu adalah suatu kewajiban, akan tetapi hati tidak boleh condong karenanya. Perbuatan itu hanya dilakukan karena Allah semata tanpa pamrih apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar