Kamis, 05 November 2009

DIMLAMA

Bismillaahir Rhamaanir Rahiim

Dia Yang Tak Bertara
Hanya bahasa kekasih yang diterima-Nya
Tanpamu wahai Syaikh, aku tak kan mengenal-Nya.

Kita mengenal istilah dimsum, yang digunakan oleh masyarakat China untuk memberi nama makanan yang dikukus dan disajikan secara tradisional, makanan ini cukup dikenal di negeri kita, biasanya dihidangkan pada waktu pagi atau sarapan. Lain lubuk lain belalangnya lain ladang lain pula isinya, untuk menyambut dan menghormati tamu, masyarakat di Samarkand biasa menghidangkan makan malam yang disebut dimlama. Terbuat dari perpanduan antara tomat, kentang, kol, seledri dan daging sapi yang dicampur dengan rempah-rempah tertentu, dimasukan secara bersamaan kedalam semacam guci kecil, lalu dikukus dalam waktu lama. Setelah matang, mereka menyebutnya dimlama, rasanya cukup enak dan tidak asing bagi masyarakat Indonesia, mirip somay, semur dan sup. Boleh jadi, nama makanan ini diambil dari proses pensucian diri dari tarekat Naqsyabandiyah, guci kecil mewakili qolbu dan beraneka ragam sayur mayur dan rempah-rempah didalamnya mewakili nafs yang beraneka ragam pula sifat-sifatnya. Dengan mengukus atau membakar (dzikir) guci (qolbi) yang berisi kesenangan-kesenangan duniawai yang beragam secara terus menerus dalam waktu yang lama, maka akan diperoleh sifat-sifat yang mahmudah (terpuji) dan menggantikan sifat-sifat yang majmumah (tercela).

Sungguh, bukan saja banyak kosa (suku) kata di negeri ini yang sama dengan negeri kita, bahkan budayanya. Sampai-sampai seseorang yang bernama Attabek sering berteriak ‘we are brother...!’, memang, keramah tamahan, bentuk muka, mata, hidung dan tinggi badannya sangat mirip dengan masyarakat jawa. Nama Attabek diambil dari gelar yang diterima dari Khalifah di Bagdad, atas kecakapan Imaduddin Zangki putera dari Sultan Malik Syah dalam memenangkan perang melawan tentara salib di tahun 1144 M. Imaduddin Zangki ini bersahabat dengan Najamuddin Ayyub ayah dari Sultan Salahuddin Al Ayyubi (1137-1193). Perbedaan pendapat mengenai asal muasal agama Islam masuk ke Indonesia, apakah dari Samarkand atau dari tanah arab, sekarang terjawab sudah. Dinegeri ini banyak orang Yaman (Hadramaut) yang menetap dan menikah dengan penduduk setempat sejak abad ke delapan sampai saat ini. Oleh sebab itu, di dalam sejarah Islam di Indonesia, kita pun mengenal pembawa agama yang hanif ini pada akhir abad ke tiga belas dan awal abad ke empat belas yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan saudaranya yang bernama Ibrahim Asmorokandi, ada juga yang berpendapat keduanya adalah orang yang sama. Asmorokandi diambil dari kata Samarkand, sebuah kota dekat Bukhara, yang mempunyai kebudayaan yang sangat tinggi, perpaduan antara kebudayaaan Romawi, Parsi dan Turki. Usia kota ini sudah lebih dari dua ribu lima ratus tahun, nama-nama besar yang pernah singgah disini antara lain, Alexander The Great, Jenghis Khan, Syaikh Jalaluddin Rumi, Timur Leng dan Babur. Jadi kemungkinan terdekat, kedua wali yang agung ini adalah berasal dari Yaman yang menetap di Samarkand. Di abad yang sama, tarekat Naqsyabandiyah di Bukhara sedang menjadi perhatian dunia, dipimpin oleh Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyaband, atau urutan yang ke tujuh dari seven pir, Wali Quthub pada zamannya, yang ucapannya, tindakannya, penglihatannya, pendengarnya, nafasnya, detak jantungnya semuanya cahaya yang mencahayai alam semesta ini. Kemudian diteruskan oleh seorang muridnya yang menikah dengan puteri tercintanya yaitu Syaikh Alauddin Al Attar. Oleh karenanya, Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan saudaranya Syaikh Ibrahim Asmorokandi bukan saja menyebarkan ilmu syariat ke bumi Indonesia akan tetapi berikut tasawuf.

Amir Temur (1336-1405) atau kita mengenalnya dengan nama Timur Leng, mungkin kebanyakan generasi muda sekarang sudah hampir melupakannya, mereka lebih senang mengingat atau menggandrungi golongan penghibur, pemusik atau pemain film (naudzubillah min dzalik), semoga Allah mengasihinya. Padahal beliau adalah salah satu tokoh Islam yang fenomenal, ‘The Great Wall’ atau ‘Tembok China’ yang perkasa itu dibangun, atas dasar adanya kekhawatiran dan ketakutan, bahwa Amir Temur dan pasukannya akan menyerang dataran China. Saat itu, beliau membangun kedinastian baru yang megah, membentang dari India sampai ke Medeteranian dan dalam kurun waktu beberapa dekade. Pusat pemerintahannya berada di Samarkand, dan dijadikannya sebagai symbol kedinastiannya yang baru. Beliau mempunyai beberapa orang putera, yang sangat dikenal adalah putera ketiganya Miranshah (1366-1408) dan putera bungsunya Shahruh (1377-1447). Yang bungsu ini sangat mencintai tarekat, setiap pergi dan pulang dari berperang atau safar yang terakhir dan pertama kali dikunjungi adalah rubat atau khanaqah. Cucu beliau yang sangat terkenal adalah Mirzo Ulugbeg (1396-1449). Amir Temur mempunyai sahabat dan sekaligus guru spiritualnya yaitu Sayyid Berke, putera dari Sayyid Umar, putera dari Sayyid Amir Kulal Al Bukhari, guru dari Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi. Amir Temur wafat didalam perjalanan penyerangan ke China, dimakamkan di Gur-Emir Mausoleum, Samarkand yang dibangun oleh puteranya yang bernama Muhammad Sultan (1376-1403), karena wafat di usia muda, pembangunannya diselesaikan oleh Mirzo Ulugbeg. Putera, cucu dan penasihat spiritualnya Sayyid Umar juga dimakamkan bersama-sama di Gur-Emir Mausoleum ini.

Sekarang kita mengetahui bahwa tokoh Islam yang fenomenal ini mempunyai seorang guru spiritual seorang Syaikh yang agung, sehingga kecakapan strategi berperangnya tak tertandingi dan dinastinya menjadi besar. Bersamaan di abad itu, tarekat Naqsyabadi sedang tumbuh subur di Bukhara dan Samarkand. Juga masih segar dalam ingatan kita, bahwa Sultan Salahuddin Al Ayyubi, tokoh Islam yang menggulingkan tentara salib, mempunyai sahabat yang sekaligus sebagai penasihat spiritualnya yaitu Syaikh Ahmad Rifai,ra., saudara dari Sulthonul Auliyai Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani (semoga Allah mensucikan Ruh-nya) pemimpin tarekat Qodiriyah.

Persis pada hari Jum’at Syaikhuna dan para sahabat menginjakkan kakinya di tanah Samarkand, tepatnya di komplek makam Imam Bukhari. Berbeda dengan di Bukhara, udara disini sangat dingin sampai merasuk kedalam tulang, hujan turun cukup lebat menambah suasana menjadi lebih mistik. Setelah memperbaharui wudlu, bergegas menuju kedalam mas’jid yang terletak didalam komplek pemakaman. Perhatian para penziarah beralih kepada rombongan Syaikhuna, bak melihat bulan terbit disiang hari. Setelah sholat Jum’at, sesepuh di Mas’jid itu bersilaturahmi dengan Syaikh, tak terkecuali Imam dan khotibnya. Suasana yang gaduh itu, tidak menghalangi Syaikh untuk mengalihkan pandangannya kepada seorang tua yang kelihatan kepayahan menuruni anak tangga, Syaikh bergegas memeluk dan menolongnya menuruni anak tangga, lalu sebagai tanda penghormatan, Syaikh memegang dan mengelus-elus janggut beliau, dan mulutnya terlihat komat-kamit membaca sesuatu, dan sebagai balasannya beliau memegang dada Syaikh tepat pada Latifatil qolbu.

Ajaib, kejadian itu membuat murid-muridnya hanya terpana, seperti menyaksikan sebuah film, kakinya bak terpendam kedalam tanah. Walaupun hatinya terus berkata-kata, ‘Pastilah dia bukan orang biasa’, namun tiada daya untuk bergegas mendekatinya. Akhirnya seorang murid mampu mengeluarkan kata-kata : ‘Syaikh jangan tinggalkan kami, dan jangan sampai kami kecolongan lagi.’ Kejadian itu, mengingatkan pertemuan Syaikh dengan orang-orang suci di Mas’jidil Haram beberapa waktu yang lalu, dan murid-muridnya hanya menjadi saksi bisu.

Sungguh ironi, jauh-jauh ke Bukhara dan Samarkand
Tak melihat cahaya didepan matanya

Para ahli hadis menjuluki Imam Bukhari ‘Amirul mukmin dalam hadis.’ Allah SWT menganugerahkan kepada Imam Bukhari pemahaman dan kecerdasan yang tak tertandingi. Ditambah lagi kemampuan menghafal sunah dan dapat membedakan hadis sahih dan daif. Dikalangan kaum muslim, karyanya sangat mulia dan bermutu tinggi, keakurasiannya sangat mengaggumkan. Dikampung-kampung yang sedang terkena musibah, penduduknya selalu membaca kitab hadis ini. Mereka jadikan karyanya itu sebagai sarana bertawasul kepada Allah, ini telah dilakukan dari generasi ke generasi. Hasilnya, mereka selalu mendapatkan pertolongan langit untuk menghadapi musuh atau menghilangkan wabah yang melanda mereka. Mereka menggunakan karya ini sebagai tawasul keistimewaan. Kemurnian, dan kesempurnaannya tidak tertandingi dan tidak ditemukan dalam karya-karya lainnya. Diakhir kehidupannya, beliau terusir ke Samarkand dari Bukhara karena menolak permintaan sultan saat itu, yang memerintahkannya untuk mengajarkan sunah hanya khusus kepada kalangan istana saja.

Penjaga makam menghampiri Syaikhuna dan mempersilakan berdoa di depan pusara Imam Bukhari yang letaknya dibawah bangunan yang sangat indah. Pada Umumnya penziarah biasa hanya diperbolehkan berziarah disekeliling bangunan tersebut. Setelah bertawasul, Syaikhuna membacakan doa-doa yang gagah itu yang dihadiahkan teruntuk Imam Bukhari.

Seorang murid menghadiahkan topi hijau dan sorbannya yang sudah bertahun-tahun menemaninya mengaji, kepada penjaga makam itu, begitu menerima ini, sang penjaga membalasnya dengan memberikan topi yang dipakainya, ia tak dapat menahan kegembiraannya, menari-nari kesana-sini bak mendapatkan harta karun yang demikian banyaknya. Setiap ada penziarah datang, ia ceritakan peristiwa itu, ‘Topi dan sorban ini aku terima dari ahli nasqsyabandi,’ katanya.

Orang-orang Indonesia memang mempunyai tempat yang khusus dihati warga Samarkand, khususnya yang hidup dilingkungan rubat, dikarenakan makam ini dibangun dan diperindah kembali atas permintaan Presiden Soekarno kepada Presiden Uni Sovyet saat itu. Peristiwa ini begitu akrab ditelinga masyarakat disana. Seseorang meriwayatkan, di awali oleh kunjungan Presiden Soekarno menziarahi Imam Bukhari, dilakukan ditengah malam yang gelap gulita, karena pemerintah Uni Sovyet merasa malu, bahwa makam tersebut berada ditengah hutan belantara, maka diaturlah sedemikian rupa, agar Presiden Soekarno tidak melihatnya, akan tetapi beliau melakukan wirid dan doa sampai waktu Subuh, dan terlihatlah segala sesuatunya. Kejadian ini membuat Presiden Uni Sovyet memerintahkan untuk membangun makam Imam Bukhari. Juga tercatat Presiden Soeharto pernah datang berziarah kemakam Imam Bukhari, dan memberikan bantuan untuk pembangunan komplek ini.

Cabang dan dahan dari pohon yang besar itu terlihat begitu artistik, daunnya berwarna hijau tua dan sangat lebat, disetiap ranting yang bercabang lebih dari tiga, terlihat ada sarang burung, rupanya pohon itu menjadi tempat tinggal suatu kabilah burung-burung gagak hitam, ada yang masih berumur muda dan ada yang sangat tua, akan tetapi mereka hidup rukun. Begitulah kehidupan burung-burung yang berada persis ditengah-tengah rubat Syaikh Ubaillah Al Ahror As Samarkand atau lebih dikenal dengan gelar Hoja Ahror Wali. Karomah-karomahnya sungguh hebat, dan terus akan menjadi pembicaraan masyarakat di Samarkand.

Sebuah riwayat mengatakan bahwa beliau berkata kepada Sultan yang berkuasa pada saat itu, Sultan Abu Said: ‘Janganlah engkau membalas serangan musuhmu yang datang memerangimu tunggulah sampai ada seekor burung gagak hitam tepat berada dibelakangmu.’ Pada waktunya tiba, ketika pasukan besar yang dipimpin Abdullah Mirza menyerang, dan seorang jendral minta izin Abu Said untuk melakukan penyerangan, beliau berkata: ‘Tahan dulu, sampai ada seekor burung gagak hitam berada dibelakangku, begitulah Syaikhku memberitahu.’ Dan ketika dilihatnya gagak itu berada tepat dibelakangnya, ia memerintahkan penyerangan. Kuda yang ditunggangi Abdullah Mirza tiba-tiba terperosok kedalam pasir yang penuh air, lalu ia ditangkap dan dipenjara dan Abu Said mendapatkan wilayah yang semakin luas.

Setelah beberapa tahun berselang, sultan menerima kabar bahwa Mirza Barbar kemenakan dari Abdulah Mirza telah menyiapkan 100.000 pejuang untuk menuntut balas dan membebaskan pamannya. Mendengar itu, Sultan Abu Said menghadap kepada Hoja Ahror Wali dan memberitahukan bahwa : ‘Kita tidak mempunyai cukup pejuang untuk melawannya.’ Hoja Ahror Wali berkata : ‘Jangan kuatir.’ Ketika Mirza Barbar dan pasukannya tiba di Samarkand, Sultan berkonsultasi dengan para jendralnya, dan mendapatkan advis untuk pindah ke Turkestan, lalu persiapan perpindahan dilakukannya. Mendengar itu Hoja Ahror Wali mendatangi Sultan dan berkata: ‘Bagaimana engkau bisa tidak mematuhiku ? sudah aku katakan janganlah engkau takut, dengan diriku cukup untuk menghadapi 100.000 pejuang.’ Hari berikutnya penyakit yang misterius menyerang pasukan Mirza Barbar dan puluhan ribu pasukannya mati, lalu Mirza Barbar menghendaki perdamaian dengan Sultan Abu Said dan meninggalkan Samarkand dengan membawa kekalahan.

Hoja Ahror Wali juga dikenal sangat piawai dalam menafsirkan Ayat-ayat Al Qur’an, beliau pernah berkata kepada murid-muridnya : ‘Akan saya sampaikan suatu rahasia dari beberapa rahasia sehubungan dengan hamdallah : 'Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (QS 1 : 2) Puji-pujian yang paling sempurna adalah dari Tuhan untuk Tuhan. Seperti sabda Sayyidina Muhammad, saw., : ‘Yaa Allah aku tidak mampu memuji-Mu, sebagaimana seharusnya memuji-Mu.’ Kesempurnaan pujian adalah ketika seorang hamba memuji-Nya dalam keadaan bahwa ia bukanlah apa-apa. Seorang hamba harus menyadari bahwa dirinya adalah kosong, tidak ada tubuh, dan tidak ada bentuk apapun, tidak ada nama, tidak ada tindakan, akan tetapi ia harus merasa bahagia dikarenakan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, telah meniupkan sifat-sifat ke-Illahi-an-Nya ke padanya.

Setelah melakukan ritual ziarah, Syaikhuna dan murid-muridnya menuju mas’jid Hoja ahror wali untuk sholat dzuhur, Imam mas’jid mempersilakannya untuk mengambil shaf yang pertama. Setelah selesai sholat, sang Imam memperkenalkan Syaikhuna kepada seluruh jamaah dan menghimbau untuk membaca doa.

Hoja Ahror Wali wafat di Samarkand pada tahun 1490, Sultan Abu Said dengan tangannya sendiri memanggul jasad yang suci ini menuju ketempat peristirahatan yang terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar