Kamis, 05 November 2009

SYAIKH (PEMBIMBING RUHANI)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 3 : 31).

Debu-debu berterbangan bercampur dengan daun-daun yang telah gugur, sekelompok bocah mencoba mendekati Syaikhuna, dengan bahasa dan logat daerahnya mereka mengangkat tangannya, suatu tanda mengharapkan adanya pemberian uang untuk jajan. Tangan-tangan kecil yang terampil ini berebutan menerima ‘sum’ (sum adalah mata uang Uzbekistan) dari tangan suci. Beruntung sekali bocah-bocah itu, dalam usia yang relatif sangat muda sudah bersentuhan dengan cahaya diatas cahaya, tanpa mereka sadari bibit-bibit ketahuidan telah menyebar kedalam hatinya, barokah bersentuhan dengan tangan Syaikhuna akan mereka rasakan dikemudian hari, semoga saja Allah berkenan menumbuhkan bibit-bibit itu menjadi pohon yang kokoh, yang akarnya dibumi dan rantingnya menjulang kelangit, semoga garis silsilah tarekat Syaikhuna bersambung terus melalui bocah-bocah itu sampai akhir zaman nantinya. Syaikh Azizan Ali ar-Ramitani lahir dan tumbuh dewasa di desa Riwakar ini, jauhnya dua mil dari Bukhara, ahli dibidang fiqih dan tafsir Al Qur’an, kata-katanya dibuat sebagai rujukan atau referensi pada saat itu, khususnya masalah yang menyangkup hukum Islam. Azizan adalah gelar yang diperoleh untuk menggambarkan kedudukan spiritualnya yang tinggi, diambil dari bahasa parsi. Makam beliau berada diatas bukit, bersama kedua puteranya dan dikelilingi oleh makam ribuan muridnya. Pemandangan ini menggugah rasa, membuat airmata deras membasahi pipi, sungguh merupakan impian dapat tinggal di peristirahatan terakhir bersama-sama dengan sang guru dan sahabat-sahabat tercinta.

Suatu ketika, Syaikh Fakhruddin an-Nuri bertanya kepada Syaikh Azizan Ali ar-Ramitani : “Didalam Al Qur’an, Allah bertanya : 'Bukankah Aku ini Tuhanmu ? dijawab : Betul Engkau Tuhan kami dan kami menjadi saksi. (QS 7 :172), lalu mengapa di Hari Pembalasan nanti tidak ada satu makhluk pun yang mejawab, ketika Allah bertanya : 'Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini ? (QS 40 : 16). Syaikh Azizan Ali ar Ramitani menjawabnya : Pertanyaan yang pertama ‘‘Bukankah Aku ini Tuhanmu ?‘ Adalah saat dimana Tuhan memberikan ‘kewajiban atau amanah kepada ruh manusia, dimana makhluk-makhluk lain menolaknya dan meminta kesaksian dari manusia bahwa Dia adalah Tuhannya, maka dari itu manusia pun menerima kewajiban itu dengan menjawabnya. Akan tetapi di Hari Pembalasan, dimana ‘kewajiban dan amanah’ manusia telah berakhir, dan semua manusia baik secara sedikit-sedikit, sebagian besar atau bahkan seluruh kehidupannya merasa telah mengingkari amanah itu, dan disitulah awal dimulainya kehidupan lain, yaitu kehidupan spiritual, maka hal yang terbaik adalah diam. Percakapan secara spiritual akan terjadi yang mengalir dari dan ke hati tanpa ada hubungannya dengan lidah. Maka dari itu pertanyaan kedua itu tidak ada alasan untuk dijawab. Oleh sebab itu Tuhan sendirilah yang menjawab : ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini ? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS 40 : 16).

Beliau juga berkata : ‘Kerjakan dzikir dan jangan bertumpu pada hitungan. Tetaplah mengingat-Nya disaat makan dan bicara. Bekerjalah yang rutin walaupun sedikit.’

Jika saja, almarhumah Animarie Schiemel pengajar masalah Islam di Harvard University, penulis beberapa buku bernuansa tasawuf yang mempesona, adalah seorang pria yang berjenggot panjang dan memakai sorban tebal, berjubah panjang serta didepan namanya ada embel-embel Syaikh, Sayyid atau Habib, maka banyak orang akan mengantri untuk menjadi muridnya. Sebab sejak usia dini manusia sudah kadung mendapat gambaran, bahwa seorang syaikh atau seorang Waliyullah, mempunyai ciri-ciri seperti itu. Fenomena ini terjadi di negeri kita, orang berduyun-duyun mengikuti seseorang yang mempunyai tanda-tanda lahiriyah persis seperti itu, tanpa memperhatikan keadaan ruhaniyahnya, dan didukung oleh bicaranya yang piawai dalam bahasa Arab.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Seseorang yang ingin bertarekat, mempunyai hak untuk menanyakan kepada calon gurunya, perihal silsilah tarekatnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw, dan khirkoh tarekat apa saja asal tarekat itu mutabarah, dan sebaliknya calon gurunya mempunyai kewajiban untuk menerangkannya. Bila tidak ! dia adalah guru atau syaikh yang palsu, karena didalam tradisi tasawuf, gelar Syaikh itu sangat sakral, dan hanya disemayamkan kepada seseorang yang telah khirkoh didalam tarekatnya.’ Para murid dilarang untuk memakai gelar ini, meskipun ditanah Arab, syaikh, juga dapat berarti ‘tuan’, maka bila seseorang ingin hidup dilingkungan tarekat, berhati-hatilah dan periksalah bila ada embel-embel syaikh didepannya, maka tanyakan, apakah syaikh karena khirkoh dalam tarekat dari gurunya terdahulu atau syaikh yang berarti tuan. Jika kriteria seseorang syaikh berdasarkan jenggot yang panjang dan tebal, maka setiap kambing pun mempunyainya.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Di dalam tarekat Naqsyabandi, hanya seorang syaikh yang telah khirkoh dari syaikhnya terdahulu, yang mempunyai otoritas untuk dapat meng-ijazah atau mem-bai’at tarekat kepada muridnya, dan otoritas ini tidak bisa diwakilkan, seorang wakil talkin hanya diperkenankan mentalkin wiridan lainnya, bukannya perkerjaan tarekat yang baku.’

Ada kelompok tarekat yang sesama salik saling menyapa dengan sebutan ‘syaikh’ naudzubillah mindzalik, semoga Allah menambahkan ilmu kepada mereka. Lalu bila Syaikh-nya yang benar (khirkoh) datang, akan dipanggil dengan sebutan apa ? Semoga Allah SWT menyayangi mereka dan menambahkan ilmu yang berguna.

Tidak mungkin seseorang dapat mengendarai kapal terbang dengan sendirinya tanpa seorang pembimbing, begitu pula dalam bertarekat, guru atau seorang Syaikh mempunyai peranan yang sentral didalamnya. Seorang Syaikh mempunyai kaifiat-kaifiat yang baku yang diterimanya turun-temurun dari para masyaikh terdahulu yang bersambung sampai kepada baginda Rasulullah saw.Dengan bekerja sesuai dengan kaifiat ini, akan membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya. Tradisi ini dipertahankan sedemikian rupa, sehingga keasliannya dapat dijaga, sedikit saja ada penyimpangan maka akan segera dapat diketahui, karena di seluruh dunia kaifiat bertarekat akan sama. Syaikh juga mendapatkan otoritas untuk memberi wirid tambahan, sejauh bertujuan mempercepat jarak tempuh dan dapat dikerjakan oleh murid-muridnya. Seperti meramu obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit tertentu, jadi jangan heran bilamana murid-muridnya mempunyai tugas wirid yang berbeda-beda. Jika sasaran yang dituju oleh seseorang dapat dibayangkan dengan akal dan dapat dilihat dengan mata, ini umum dan mudah. Tugas seorang Syaikh tidak seperti itu, melainkan membersihkan hati murid-muridnya dari kotoran dunia yang telah menyatu kedalam hatinya, agar sang murid dapat terbang menuju kepada Dzat yang tidak dapat dibayangkan dengan akal, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berwarna. Dia sudah ada sebelum segala sesuatu ada, dan Dia akan tetap ada bila segala sesuatu musnah. Abadilah Dia tanpa berawal keabadian-Nya, kekallah Dia tanpa berakhir kekekalan-Nya. Dia kinipun sebagaimana Dia dulu. Dia Maha Berkehendak dan Maha Kuasa. Setiap kejadian yang akan terjadi, ada dalam pengetahuan-Nya jauh sebelum kejadian itu terjadi, sebagaimana telah Dia kehendaki dalam prakeabadian, tak lebih dan tak kurang, dan tepat sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Dia yang mendatangi makhluknya tanpa berpindah, Dia yang melihat makhluknya tanpa ‘berhadapan’, karena segala sesuatu yang dibayangkan oleh makhluk terhadap-Nya adalah bukan Dia. Karena Dia berfirman : 'Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.' (QS : 42: 11) dan firman-Nya lagi : 'Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.(QS : 6 : 103)'

Kupandang langit biru, ia menutup wajahnya, dan berkata
Pandanglah Syaikh-mu aku malu, ia cermin dirimu bukan aku

Kata ‘ikutilah’ pada ayat diatas adalah perintah mengikuti keadaan lahir dan batin dengan sekuat-kuatnya bagi seseorang kepada yang memberi perintah. Ini prinsip dalam bertarekat, dengan mengikuti perilaku lahiriah seorang Syaikh, maka akan berpengaruh kedalam keadaan batiniah seseorang. Ikutilah bagaimana Syaikh duduk didalam ataupun diluar majlis, bagaimana cara makan dan minum, shalat, memberi salam dan menerima salam, berbicara, diamnya, cara berdzikirnya serta mengikuti kaifiat-kaifiat pekerjaan tarekat dengan benar. Ini lebih dari cukup dan akan mengantarkan seseorang untuk terbang ‘mendekati’ cahaya, dan sebaliknya, jika seseorang acuh tak acuh terhadap perilaku Syaikh, bermalas-malasan, cepat bosan maka sia-sia saja perjalanannya, seperti keledai yang berputar-putar tidak sampai kemana-mana. Maka dari itu berjanjilah atau sumpah setia kepada seorang Syaikh, dan menyerahkan diri ini sebagai pengikut yang taat, tenggelamkan kecintaan baik yang terlihat ataupun tidak terlihat, sehingga tidak ada lagi yang terlihat dalam cermin hati kecuali hanya berkah Syaikh. Jika sudah demikian jalan kepada Rasulullah,saw., terbentang dan terang berderang yang akan mengantarkan kepada Allah SWT. Karena barang siapa telah baiat (berjanji setia) kepada Syaikh, sama artinya telah baiat kepada Rasulullah,saw., dan Allah SWT, seperti termaktub didalam firman-Nya : 'Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.' (QS 48 : 10).

Syaikh Al Alamah H. M. Zaini Ghani atau Guru Ijai (semoga Allah meridhoinya), begitulah masyarakat Islam di Kalimatan menyebut kecintaannya, berkata : ‘Jika engkau ingin mengetahui bagaimana Allah SWT memperlakukanmu, maka perhatikan bagaimana engkau memperlakukan gurumu.’

Jika seorang Raja berkata kepada rakyatnya ‘jika kalian benar-benar mencintaiku, ikutilah si fulan.’ Bayangkan jika kita adalah si fulan yang disebut oleh Raja itu, dan diberikan otoritas untuk membawa rakyatnya dengan caranya untuk dapat berdekat dengan Rajanya. Berarti kita mempunyai sifat-sifat yang nyaris sama bagai sang Raja, sehingga menjadikan tauladan dan petunjuk bagi rakyat. Ini perumpamaan yang harus berhati-hati mencernanya, bila tidak akan terperangkap kedalam kesyirikan. Akan tetapi tidak semua rakyat senang menerima perintah Rajanya itu, ada yang mencoba-coba mencari jalan-nya sendiri-sendiri, dan menganggap lebih cepat dari pada mengikuti petunjuk sang Raja. Ketahuilah tanpa seorang pembimbing, perjalanan seseorang akan sia-sia. Seperti yang termaktub dalam firman-Nya : 'Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.' (QS 18:104) Sesungguhnya dengan ayat ini sudah cukup memberikan peringatan bahwa manusia ini bodoh, tanpa seorang pembimbing ruhani atau seorang Syaikh jangan berharap dapat membedakan mana tindakan yang bermanfaat dan sebaliknya. Sangat sedikit yang menyadari bahwa secara usia manusia sudah termasuk golongan dewasa akan tetapi tindakannya masih seperti anak kecil yang senang bermain-main di dunia ini. Alasannya sungguh jelas, seperti yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) katakan : ‘Bahwa sejak kecil manusia sudah berdzikir ‘dunia’ bukan berdzikir kepada Tuhannya. Sehingga hatinya kadung terwarnai dan terbelenggu dunia, dan sifat dunia adalah kegelapan, maka manusia tidak dapat melihat kebenaran-kebenaran.’

Wahai sahabat, berhentilah sejenak dipintu gerbang Syaikh
Disitulah pintu-pintu langit akan terbuka
Suatu ketika Rasulullah saw., memerintahkan Abu Bakar as-Siddiq, ra untuk lebih mengeraskan suaranya dan memerintahkan Umar bin Khatab, ra untuk merendahkannya dikala melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Jika peribadatan ke dua orang agung ini, masih perlu mendapatkan bimbingan dari seorang guru, lalu bagaimana kualitas peribadatan kita ?
Kisah apik ini diceritakan oleh Syaikh Jalaluddin Rumi,r.a., : Pada suatu malam, seekor singa memasuki kandang sapi milik seorang petani. Dia menerjang satu-satunya sapi yang ada di kandang itu dan membunuhnya. Sementara itu, karena mendengar suara dari kandang, si petani terjaga, lalu memeriksa kandangnya, singa yang belum sempat meninggalkan tempat itu duduk di mana tadinya ada sapi. Karena gelap, si petani tidak dapat membedakan antara singa dan sapi. Dia mengelus-ngelus badan singa yang dianggapnya sapi. Si singa berpikir, “Petani yang bodoh ini tidak mengenaliku, kalau tempat ini sedikit saja lebih terang, dia tidak akan memperlakukanku sebagaimana dia memperlakukan sapinya.”
Kisah diatas menggambarkan bahwa manusia sesungguhnya tidur, dan akan bangun manakala telah mati. Mati keakuannya, mati egonya, seperti sabda Nabi Muhammad, saw., “Mutu qabla anta mutu, matilah engkau sebelum engkau mati.” Karena pada umumnya manusia tidak sadar bahwa jiwa kebinatangannya (Nafsul hewaniyah) memimpin kehidupannya, bermula dari sifat binatang jinak (sapi), walaupun mampu melaksanakan perintah Tuhan, seperti shalat, puasa dan zakat akan tetapi belum mampu menjauhi larangan-Nya. Lalu dalam seketika dapat berubah menjadi sifat binatang buas (singa), sekarang tidak lagi larangan-Nya yang belum dikerjakan akan tetapi perintah-Nya juga ditinggalkan. Gerak gerik nafs ini sangat sulit sekali dikenali, diperlukan cahaya dari seorang Syaikh agar dapat mengenali sifat-sifat binatang ini lalu menundukkannya. Akan tetapi untuk dapat bertemu dengan seorang Syaikh tidaklah mudah, karena Allah SWT menyembunyikannya dari penglihatan orang banyak.

Syaikhuna juga berkata : ‘Seorang Syaikh mempunyai cahaya yang menghijab orang awam untuk mengetahui keadaan spiritualnya dan kewaliannya.’ Wejangan ini memperlihatkan perbedaan nubuwah dengan kewalian, salah satu tanda kenabian adalah untuk pengungkapan kerahasiaan (mu’jizat) dihadapan orang banyak, sebaliknya para Awliya justru menyembunyikan kerahasiaan (karomah) dihadapan orang banyak. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi : “Sahabat-sahabat-Ku (wali-wali) berada di balik tirai-Ku, selain Aku, tak satu pun yang mengetahui mereka, kecuali sahabat-sahabat-Ku (wali-wali).”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah, saw., bersabda : ‘Siapa saja yang meninggal tanpa seorang imam, maka ia meninggal secara jahiliyah.’ Dan Syaikh Abu Yazid Al-Bisthami, r.a., mengatakan : ‘Jika orang tidak mempunyai guru, imamnya adalah setan.’ Syaikh Amr Ibn Sinan Al-Manbiji mengatakan : ‘Orang yang tidak pernah belajar kepada guru, adalah penipu.’

Perintah untuk mencari seorang guru atau pembimbing ruhani tercermin didalam firman-Nya : 'Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah tali wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.’( QS 5 : 35) Dan 'Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaknya kamu bersama orang-orang yang benar.' (QS 9 : 119)

Bagaimana mungkin manusia bisa dipertemukan dengan seorang Syaikh ataupun seorang Waliyullah ?, sedangkan didalam hatinya tidak meyakini bahwa, seorang wali itu ada dan hidup dimasa kini, dan setiap ada seorang wali yang wafat, Allah akan segera menggantinya dengan yang lain (Abdal), apalagi terlintas dalam benaknya untuk dapat bertemu atau berguru kepadanya. Padahal jika seseorang meyakini keberadaannya, dan berniat agar dapat mengikutinya, maka niat itu akan terbang secepat kilat, bak anak panah yang lepas dari busurnya menuju sang Kholiq, tanpa melalui perantaraan malaikat. Karena hanya sedikit dan sedikit sekali manusia zaman kini yang masih mempunyai keyakinan untuk itu. Bersyukurlah orang-orang yang saat ini telah hidup berkumpul dengan seorang Syaikh, dan bagi yang belum beruntung, marilah kita doakan semoga disisa kehidupan ini, Allah SWT berkenan mempertemukannya dengan seorang pembimbing ruhani yang piawai atau seorang Syaikh, Waliyullah, dan hati kita ditundukkan agar dapat berkhidmat kepadanya.

Seorang Syaikh mempunyai tugas untuk menghancurkan keterkaitan kepada kehidupan materialistik, tetapi sebagian murid menginginkan sebaliknya. Allah menghiasi pada hati seorang Syaikh dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekelilingnya akan mendapat barokah dari cahaya tersebut.

Barang siapa ditakdirkan hidup didalam kesucian (tasawuf), dengan jalan bertarekat, maka sungguh telah berlimpah kebaikan-kebaikan yang diterimanya dari Allah SWT. Walaupun dalam bertarekat dibutuhkan bakat dan talenta yang tinggi, paling tidak, bagi orang-orang biasa dapat berkumpul dalam kelompok orang-orang yang hidup mencinta satu sama lain karena Allah SWT, dan berharap mendapatkan barokah-barokah dari mereka, inipun sudah lebih dari cukup, karena Allah akan mengampuni semua dosa-dosanya dan mencintainya. Al Imam Abul Qosim Al Junaidi Al Bagdadi, r.a., melatunkan sebuah syair :

Ilmu tasawuf adalah benar-benar ilmu
Yang tak seorang pun dapat memperolehnya
Kecuali dia yang dikaruniai kecerdasan alami
Dan berbakat untuk memahaminya

Tak seorang pun dapat berpura-pura menjadi sufi
Kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya
Dan bagaimana dia, yang tak dapat melihat, bisa
Bercita-cita merenungkan sinar matahari nan megah itu.

Rasulullah.saw. bersabda : “Di antara hamba-hamba Tuhan ada sebagian yang dipandang para Nabi dan para syahid berbahagia.” Beliau ditanya : “Siapakah mereka ? Jelaskan tentang mereka, barangkali kami bisa mencintainya.” Beliau menjawab : “Mereka yang mencintai satu sama lain, melalui kasih Ilahi, tanpa punya kekayaan harta benda dan tanpa mencari nafkah kehidupan, wajah-wajah mereka bercahaya, dan mereka duduk di atas singgasana cahaya, mereka tidak takut ketika orang-orang merasa takut, atau mereka tidak merasa bersedih ketika orang-orang lain merasa bersedih hati.” Kemudian beliau membacakan ayat : 'Sesungguhnya bagi wali-wali Allah tidak takut (kepada apapun yang terjadi), dan mereka tidak akan bersedih hati. (QS 10 : 63).

Selanjutnya Allah SWT bersabda didalam hadits qudsi : “Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, berarti ia berperang dengan-Ku.”

Itulah jalan menuju Cahaya
Terus menerus memelihara minyaknya
Agar tak padam ditengah perjalanan dan
Menjadi buta tanpa pegangan

Sebelum tirai ‘aku’ ini tiada, jangan harap
Engkau mampu berjalan, wahai kuda-kuda jantan !
Jika ‘aku’ sudah menjadi ‘engkau’ ini lebih dari segunung berlian,
Melebur dihadirat Syaikh, sungguh semua menjadi cahaya

Rahasia rabithoh seperti cahaya diatas cahaya,
Teruslah berada didalamnya,
Inginkah engkau mengenakan busana pengetahuan yang tak bertara ? bila tidak !
Seperti angka sepuluh, satu adalah guru dan nol adalah aku
Jadi tanpa angka satu, apa makna diriku

Untuk mengetahui tanda-tanda seseorang adalah ulama spiritual tidaklah mudah, sebelum seseorang merasa dan menyerah atas tak keberdayaannya, lalu memohon pertolongan-Nya, mustahil seseorang dapat berjumpa atau menemukannya. Allah SWT berfirman : 'Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka. Katakanlah : “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur’an).” Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.’(QS 6 : 90)

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tanda bahwa seseorang adalah Ulama spiritual atau seorang mursyid adalah bilamana engkau berdekatan dengannya, maka akan terangkatlah semua kesulitan yang ada didalam dada dan rasa kedamaian akan menguasai jiwa.’ Beliau juga berkata : ‘Ulama itu hatinya tidak condong ke dunia.’ Dan berkata lagi : ‘Jika ada ulama yang mengetuk pintu pejabat, maka dia adalah maling (pencuri), bukan ulama.’ Ulama itu memberikan manfaat kepada orang banyak, bukannya mencari manfaat dari orang banyak. Allah SWT berfirman : 'Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada-kan.'(QS 38 : 86) Dan 'Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkannya?’(QS 11 : 51).

Lihatlah orang-orang yang mengaku dirinya ulama dan sering muncul di tv, mereka melakukan bisnis dengan memanfaatkan orang banyak, memasang tarif untuk da’wah atau suatu undangan, bermain sinetron, bicaranya dan tindakannya memancing orang agar bersimpati kepadanya, setelah banyak tawa lalu membaca doa-doa dengan suara-suara yang dibuat-buat, seolah-olah sedang bersedih, lalu menangis didepan orang banyak dan membuat cerita-ceria seolah-olah mereka ahli surga. Ada juga kelompok yang merasa mampu menangkap jin lalu menyimpannya didalam botol atau benda lain, ini kebodohan yang luar biasa bagi yang melakukannya dan yang mempercayainya, naudzubillah mindzalik semoga Allah menyadarkannya. Tindakan-tindakan yang menjijikan itu membuktikan bahwa hatinya masih condong kepada dunia, dan jelas mereka bukan ulama akan tetapi selebriti yang hanya sedikit hafal Ayat Al Qur’an dan Al Hadits lalu menukarnya dengan uang kecil. Allah berfirman : 'Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.'(QS 2 : 204). Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Sangat menjijikan seseorang yang mengaku ulama lalu pada saat berdakwah hatinya condong dan mengharap memperoleh imbalan berupa uang apalagi sampai menerimanya.’ Sesungguhnya qolbu seseorang dapat menangkap sinyal yang demikian itu, akan tetapi apa daya, hawa nafsu ini selalu lapar akan kesenangan-kesenangan, haus akan hiburan-hiburan, dan tempat yang tepat untuk memenuhinya adalah dalam majlis yang bicaranya sia-sia dan banyak tawa, juga didalam majlis yang mengajak orang-orang untuk menangis, agar jendela-jendela hati terbuka dan berkata kepada orang-orang didekatnya bahwa akupun sudah bisa menangis, bukannya ditujukan hanya untuk Allah SWT semata. Dan sebaliknya, seseorang akan merasakan kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan serta terangkatlah seluruh permasalahan yang membebani kehidupannya, selama berada dalam hadirat sang Mursyid, sang Syaikh, ibarat seekor ikan yang berada didalam samudra kebahagiaan.

Seorang Syaikh berkata: ‘Kesamaan seorang wali di antara keluarganya adalah bagai seekor keledai lokal. Mereka memukulnya, mereka membebaninya, mereka tidak menghormatinya. Namun, ketika seekor keledai liar muncul, mereka berlari kepadanya untuk minta barokah. Sama seperti itu pula, seorang wali tidak dihormati oleh kaumnya sendiri tetapi ketika ia pergi keluar menemui kaum lainnya, mereka memberinya pengakuan.” Murid bak sebatang kayu dan Syaikh adalah apinya, api cinta seorang Syaikh akan habis membakar kayu kedirian sang murid, maka yang tinggal hanyalah api. Peleburan ini yang sangat didambakan oleh seorang murid (fana’u syaikh), diawali dengan berbakti tanpa kenal lelah, baik berupa harta, jiwa dan raga, lalu tekun didalam menjalan pekerjaan tarekatnya, maka tunas-tunas kecintaan akan tumbuh subur yang pada akhirnya menjadi pohon yang kokoh dan berbuah adab yang tinggi serta menghanguskan keinginan-keinginan diri. Carilah keridhoan Syaikh, walaupun harus menyeberangi tujuh lautan dan tujuh gunung, karena seorang Syaikh agung berkata : ‘Keridhoaan Syaikh akan membuat sang murid tidak akan menyimpang dalam kehidupannya dan rasa ta’zimnya kepada Syaikh tidak hilang. Apabila Syaikhnya meninggal dunia, Allah SWT akan menampakkan balasan ridhonya Syaikh kepada muridnya. Namun, barangsiapa membuat hatinya Syaikh berubah, maka ia tak akan menyimpang pada zaman Syaikh tersebut masih hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Akan tetapi, apabila Syaikhnya meninggal dunia, maka pada saat itu munculah suatu penyimpangan pada kehidupannya’.

Al Imam Abul Qosim Al Junaidi, r.a., adalah meraknya para sufi dizamannya, ujarannya sangat banyak dan bermutu tinggi, akan tetapi salah satu yang sering diulang-ulang oleh beliau adalah tatkala Imam Sary as-Saqothy,r.a., adalah paman yang juga gurunya memberikan perintah untuk melakukan sesuatu dan beliau bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka disaat beliau kembali kepadanya, ia memberikan secarik kertas, sambil berkata : ‘Inilah kedudukan pemenuhanmu atas kebutuhanku yang begitu cepat.’ Setelah kertas itu dibuka tertulis :

Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau, mengapa ?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memutuskan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.

Hubungan atau ikatan batin antara murid dan guru begitu hebatnya, laksana sebuah perahu dan layarnya, keduanya selalu bersama dimanapun berada, tanpa salah satunya sayap kerinduan tak terbuka, kumbang tak berada di taman mawar, dan mawar pun punah tanpa persemaian. Syaikhuna meneteskan air matanya tatkala bercerita : ‘Ditengah malam hatiku bimbang, ada rasa kerinduan yang sangat, ingin bertemu dengan guruku, gairah cinta menguasai jiwaku, lalu aku bergegas pergi menemuinya, walaupun hari itu gelap dan harus melewati pematang sawah, aku tak pedulikan, sesampainya dirumah, ternyata beliau sedang menunggu dan berkata : ‘Kesinilah encep (beginilah syaikh memanggilku yang berarti kecintaanku) aku sudah menunggumu sejak tadi, mari kita bersama-sama didalam naungan sayap malaikat.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga berkata : ‘Kecintaan seorang Syaikh kepada murid-muridnya melebihi kecintaan kepada istri-istri dan anak-anaknya.’

Begitu banyak sifat-sifat tercela didalam diri yang terlalu sulit untuk dipahami, yang dibutuhkan adalah sumber cahaya yang mempunyai sifat-sifat mulia, agar kegelapan terus menerus mendapatkan sedikit cahaya. Pada umumnya sifat seseorang menyerupai kelompoknya. Syaikh (semoga Allah merahmatinya) berkata dengan mengutip sebuah hadits : ‘Kalau ingin mengetahui karakter seseorang, lihatlah siapa temannya.’ Karena sifat ruh seperti angin, dia akan wangi tatkala berjalan melewati pusat wewangian dan akan berbau busuk setelah berjalan melewati bangkai. Oleh sebab itu dalam kehidupan ini, kita membutuhkan seseorang yang bak sebuah samudera wangian, sehingga kalbu-kalbu kita dapat merasakan kenikmatan dan puas dengan orang tersebut. Boleh jadi kenikmatan dan kepuasan ini akan segera pergi bilamana seseorang meninggalkan sang mursyid, seperti sifat yang ada pada ruh. Untuk itu dibutuhkan ‘persahabatan’ yang terus menerus. Mustahil rasa-rasa itu diperoleh dari membaca buku-buku atau internet, atau berkumpul sesaat dengan mengundang seorang ulama yang memasang tarif berupa uang. Jalan ini tidak mungkin ditempuh dalam waktu yang singkat, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Aku mengabdi kepada guruku selama empat puluh tahun lamanya, dan waktu mendengar beliau wafat, aku merasa tidak berada di alam ini, mengambang dan gemetar seluruh jiwa dan ragaku.’

Seorang murid pernah diajak Syaikhuna pergi mengunjungi kakek Guru, Syaikh Nuur Anaum Suryadipraja (semoga Allah mensucikan ruhnya) yang sedang terbaring sakit, murid itu berkata kepada kakek Guru : ‘Syaikh, pertama kali aku melihat Syaikh adalah didalam foto yang dibuat tahun 1957, saat itu terlihat Syaikh sedang bersama-sama dengan Syaikh Abdullah Mubarak (Syaikh Abdul Khair) dan para salik yang lain,’ mendengar ini kakek guru menangis dan berkata : ‘Itulah masa-masa terindah dalam hidup saya.’ Mendengar jawaban itu sang murid tenggelam, bak melihat kilat yang menyambar di siang hari, bagaimana tidak, segala macam kenangan kehidupannya sirna tatkala mengingat keindahan bersama-sama dengan syaikh dan sahabat-sahabat lainnya.

Duhai jiwa menyerahlah !
Agar engkau tidak malu, bertemu dengan guru-guru
Saat mempertanggung jawabkan perbuatan buruk dihadapan-Nya
Yang syaithoon pun tertunduk malu melihatnya.

Suatu saat seseorang mengetuk rumah Syaikhuna, setelah dipersilakan duduk ia bertanya dengan se-enaknya perihal yang berkenaan dengan hal-hal dunia, yang menurutnya penting dan besar bagi dirinya. Syaikhuna menjawab dengan bijaksana yang sesuai dengan keadaan orang itu, walaupun orang itu sering mencela dan kadang-kadang memujinya. Lalu orang itu berpamitan dan meminta agar Syaikh memberinya uang guna membeli tiket pesawat untuk pulang kekampung halamannya, Syaikhuna memberikan semua uangnya yang berada didompetnya. Seorang murid yang menyaksikan kejadian itu berkata kepada murid yang lain : ‘Bagaimana bisa, Syaikh bersikap seperti itu, yang tidak memperdulikan pujian atau celaan yang datang bertubi-tubi, bahkan dengan tenang beliau mendengarkannya.’

Setiap kali Rasulullah,saw., mendatangi sahabat-sahabatnya mereka melakukan penyambutan dan penghormatan dengan berdiri, dan hal ini tetap saja dilakukan oleh para sahabat walaupun beliau telah melarangnya. Riwayat ini perlu ditiru, karena bila ada orang yang melakukan penghinaan terhadap Syaikh lalu murid yang mendengarnya diam saja, maka jelas kecintaan sang murid terhadap gurunya masih sangat rendah, yang mengindikasikan bahwa murid itu tidak mempunyai kendaraan untuk berjalan menuju Allah,SWT., karena satu-satunya kendaraan adalah cinta (mahabbah) kepada Syaikhnya. Mustahil, pecinta akan diam saja manakala yang dicinta dihina oleh orang lain. Seorang murid wajib marah dan melakukan tindakan yang perlu, namun tidak dihanyutkan oleh kemarahannya hingga melampaui batas kebenaran. Walaupun dilain kesempatan Syaikh sering memberikan wejangan yang melarang murid-muridnya untuk berbuat yang demikian. Kejadian ini menunjukkan sebuah prinsip bagi seorang murid yang ingin selalu menjaga limpahan cahaya dari sang Mursyid.

3 komentar:

  1. Allahu akbar....ya allah ingin aku berjumpa dengan beliau...dan bertarekat kepadanya...

    BalasHapus
  2. Terima kasih. Postingan ini mengajarkan sy bagaimana menjaga adab kpd tuanku atau guru sy. Salam satu junjungan kita nabi muhammad SAW.��

    BalasHapus
  3. Bacaan yang bisa diambil manfaatnya

    BalasHapus