Kamis, 05 November 2009

KEFAKIRAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS 2 : 273).

Sesuatu yang paling mahal harganya diatas dunia ini adalah ‘kemiskinan’, karena untuk menjadi miskin, seseorang harus membelinya dengan seluruh ‘kekayaannya’, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Syaikh Ibrahim bin Adham (semoga Allah mensucikan ruhnya). Yang pertama menyerahkan seluruh harta bendawinya untuk Islam dan ‘mendidik’ jiwanya agar bergantung hanya kepada Allah SWT. Yang kedua adalah raja Balkh (w 165 H), empat puluh pedang emas dan empat puluh tongkat emas selalu mengiringi didepan dan dibelakangnya. Ketika hendak tidur beliau mendengar sebuah suara dari atap istananya : ‘Apakah engkau mencari Tuhan di dalam pakaian sutra dan di atas tempat tidur emas ?’ Lalu dilain waktu beliau marah tatkala seseorang tua (Nabiyullah Khidir,as.,) mengatakan bahwa ia tinggal di penginapan bukan di istana, beliau ditanya : ‘Siapa yang memiliki istana ini sebelummu ?’ Syaikh menjawab : ‘Keluargaku, yaitu ayahku, kekekku, buyutku dan ayah dari buyutku.’ Lalu beliau ditanya lagi : ‘Ke mana mereka semua pergi ?’ dijawab : ‘Mereka telah tiada, mereka telah meninggal dunia.’ Kemudian orang tua itu berkata : ‘Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, dimana seseorang masuk dan yang lainnya pergi ?. Berkobarlah jiwanya mengalami dua kejadian itu, lalu ia menaiki kudanya dan meninggalkan istana, diperjalanan ia bertemu dengan seorang gembala yang mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan, yang sedang menggembalakan domba-domba miliknya. Syaikh melihat lebih dekat dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya. Lalu Syaikh Ibrahim bin Adham memberikan jubahnya yang bersulam emas dan mahkotanya yang bertahtakan permata kepada gembala itu, juga sekalian dengan domba-dombanya. Sebagai gantinya Syaikh mengambil pakaian dan penutup kepala gembala itu, dan segera dipakainya. Lalu terdengarlah sebuah suara : ‘Betapa agungnya kerajaan yang kini engkau miliki, engkau telah membuang pakaian dekil keduniawian dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.’ Oleh sebab itu sangatlah beruntung orang-orang yang ditakdirkan dalam keadaan miskin, karena mereka telah memiliki sesuatu yang termahal diatas dunia ini dan terhindar dari kemurkaan Allah SWT, karena salah satu tanda kemurkaan-Nya adalah bahwa seseorang merasa takut kepada kemiskinan. Kisah, beberapa orang murid menangis meraung-raung, tak mampu berdiri dan serasa lemas sekujur tubuhnya, tatkala melihat keadaan para saudara sepengajiannya yang berada di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Rumahnya sangatlah sederhana terbuat dari kayu dan tanpa daun pintu serta letaknya berada ditengah hutan, bukan saja manusia yang tidak diundang dapat masuk tanpa izin, bahkan berbagai jenis binatang pun dapat keluar masuk seenaknya. Tangisnya bukan karena merasa kasihan terhadap kehidupan yang sangatlah sederhana itu, namun lebih jauh, merupakan tangisan bangga dan iri melihat keadaan mereka. Kemiskinan bagi murid-murid yang mengiringi Syaikhuna berkunjung kesana, masih merupakan hantu yang menakutkan, sedangkan mereka yang berada di Lubuk Linggau telah berada dalam keadaan itu dan menghadapinya dengan keceriaan dan kesabaran, semoga Allah SWT mensucikan dan mengasihi kita semua. Rasulullah, saw bersabda : ‘Jadikanlah aku hidup miskin, dan jadikanlah aku mati miskin, dan bangkitkan aku dari kematian di tengah-tengah orang-orang miskin.’ Dan beliau juga bersabda : ‘Celakalah orang-orang yang menjadikan dinar dan dirham sesembahan, celakalah orang-orang yang menjadikan jubah-jubah sesembahan.’ Jika ayat Al Qur’an diatas dicermati (QS 2 : 273), maka fakir mempunyai bentuk dan makna, bentuknya adalah kemiskinan dari harta benda dunia dan maknanya adalah tidak meminta dari siapapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Jadi, orang yang sangat tidak berpunya dan sedang mendambakan sesuatu, dapat pula disebut fakir. Oleh karenanya, mereka yang menafikan sarana-sarana kehidupan wajib dihormati dan dijunjung tinggi, karena mereka bergantung hanya kepada-Nya, sementara mereka yang mempunyai sarana-sarana dan bergantung kepada sarana-sarana itu, adalah orang-orang yang menduakan Tuhan. Orang miskin hidupnya selalu dalam tekanan, ia mempunyai daya jerit yang tinggi, direndahkan oleh orang banyak, namun mempunyai kedudukan yang mulia dimata Allah SWT, apa lagi daya jeritnya hanya ditujukan hanya kepada Allah SWT bukan kepada ciptaan-Nya. Mereka yang menyadari akan manisnya tekanan kehidupan, akan selalu mengharapkan kedatangannya dan mendekapnya bila tiba, lalu dengan suka cita menerimanya, karena semua ini adalah pintu gerbang tauhid, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pintu tauhid terbuka lebar dari kefakiran.’ Mereka merasa hina dihadapan Tuhannya dan tidak menghinakan dirinya dihadapan makhluk, mereka mengenal batas-batas jiwa rendahnya dan mencampakkannya. Sebaliknya bagi orang yang bergantung dari sarananya akan jauh dari tauhid dan terperosok kedalam jurang kemusrikan, yang dalam kehidupannya akan tersiksa lahir maupun batinnya, walaupun ia mempunyai segudang harta benda dunia ini, dan keturunan yang banyak, naudzubillah mindzalik. Orang yang kokoh bangunan keimanannya akan merasa takut dan risi bila duduk bersama-sama dengan orang kaya, karena akan selalu teringat sabda Rasulullah,saw., : ‘Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati.’ Sahabat bertanya : ‘Siapa orang mati itu?’ Beliau menjawab : ‘Orang-orang kaya.’

Kisah, sewaktu Syaikhuna sedang berkumpul dengan para murid-muridnya, datanglah seorang sahabat dan langsung mendekat dan mengajukan pertanyaan kepada Syaikhuna. Beberapa waktu beliau terlihat akrab dengan sahabat itu, yang menjadikan beberapa murid yang sedang berada disitu terusik. Setelah sahabat tiu berlalu, seorang murid yang tidak mampu menahan gejolak nafs-nya bertanya kepada Syaikhuna : ‘Mohon ampun Syaikh, terlihat Syaikh begitu memperhatikan dan melayani sahabat yang kaya tadi dengan penuh kasih sayang, apakah kedekatan seseorang diukur dari kekayaannya ?’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab : ‘Dia datang kesini dengan membawa kefakiran, bahwa hatinya sedang gundah, ia sangat mendambakkan ketenangan, karena terbelit hutang yang besar dan sedang dalam masalah hukum, engkau tidak lebih dari dia kefakirannya. Berinfak kepada fakir yang miskin adalah hal biasa, sedangkan berinfak kepada fakir yang bercukup hartanya adalah perbuatan orang-orang yang terpilih.’

Seorang Syaikh berkata : ‘Rasul telah meninggalkan tiga hal, yaitu kefakiran, pengetahuan dan pedang. Namun dalam kenyataanya, pedang telah diambil oleh raja, yang kemudian menyalahgunakannya, pengetahuan dipilih oleh ulama yang merasa puas dengan mengajarkannya semata-mata dan kefakiran dipilih oleh para darwis yang menjadikannya sarana untuk memperkaya diri mereka.’

Istilah fakir sering diartikan oleh orang awam sebagai keadaan miskin yang tidak mempunyai harta benda dunia, oleh karenanya mereka lebih menyukai kekayaan daripada kemiskinan, dengan alasan bahwa Tuhan telah memberkati mereka yang kaya dan menghinakan mereka yang miskin. Mereka berdalil bahwa Tuhan telah memerintahkan agar bersyukur manakala memperoleh kekayaan dan bersabar manakala dalam kemiskinan, dan hukuman akan muncul tatkala orang yang kaya lupa bersyukur dan orang yang miskin tidak bersabar. Padahal tidak seperti itu adanya, karena sabar dan syukur merupakan kecermelangan dan kemurnian jiwa yang diperoleh dari melakukan riyadhah dan mujahadah dengan gagah, dan bukannya ada dalam ucapan saja. Syukur adalah tidak mempergunakan sedikitpun fasilitas yang diterima dari Allah SWT untuk maksiat, melainkan digunakan untuk jihad di jalan-Nya, baik fasilitas berupa barta benda duniawi ataupun kesehatan lahiriyah dan batiniyahnya.

Allah SWT berfirman :
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’. (QS 14:7)
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(QS 2:153)

Seorang Syaikh ditanya tentang fakir, lalu tanpa berkata apapun beliau bersegera pergi meninggalkan dan menuju rumahnya, taklama kemudian beliau hadir kembali dan ditanya alasannya, beliau menjawab : ‘Aku teringat masih ada empat keping dirham dirumahku, maka aku infaqkan terlebih dahulu baru aku merasa nyaman berbicara tentang kefakiran.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Fakir adalah sebuah maqom dimana seseorang tidak lagi membutuhkan apa-apa lagi kecuali hanya Allah SWT saja.’ Ini menunjukkan bahwa kefakiran tidak bisa diraih oleh siapapun tanpa melakukan peribadatan yang keras dan terus menerus melawan hawa nafsunya. Fakir disuatu keadaan sudah tidak membedakan antara kekayaan dan kemiskinan harta bendawi, melulu hanya berkenaan dengan keadaan ruhaniyah seseorang. Selama kekayaan dipandang sebagai sampah dunia dan tidak membutuhkan apa-apa lagi, lalu kemiskinan dipandang sebagai anugerah dari Tuhan, maka tidak ada bedanya diantara keduanya. Kelompok inilah yang disebut-sebut dalam Al Qur’an mempunyai kedudukan yang tinggi dan keadaan spiritual yang murni (QS 2 : 273), oleh sebab itu barang siapa memberikan infak kepadanya, Allah SWT akan memberikan ganjaran berlipat ganda, berupa kecukupan khazanah hatinya.

Kefakiran adalah rahmat yang tinggi dari Allah SWT yang disemayamkan kepada orang-orang yang dipilih-Nya, oleh sebab itu ia menjadi symbol para wali dan hiasan para sufi. Bahkan lambang kefakiran ditunjukkan oleh mereka dengan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar. Namun para sufi terkemudian justru memakai baju yang layak dipakai orang kebanyakan, guna menutupi keadaan spiritualnya dihadapan orang banyak. Sudah merupakan hal yang logis, bahwa sesuatu yang sangat bermanfaat mempunyai kebalikan yang sangat membahayakan, misalnya surga dengan neraka, baik dengan buruk, dan seperti keimanan yang mempunyai lawan kekafiran. Bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah SWT, karena begitu banyak keistimewaan dalam kemiskinan dan merupakan sifat yang paling mulia. Dalam hal ini Rasulullah, saw., bersabda : ‘Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.’ Dan beliau juga bersabda : ‘Kefakiran adalah kemuliaan bagi mereka yang layak memperolehnya.’ Lalu bila demikian, apakah layak orang yang merendahkan diri tapi mengharapkan pujian dari orang lain menggunakan istilah : ‘Saya si fakir ini.’

Semua datangnya dari Allah SWT, oleh sebab itu kekayaan atau pun kemiskinan tidak bisa dipilih oleh manusia, ini adalah kekuasaan Tuhan, Dia akan memilih hambanya yang dikaruniai kekayaan dan demikian juga kemiskinan sekehendak-Nya. Namun, umumnya manusia bila dikaruniai baik kekayaan atau kemiskinan hatinya menjadi goncang. Bila kekayaan yang datang, manusia akan menjadi lupa diri dan sombong, dan bila kemiskinan yang datang, ia menjadi iri dan dengki. Seseorang yang mempunyai keadaan spiritual yang tinggi akan menyikapi dua keadaan ini secara arif, bila diberi kekayaan dia tidak akan lupa diri dan jika Tuhan menghendaki kemiskinan, ia tidak akan menjadi iri dan durhaka. Kekayaan akan rusak karena kelalaian dan kemiskinan akan roboh karena iri hati. Nah, bila kekayaan dan kemiskinan berkenaan dengan benda-benda dunia, dipandang bahwa semua benda-benda dunia itu milik Tuhan, dan sang pejalan mengucapkan perpisahan kepada kemiskinan, maka tidak ada bedanya antara kekayaan dan kemiskinan baginya. Sehingga keduanya sudah bukan merupakan hijab-hijab yang menghalangi perjalanan menuju Tuhan. Seperti yang terjadi kepada Nabiyullah Ayub,as., dan Nabiyullah Sulaiman,as., yang satu dikaruniai kemiskinan dan yang lain kekayaan, dan jika keridhaan Tuhan tergapai, tak ada perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, keduanya akan mendapatkan gelar kehormatan ‘Dialah sebaik-baik hamba.’

Orang-orang yang bergantung hanya kepada Allah SWT adalah fakir sejati, mereka menafikan segala sesuatu selain Allah Ta’ala (Laa Ilaaha Illallaah), mereka telah berpegang kepada tali tauhid yang kokoh, karena Allah SWT berfirman :
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS 112:2)

Melalui fakir, Jalan menuju kemurnian tauhid terbentang luas, dengan jeritan yang semakin keras dan dibarengi dengan riyadhah dan mujahadah yang gagah, maka sisa-sisa kedirian akan punah, lenyap seperti sebongkah es diatas bara api, penafiannya sempurna, bahkan dirinya pun sirna sehingga firman Allah SWT dibawah ini mengejewantah di dalam kehidupannya :

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (QS 112 : 1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar