Selasa, 10 November 2009

PENDAHULUAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tak ada yang patut disembah kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Suci, Dzat Yang Tiada tuhan kecuali Dia, aku mohon ampun kepada-Nya, Dia Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Dia Yang Maha Nyata dan yang Maha Ghaib, Dia Maha Hidup yang tak pernah mati, Di Tangan-Nyalah segala kebaikan, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kemuliaan-Nya segala sesuatu menjadi hina. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Keagungan-Nya segala sesuatu menjadi takluk. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kekuasaan-Nya segala sesuatu menjadi tunduk. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kekuatan-Nya segala sesuatu menjadi pasrah. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Penghulu Para Nabi dan Pemimpin Para Pemberi Syafaat, junjungan kita Nabi besar Sayyidina Muhammad Rasulullah berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Semoga Allah meridhoi Abu Bakar As-Siddiq dan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib beserta seluruh keluarganya. Mereka berdualah yang menjadi sahabat terpenting dalam hijrahnya Rasulullah, saw., dari Mekkah al Mukaromah menuju ke Madinah al Munawaroh, yang pertama menjadi sahabat gua Rasulullah, saw., dan mendapatkan kaifiat dzikir lathaif, sedangkan yang kedua menggantikan posisi Rasulullah, saw., ditempat tidurnya, dan sebagai orang pertama yang mendapatkan kaifiat dzikir jahr.

Semoga Allah mensucikan ruh para akhli silsilah tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya kepada Hadrat Sultonul Aulia Sayyidi Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jaelani al Bagdadi dan Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi.

Semoga Rahmat Allah tercurah kepada Hadrat Syaikh Al Waasi H Achmad Syaechudin bin H Aminudin, beserta keluarga dan para sahabatnya. Semoga silsilahnya bersambung sampai pada akhir zaman nantinya. Beliau adalah ayat-ayat Tuhan di bumi, akhli keruhanian yang terkemuka dizaman ini, mawar merah terindah diantara rangkaian akhli silsilah, pewaris Nabi Muhammad,saw., yang dengannya doa-doa akan dijabah, tirai-tirai kesedihan akan terangkat, rizki yang tertutup akan terbuka, yang jauh menjadi dekat dan yang tiada menjadi ada. Beliau dapat mengenali lebih baik gerakan-gerakan qalbu yang paling dalam sekalipun daripada gerakan-gerakan badan. Beliau adalah pemilik cahaya diatas cahaya, hikmah dan ilmu langit berada dalam dadanya, kunci-kunci rahasia ada pada jari telunjuknya, tongkat Musa,as., berada ditangannya, cincin Sulaiman,as., melingkar di lidahnya, wajahnya bermandikan cahaya kenabian Yusuf,as. Siapa saja yang berdekat dengannya akan merasa aman, tentram dan kendurlah ikatan-ikatan duniawinya. Beliau adalah gunung yang tinggi yang menopang keselarasan bumi ini, yang selalu berada bersama murid-murid terkasihnya dan sekaligus tidak berada bersamanya. Beliau pemilik rahasia dari misteri kerudung putih, dan barang siapa sempat terselimuti oleh kerudung putih ini, maka pengetahuan tentang Tuhan akan terus meliput hatinya dan segala sesuatu pemikirannya hanya tentang Dia yang tidak sesuatupun setara dengan-Nya.

Allah Azza wa Jalla, telah melepas tali busur kasih sayang-Nya dan anak panah berupa ‘Tekanan kehidupan’ menembus alam semesta ini dan tepat mengenai dada anak cucu Adam yang dipilih-Nya, agar dengannya manusia mendapatkan kesadaran untuk kembali kepada Tuhannya, agar malam tidaklah sepi dari manusia yang memohon kepada-Nya, agar jiwa-jiwa yang diperbudak oleh nafsunya memperoleh kesadaran, agar manusia yang telah berlumurkan dosa-dosa bertaubat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rembulan kembar empat telah menampakkan diri,’ dua saja sudah cukup membuat adanya hura-hura diatas bumi ini. Empat, terdiri dari angka satu, dua, tiga dan empat, bila dijumlahkan akan menjadi sepuluh, dan sepuluh teridiri dari angka satu dan nol, angka nol tidaklah bermakna tanpa angka satu yang mendahuluinya (ketiadaan). Angka nol mewakili dunia yang bulat beserta seluruh isinya, diantaranya adalah ‘manusia’, dan kebanyakan dari mereka mempertuhankan dunia (nol), bukannya menyembah angka satu yang mewakili ke-esa-an-Nya. Alam semesta pun menjadi sekarat, bumi mengalami pendarahan yang hebat, laut mual dan muntah-muntah, angin merasa pusing bertiup seenaknya untuk menahan rasa sakitnya dan api pun merasa kepanasan membakar apa saja yang dilihatnya, segala binatang sinis memandang anak cucu Adam yang berubah menjadi bengis. Pelayan manusia itu sudah enggan melayani tuannya, alhasil, manusia pun sengsara kehidupannya, tiada ketenangan dan kenyamanan berada didalamnya.

Banyak kisah didalam Al Qur’an melukiskan yang demikian, sebagai akibat dari ulah manusia yang melampaui batas. Angkara murka sedang merajalela, bumi pertiwi saling pandang dengan rembulan tadi, bingung karena ada empat pemimpin, dan Nabi,saw., bersabda : ‘Bila engkau menjumpai dua pemimpin maka bunuhlah salah satunya.’ Seperti seorang anak yang mengadu kepada ibundanya, menangis tanpa airmata, menahan rasa sakit yang terjadi dimana-mana.

Kepalsuan telah menjadi epidemi di negeri tercinta kita ini, kesucian telah membusuk, agama dijadikan komoditas untuk mengeruk uang, ayat-ayat suci Al Qur’an dan al Hadis diperdagangkan, berkedok melestarikan dakwah Islam, dengan jalan menulis buku-buku keruhanian yang bermutu rendah lalu menjualnya, berdakwah menggunakan telepon genggam (sms) lalu mengambil keuntungan receh, berbicara dimajlis atas sesuatu yang didapatnya dari menghapal buku-buku tentang tasawuf, membentuk opini masyarakat dengan menggunakan istilah hati (qolbi), dan berdandan bak seorang ulama, agar masyarakat mempunyai persepsi bahwa ia adalah akhli keruhanian, padahal mereka sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan tarekat, apalagi menjalani hidup zuhud. Praktik-praktik rendahan ini harus segera dihentikan, masyarakat Islam harus segera diberikan informasi yang benar, agar kemurnian dan keindahan agama Islam tetap terjaga. Boleh jadi seorang akhli keruhanian berpenampilan sangat sederhana dan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan ‘lentera’ menggunakan bahasa hikmah dan singkat, hatinya tidak condong terhadap dunia, apalagi kepada makhluk yang ada disekelilingnya, walaupun ia berbicara dihadapan mereka, karena setiap bicaranya hanya ditujukan hanya untuk Allah semata. Sedangkan ulama yang palsu akan mengemasnya dengan kata-kata rendahan dan suara yang dibuat-buat, dan bila kehabisan bahan pembicaraan lalu melawak, agar pendengarnya menaruh simpati dan rela merogoh koceknya, karena tindakannya ditujukan hanya untuk itu, yang hatinya selalu condong terhadap dunia. Sesungguhnya sangatlah mudah membedakannya, ulama yang palsu tidak pernah memiliki ‘lentera’, mereka hanya mengetahuinya dari mendengar dan membaca buku-buku, lalu berdakwah dihadapan orang banyak dengan bermodalkan itu. Sedangkan akhli keruhanian adalah ‘pemilik lentera’ itu dan selalu dalam keadaan ‘menyala’, sehingga orang-orang yang berdekat dengannya dan memasang rasa tak’zim akan dapat merasakan kehangatan api cintanya, dan terbentang jalan menuju Sumber Cahaya, disamping mendapatkan pengetahuan dari ucapan-ucapannya yang membekas kedalam qolbu.

Orang-orang yang mengaku beriman mempunyai hak untuk mendapatkan ilmu syariat yang benar, dan hal ini bisa diperoleh melalui pendidikan agama di madrasah ataupun di pesantren, dan akan menjadi lebih sempurna bilamana belajar dari beberapa guru pembimbing yang benar. Sedangkan Ilmu keruhanian (tasawuf) sangatlah berbeda, hanya seorang Syaikh atau Mursyid yang mempunyai otoritas untuk menyebarkannya. Karena tasawuf bukanlah ilmu hapalan, melainkan ilmu tahapan, ilmu seluk beluk tentang hati (qolbu), yang harus di capai sedikit demi sedikit dengan mendisiplinkan diri dalam mengerjakan perintah yang wajib ataupun sunah (riyadhah) dan berperang melawan hawa nafsu (mujahadah) selama kehidupannya, serta harus terus menerus dibawah pengawasan seorang Syaikh. Rintangan dalam perjalanannya sangat banyak, harus bersungguh-sungguh dan mempunyai tekad yang kuat. Seorang yang bertasawuf dilarang untuk mempunyai lebih dari seorang mursyid. Seorang Syaikh berkata : ‘Tanda-tanda pembimbing ruhani yang benar adalah, dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia dan dia bersembunyi setelah terkenal. Dan tanda seorang pembimbing ruhani yang palsu adalah, dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.’ Jadi sangatlah tepat bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Pada masa kini, tasawuf adalah sebuah nama tanpa hakikat, tapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama.’ Dizaman Nabi,saw., orang-orang yang berdekat dengan beliau telah melakukan praktek-praktek dan menjalankan prinsip-prinsip tasawuf, walaupun pada saat itu nama tasawuf belum ada, tapi hakikatnya ada pada setiap orang, dan kini, nama tasawuf itu ada pada setiap orang, tapi hakikatnya tidak ada.

Sungguh istimewa, menjadi rumput hijau ditengah-tengah rumput yang kering,
Karena, ‘eksistensi’ ini adalah rumput yang kering itu sendiri.

Buku-buku tentang tasawuf mudah didapat, naskah agung para Waliyullah dengan karangan pengamat dan ciplakan orang-orang munafik, bercampur. Permata-permata yang indah itu tertutupi oleh sampah-sampah dunia, dan ironisnya masyarakat sekarang gemar membaca sampah-sampah itu, terjebak oleh pembentukan opini dari beberapa stasiun tv yang mempolakan bahwa ulama adalah sosok manusia yang sering muncul mengisi acara-arara keruhanian, padahal hati mereka kering dan jauh dari kehidupan kesucian. Seperti halnya kelelawar yang kesehariannya hidup dalam kegelapan tak mampu hidup dalam cahaya. Masyarakat Islam harus ‘kritis’ dalam memilih buku keruhanian, bukankah tidak bijaksana bila seorang pandai besi menulis tentang tatacara ‘memelihara kambing’?. Pada umumnya penulis buku-buku tentang tasawuf dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yang pertama adalah pengamat tasawuf, yang kedua adalah mahasiswa yang ingin mengambil gelar kesarjanaan dibidang tasawuf dan yang ketiga adalah orang yang bertasawuf (mutashowif). Fenomena yang demikian ini sudah terjadi sejak dahulu kala, dan mempunyai motivatisi yang berbeda-beda. Golongan yang pertama dan yang kedua menulis buku untuk mendapatkan dunia, sedangkan golongan ketiga menulis buku hanya untuk Allah Swt semata. Nah, risalah yang teramat sederhana ini diperuntukan bagi orang-orang yang bertekat dalam hidupnya untuk terus menerus memerangi hawa nafsunya (mujahadah), agar Tuhan menggolongkannya kedalam kelompok mujahiddin, dan berharap bila kematiannya tiba maka Tuhan sendirilah yang akan menyabut ruhnya.

Allah SWT berfirman : 'Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.' (QS 61 : 2-3)

Berbagai macam cara-cara berdzikir, khalwat, tafakur (kontemplasi), muroqobah (meditasi) dan muhasabah sengaja tidak kami tulis dalam risalah ini, khawatir tangan-tangan jahil akan meniru dan menjualnya kepada orang lain, karena sudah terlalu banyak dijumpai dinegeri kita ini orang-orang yang tidak pernah bertarekat telah membuka pengajian lalu meniru kaifiat-kaifiatnya tanpa dapat mengetahui dan bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan jiwa seseorang dan menjelaskan natija-natijanya.

Awal bulan Ramadhon 1427 H, hujan sangat deras mengguyur kota Bogor, angin bertiup sangat kencang, kilat menyambar pohon-pohon yang berdiri dengan angkuhnya, anak-anak ketakutan dan sembunyi di kolong tempat tidur, pohon yang berumur ratusan tahun pun tumbang. Terdengar bunyi guntur yang bergemuruh, angin telah diperintah untuk menyampaikan undangan yang diambil dari kitab yang nyata (lauh mahfuzh) kepada Syaikhuna. Sejak saat itulah, perintah berziarah ke Bukhara dan Samarkand, di Republik Uzbekistan sudah berada didalam khazanah hatinya, lalu disampaikannya kepada sahabat terdekat, agar segera menindaklanjutinya.

Seorang murid berpamitan kepada ibundanya, untuk mengiringi Syaikhuna berziarah ke Bukhara dan Samarkand, sang ibu berkata : ‘Untuk apa pergi jauh hanya untuk menziarahi yang sudah mati, sedangkan yang hidup tidak diziarahi.’ Sang anak tau persis bahwa dengan berkata ‘ah’ kepada ibunya merupakan larangan Tuhan, oleh sebab itu dia menarik nafas perlahan dan berkata dengan lembut : ‘Mohon ampun, Aku mendengar Syaikhuna berkata bahwa, kita adalah ibarat pelita yang telah padam, yang diperlukan adalah minyak dari pohon zaitun yang diberkati, yang dapat bercahaya dengan sendirinya tanpa disentuh api, dan kehidupan ini membutuhkan cahaya agar tidak tersesat layaknya orang buta, dan barang siapa buta didunia maka ia akan lebih buta di akhirat nantinya dan sesungguhnya para wali itu tidaklah mati, mereka hidup disisi Tuhannya dengan mendapatkan rizki yang tidak terputus.’ Sang Ibu terus berkata : ‘Bukankah silaturahmi juga dianjurkan oleh Nabi,saw ?’ Sang anak dengan hati-hati menjawab : ”Silaturahmi bukan sekedar mengadakan pertemuan, silaturahmi adalah berbagi cahaya, oleh sebab itu akan sia-sialah pertemuan itu bilamana tak ada seorang pun yang mempunyai cahaya, malah bukannya cahaya yang didapat melainkan kegelapan, berupa pembicaraan yang tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan hati dan tanpa bershalawat kepada manusia yang terpilih dan terbaik sepajang masa, Sayyidina Muhammad,saw. Syaikhuna pernah berkata bahwasanya Allah SWT berfirman didalam hadis qudsi : ’Aku duduk berhimpitan dengan orang yang selalu berdzikir kepada-Ku.’ Nah, bilamana didalam pertemuan itu dihadari oleh seorang akhli dzikir sudah merupakan kebahagiaan duduk bersama-sama dengan Allah SWT yang merupakan ‘Maha Cahaya.’”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya : ‘Sebaik-baik puasa adalah dalam keadaan safar, niatkan perjalanan ini hanya untuk Allah semata, dan tulislah sebuah buku lagi, agar para sahabat dapat menarik manfaat darinya.’ Kegembiraan yang luar biasa menyelimuti hati sang murid, karena ia yakin bahwa dikemudian hari akan ada cahaya pengetahuan yang mendorongnya untuk menulis buku ‘baru’ lagi, bila tidak Syaikh tidak akan berucap seperti itu.

Sudah seribu pena patah menulis keindahan perjalanan ini, sejuta kertas koyak karenanya, seperti memandang matahari yang menyilaukan itu. Tanpa perkenan dari cahaya-cahaya yang makamnya berada di Bukhara dan Samarkand dan tanpa bimbingan yang terus menerus dari Syaikhuna, mustahil risalah ini dapat tersusun. Dan sungguh merupakan kegembiraan, Syaikhuna berkenan memberikan judul risalah tentang tasawuf ini ‘Bulan terang di Bukhara,’ serta meluangkan waktu yang sangat berharga untuk meng-editnya.

Segala sesuatu yang mempunyai batasan adalah ‘baru’, apakah itu waktu, jarak dan ruang. Baru adalah bukan yang terdahulu, dan yang terdahulu bukanlah baru, oleh sebab itu baru adalah ciptaan-Nya, ‘Kun’ mempunyai makna penciptaan dan ‘yakuun’ adalah ciptaan, sedangkan kun fayakuun adalah firman-Nya, maka dari itu baik firman, penciptaan dan ciptaan semuanya adalah ‘baru’ dan mestilah dicipta oleh-Nya. Jadi segala sesuatu baik yang dzahir maupun batin yang berada di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya. Karena tadinya segala sesuatu tidak ada, yang ada hanya Dia saja. Oleh karenanya mencipta dan memerintah adalah hak-Nya.

Hakikat penulisan risalah ini adalah ‘baru’, sehingga pena, kertas, pengetahuan, pengalaman dan sang penulis, tidak ada bedanya, semua adalah ciptaan-ciptaan yang segala sesuatunya telah tertulis didalam lauh mahfuzh jauh sebelum dunia ini dicipta.

Risalah yang teramat sederhana ini, berisi tentang hikmah safar di bulan suci Ramadhon, dari murid-murid tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Bogor Baru, Bogor-Jawa Barat, yang mengiringi Sang Mursyid tercinta Hadrat Al Waasi’ H Achmad Syaechudin bin H Aminudin, dalam rangka menziarahi para akhli silsilah tarekat Naqsyabandiyah dan ulama-ulama agung lainnya yang berasal dari Bukhara dan Samarkand, Republik Uzbekistan.

Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya disampaikan kepada para sahabat tercinta yang dengan suka rela membantu baik secara moril ataupun materil guna terlaksananya perjalanan ziarah ini, sampai dengan terbitnya risalah yang berada ditangan para sahabat ini. Khususnya kepada Ustadz Yordanis Salam yang dengan sabar menyampaikan tauziah dari kitab Al Hikam karya Syaikh Ibnu Athoillah,ra., dan Al Luma karya Syaikh Abu Nashr as Sirraj,ra., dan Ustadz Udin Saefudin dari kitab Kasful Mahjub karya Syaikh Hujwiri,ra., serta Ustadz Marwan dan Gus Aminin dari tauziah-tauziahnya yang mendalam. Semoga Allah SWT memberikan kesucian dan ampunan kepada kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Kamis, 05 November 2009

ILMU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan sungguh kami akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS 2 : 96)

Ayat diatas, mengandung arti bahwa tanpa ilmu yang bermanfaat manusia akan terjerumus kedalam ketamakan dalam menjalani kehidupan ini, walaupun ia diberi umur panjang. Oleh sebab itu Rasulullah,saw., berdoa : ‘Aku berlindung kepada Tuhan dari ilmu yang tak bermanfaat.’ Dari doa ini mengindikasikan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, manusia akan memburu ilmu yang senada dengan warna jiwanya, dan kebanyakan jiwa manusia cenderung kepada pencarian ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan duniawinya saja, khususnya yang dapat dengan cepat menghasilkan harta bendawi dan jabatan yang tinggi. Nabi,saw., tidak merinci jenis-jenis ilmu yang tidak bermanfaat, karena terlalu banyak jumlahnya, melainkan menyampaikan ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam bentuk ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Ilmu bagai cahaya, yang menerangi sesuatu yang gelap menjadi tampak, sehingga jalan yang samar menjadi jelas. Dengan ilmu sesuatu yang tertutup bisa terbuka, ilmu membuat orang yang bodoh menjadi bijak.Yang harus disadari bahwa umur manusia itu terbatas dan sangat singkat, dan dalam kehidupan yang singkat ini manusia dituntut untuk memenuhi hak-hak Tuhan, agar dapat hidup bahagia dan abadi di alam akhirat nantinya. Dilain pihak bahwa Ilmu itu tidak terbatas, oleh karenanya manusia wajib menuntut ilmu yang bermanfaat bagi dirinya selama ia singgah di dunia ini.

Jika Tuhan adalah harta berharga yang tersembunyi dan ingin diketahui, maka sarana untuk mengetahuinya adalah ilmu, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berkenaan tentang Tuhan (ma’rifat). Ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan cara-cara biasa, melainkan atas petunjuk dan penerangan dari Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Imam Abul Qosim Al Junaid Al bagdad, ra., bahwa : ‘Hajat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah ma’rifat makhluk terhadap Khaliq, mengenal sifat-sifat Pencipta dan yang tercipta bagaimana ia diciptakan. Sehingga diketahui sifat Khaliq dari makhluk, dan sifat Yang Qodim dari yang baru. Sang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak tahu secara persis kepada siapa kewajiban-kewajiban itu harus dipersembahkan.’ Oleh sebab itu, pengetahuan tentang Tuhan menjadi sangat penting bagi setiap muslim agar pemenuhan kewajiban-kewajiban tertuju kepada-Nya, bukan kepada thaghut atau sesuatu selain-Nya, dan hal tersebut sangat sulit dilakukan namun bukan sesuatu yang mustahil. Meskipun seorang muslim secara berulang-ulang melakukan sumpah dikala membaca doa iftitah, ‘Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata,’ namun tetap saja dalam menjalankan kehidupan keseharian sumpah itu dilupakannya, karena, sungguh terlalu banyak hijab-hijab untuk mengenal-Nya.

Untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifat) ini, seseorang wajib mempelajari ilmu dari Tuhan terlebih dahulu, yaitu ilmu syariat yang mempunyai tiga pondasi, Al Qur’an, Al Hadis dan fatwa ijma ulama. Dan untuk dapat menegakkan perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya yang berada didalam ilmu syariat ini, tidaklah mungkin dapat terlaksana secara benar, sebelum pengetahuan dengan Tuhan menjadi busananya. Karena manusia tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya, dan kebanyakan darinya tidak mengenal Tuhannya sebagaimana Dia harus dikenal. Oleh karenanya, ia harus mencari wasilah atau seseorang pembimbing (Mursyid atau Syaikh) yang lebih dahulu telah mengenal Tuhan dan berkenan mengantarkannya. Ilmu dengan Tuhan ini disebut ilmu maqom-maqom atau ilmu tahapan atau lebih dikenal di kalangan masyarakat Islam dengan sebutan tarekat. Seorang Mursyid atau Syaikh sudah mempunyai ilmu yang baku untuk mendidik seseorang guna mengenal Tuhannya sebagaimana Dia harus dikenal, ilmu tersebut diperoleh dari guru-gurunya terdahulu, atau disebut akhli silsilah atau rantai emas yang bersambung sampai kepada Baginda Rasulullah,saw. Dan seseorang yang berguru kepada seorang Mursyid atau Syaikh dapat mengetahui dan menyebutkan nama guru-guru Syaikhnya terdahulu, sebagai contohnya seperti yang tertulis pada pendahuluan di risalah ini.

Inti penyerapan ilmu ada pada kesungguhan beribadat yang hanya ditujukan untuk Allah semata (riyadhah) dan terus menerus sepanjang kehidupannya melawan hawa nafsu (mujahadah), keduanya adalah dua tiang yang menopang bangunan iman dan ilmu, tanpa memelihara keduanya secara berkesinambungan, maka iman dan ilmu tak akan bergerak naik, bahkan memungkinkan jatuh tergelincir. Seseorang yang tekun dan gigih dalam menjalankan praktik-praktik riyadhah dan mujahadah atas bimbingan seorang mursyid, maka Tuhan akan melimpahkan ilmu yang hakiki kedalam dada orang itu. Sehingga ia dapat melihat makna dari segala sesuatu secara benar (musyahadah). Seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.’ (QS 18 : 65)

Syaikh Jalaludin Rumi,ra., berkata : ‘Setiap sayap tak akan mampu terbang melintasi keluasan samudera, hanya ilmu yang terlimpah langsung dari Tuhan yang dapat mengantarkan seseorang keharibaan-Nya.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan yang didapat dari ketekunan belajar adalah ilmu seluk beluk tentang lahiriyah saja dan sifatnya sangat terbatas, sedangkan ilmu yang diperoleh setelah kematian (peluruhan diri) adalah ilmu yang hakiki dan tidak terbatas.’ Orang-orang yang dapat melihat cahaya yang memancar dari sebuah pelita atau nyala api, adalah hal biasa, namun untuk dapat terserap kedalam api atau cahaya pelita, adalah hanya milik para ulama.

Ironisnya, ada kelompok kecil mengatakan bahwa amalan-amalan para ahli tarekat ini bid’ah, misalnya dikatakan bahwa dzikir berjamaah dan memperingati mawlid Nabi,saw., adalah bid’ah. Dengan menggunakan media radio, buletin-buletin dan dakwah, mereka sebarluaskan fitnah-fitnah ini serta mencaci-maki para sufi. Padahal orang-orang yang bertarekat adalah golongan dari ahlul sunah wal jamaah, dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) atau jumhur ulama telah memutuskan bahwa tarekat yang mutabaroh itu syah hukumnya. Mematuhi dan mengikuti fatwa ulama hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah,saw., dan barangsiapa tidak mematuhinya maka mereka adalah kaum munafik. Golongan yang sering menuduh saudara se Islam dengan kata bid’ah itu, menandakan bahwa hatinya masih terlalu banyak noda-noda hitam, sifat kasih dan sayang tidak singgah didalamnya, yang dominan adalah sifat dengki (hasad) dan ingin benar sendiri, berarti ia telah memper-tuhan-kan dirinya sendiri, naudzubillah mindzalik. Kita berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Golongan ini tidak menyadari, bahwa mereka adalah penganut dari salah satu diantara keempat mazhab Islam, dan mau tidak mau harus taklid atas segala sesuatu yang tertuang dalam mazhab itu, yaitu mazhab Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad Hambali, yang mana keempat orang agung ini menjalani hidup kesucian dengan bertarekat. Seperti mayoritas komunitas Islam di Indonesia, pada umumnya mereka bermazhab Imam Syafi’i, lalu apakah ada perbedaan diantara keempat mazhab itu? jawabnya ada!, sebagai contohnya, perhatikan bagaimana orang-orang Islam melakukan thaharah dan shalat di Mas’jidil Haram, lalu tata cara berhaji dan umroh, nikah dan waris, tentunya dijumpai adanya perbedaan-perbedaan, namun tidak fundamental serta tidak merubah akidah. Mereka saling menghormati sehubungan dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, dan melakukan ritual peribadatan secara rukun dan tertib. Seorang murid yang sedang berhaji bertanya kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) : ‘Saya lihat Syaikh melakukan tindakan yang membatalkan thaharoh, namun Syaikh tidak memperbaharuinya.’ Syaikhuna menjawab : ‘Dalam hal ini Saya memakai mahzab Imam Abu Hanifah, sedangkan bila engkau ingin berketetapan memakai mahzab Imam Syafi’i, itu juga tidak mengapa.’

Secara terinci perbedaan-perbedaan keempat mazhab itu tertuang didalam kitab yang berjudul Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah dan kitab yang membahas tentang khilafiyah di Indonesia telah selesai ditulis oleh HMH Al-Hamid Al-Husaini dalam kitabnya yang berjudul Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Oleh sebab itulah, bila ada kelompok-kelompok Islam yang merasa benar dengan tindakan dan pendapatnya, maka kerjakan saja dengan sebaik-baiknya sesuatu yang diyakininya itu, tanpa menyalahkan atau menuduh kelompok lain melakukan perbuatan bid’ah, agar kerukunan dan kesatuan umat Islam tidak terpecah belah, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS 3 : 103)

Islam adalah ilmu lahir dan batin, teramat luas bak lautan yang tidak bertepi, lalu jangan pernah mengerdilkannya seperti halnya katak dalam tempurung. Kitab-kitab yang menjadi rujukan kaum muslim sedunia, adalah karya Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) dan Imam Al Ghazali,ra., salah satunya adalah kitab Ihya’ Ulumiddin yang masyhur itu. Para ulama meyakini bahwa kitab ini adalah jembatan yang menghubungkan ilmu syariat dan tarekat, yang didalamnya ada ilmu seluk beluk tentang hati dan maqom-maqom serta diakhiri dengan bab khalwat. Orang-orang yang bertarekat adalah akhli Laa Ilaaha Illallaah, hatinya tidak pernah lepas dari menyebut kalimat thoyibah ini, lalu ada kelompok yang menuduh akhli Laa Ilaaha Illallaah adalah penganut bid’ah, padahal ada sebuah riwayat mengatakan bahwa sahabat Nabi,saw., telah membunuh orang kafir dalam peperangan dan sebelum pedang menghujam kedalam tubuh orang kafir itu, ia mengucap Laa Ilaaha Illallaah. Setelah Nabi,saw., mengetahui hal ini, beliau berkata : ‘Aku berlepas dari hal ini,’ sampai tiga kali diucapnya. Semoga Allah mengampuni, mengasihi dan menambahkan ilmu kepada orang-orang yang selalu menuduh bahwa amalan para ahli tarekat itu bid’ah.

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, unsur merusaknya lebih banyak daripada unsur yang memperbaikinya.’

Dan beliau juga bersabda : ‘Orang yang taat beribadah yang tak memiliki pengetahuan tentang Tuhan, bagaikan keledai yang menggerakkan jentera.’

Dan dilain kesempatan beliau berdabda : ‘Akan terjadi sejumlah fitnah dimana seorang pada pagi harinya beriman namun sorenya sudah menjadi kafir kecuali orang yang Allah hidupkan dengan ilmu.’

Imam Ali,ra berkata : ‘Allah tidak mengambil janji dengan kaum yang bodoh untuk menuntut ilmu sampai Dia mengambil janji dengan para ulama untuk memberikan ilmu kepada kaum yang bodoh tadi. Pasalnya ilmu telah ada sebelum kebodohan.’

Dan beliau juga berkata : ‘Tegaknya agama oleh empat hal, pertama ulama pembicara yang mengamalkan ilmunya, kedua orang kaya yang tidak kikir dalam memberikan hartanya kepada pemeluk agama Allah, ketiga orang miskin yang tidak menukar akhiratnya dengan dunianya, dan keempat orang bodoh yang tidak angkuh untuk menuntut ilmu. Apabila seorang alim menyembunyikan ilmu, orang kaya kikir dengan hartanya, orang miskin menukar akhirat dengan dunianya dan orang bodoh tidak mau menuntut ilmu, maka dunia ini kembali mundur kebelakang.’

Rasulullah,saw., bersabda: ‘Ilmu itu wajib bagi laki-laki atau perempuan.’ Dan ‘Carilah ilmu walaupun ke negeri China sekalipun.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Ilmu itu didatangi dan dicari.’ Perhatikan, setiap ada kata ilmu didalam Al Qur’an maupun hadis, maka secara beriringan ada perintah untuk menuntutnya dan mencarinya, pemiliknya dipuji sedemikian tingginya, diberikan kemuliaan dan balasan yang berlipat ganda atasnya, serta ketinggian pangkatnya di sisi Allah SWT. Jadi seorang yang berilmu itu (ulama) selalu dikunjungi atau diziarahi oleh orang banyak, bukan mengundang orang banyak melalui media tv atau koran lalu mengambil manfaat, melainkan memberikan manfaat kepada mereka.

Seorang salik bertanya kepada Syaikhuna : ‘Wahai Syaikhuna, apakah yang dimaksud fana dan baqo ?’ Beliau menjawab : ‘Untuk apa engkau bertanya sesuatu yang belum engkau ketahui, sedangkan ilmu yang sudah engkau ketahui belum engkau amalkan.’ Lalu beliau membacakan sebuah hadis qudsi: ‘Man ‘amila bimaa ‘alima warotsahullahu ‘ilma maalam ya’lam, Barangsiapa mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum diketahuinya.

Nabi Muhammad,saw., bersabda : ‘Keutamaan ulama atas ahli ibadah seperti keutamaanku atas orang paling rendah di antara kalian,’ Dan ‘Siapa yang didatangi oleh kematian dalam kondisi sedang menuntut ilmu guna menghidupkan Islam, maka jarak antara dirinya dan para nabi di surga hanyalah satu derajat.’

Sekarang kita dapat memahami mengapa ilmu tentang Tuhan (ma’rifat) menjadi begitu sangat penting dalam menjalankan peribadatan. Jika tidak, semua jenis dan bentuk persembahan yang dilakukan oleh manusia menjadi tidak tepat di persembahkan kepada Tuhan penguasa semesta alam. Oleh sebab itulah gerakan badaniyah tentang shalat yang dilakukan oleh anak kecil akan selalu sama dengan orang dewasa, namun tidak demikian dengan gerak-gerik qolbunya. Jika ilmu pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifat) ini tidak bersarang didalam dada seseorang, maka tidak ada bedanya peribadatan yang dilakukan oleh anak kecil dan peribadatan orang dewasa. Dan anak kecil masih terbebas dari dosa-dosa sedangkan orang dewasa harus mempertanggungjawabkan segala bentuk kelalainnya, termasuk shalatnya yang tidak tepat ditujukan kepada Tuhan, karena miskinnya ilmu yang dimilikinya tentang Tuhan (ma’rifat).

Oleh karenanya, pengetahuan tentang Tuhan ini (ma’rifat), disamping diupayakan untuk dapat dicapai dengan melakukan riyadhah dan mujahadah yang tangguh, juga harus dimohon secara terus menerus melalui lantunan doa munajat : ‘Illahii anta maqsuudi wa ridhaka matlubi a’tini mahabbatakaa wa ma’rifatakaa, yaa Arhamar Rohimiin.’

TASAWUF

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka dengan air yang segar (rezki yang banyak). (QS 72 : 16)

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tasawuf adalah hijrah dari kehidupan biasa kedalam kehidupan kesucian’. Hijrah dapat berarti berpindah secara total dari suatu tempat ke tempat lain atau dari suatu keadaan kedalam keadaan lain, tanpa kembali lagi keasalnya. Hijrah juga dapat berarti membuka peradaban baru, yaitu meninggalkan perilaku-perilaku yang biasa dilakukannya masuk kedalam adab-adab yang terpuji. Hijrah dari kehidupan yang sudah terlanjur atau terbiasa dilakukan masuk kedalam kehidupan kesucian sangatlah penuh dengan hadangan-hadangan yang hebat. Karena manusia dicipta dari tanah lempung yang hitam, dan tanah lempung mengandung ketidaksucian (kekotoran) yang merupakan lawan dari pada kesucian, dan kekotoran (kemunafikan) adalah sifat manusia. Sebagaimana besi yang sudah kadung berkarat, tentulah harus dengan kehati-hatian, ketekunan dan cara yang benar untuk membersihkannya, bila tidak ‘patahlah’ ia. Tidak ada jalan pintas untuk meraih kesucian, tidak juga dapat dicapai dengan mengikuti seminar-seminar tentang kecerdasan spiritual, dan tak pula dapat digapai hanya dengan duduk-duduk mendengarkan ceramah para da’i. Kesucian adalah jalan menuju Tuhan dari Tuhan dan bersama-sama dengan Tuhan, yang hanya bisa dilalui dengan jalan memurnikan ke-esa-an-Nya dan kepatuhan menjalankan semua perintah-Nya, meninggalkan semua larangan-Nya serta ridho atas segala qodho dan qadar-Nya. Rasulullah.saw. bersabda : “Bagian yang suci dari dunia ini telah lenyap, yang tinggal hanya ketidaksucian,” oleh karenanya, orang-orang yang berkeyakinan akan hal ini, berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyucikan budi pekerti dan tindakan mereka (riyadhah), dan berusaha keras (mujahadah) membebaskan diri dari belenggu keinginan dirinya (hawa nafsu) itulah orang-orang yang bertasawuf yang disebut mutashawif.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah perang yang tiada akhir melawan hawa nafsu (mujahadah).’ Jadi orang yang bertasawuf, adalah orang yang berjihad (mujahiddin), Nabi Muhammad.saw., menyebutnya sebagai jihad akbar, yang kualitasnya jauh lebih baik dibanding dengan berperang di medan pertempuran melawan kedzoliman dalam menegakkan agama Allah. Barang siapa terbunuh di dalam jihad dia disebut sebagai syuhada, dan syuhada adalah orang yang berbahagia karena Allah SWT sendirilah yang menyabut ruh-nya, tanpa hisab, tempatnya disebelah kanan Nabi Muhammad.saw. dan dia diperkenankan memberikan syafaat di Yaumil Qiyamah nantinya. Dan jasadnya pun tidak wajib untuk dikafani dan dimandikan.

Seorang murid bertanya kepada Syaikhuna : ‘Bagaimana cara untuk menempuh jalan kesucian, apakah ada jalan yang tercepat ? Syaikhuna menjawabnya : ‘Ikutilah pengajian tarekat.’ Murid itu bertanya lagi: ‘Lalu apa yang dimaksud dengan tarekat ?.’ Syaikhuna menjawab : ‘Tarekat adalah jalan atau metode yang di kemas sedemikian rupa oleh para masyaikh terdahulu yang bertujuan untuk medekatkan diri kepada Allah SWT, yang berupa cara-cara berdzikir, berkhalwat, muroqobah, muhasabah, dan tajjarud, seperti yang termaktub didalam firman Allah SWT : 'Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (tali agama) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS 5:35).

Seseorang yang hendak bertarekat mempunyai kewajiban untuk memperdalam ilmu syariat-nya terlebih dahulu, dan mempelajari ilmu syariat dapat diperoleh melalui beberapa orang guru yang alim dan sesuai dengan bidangnya masing-masing, seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadis, dll. Sedangkan untuk bertarekat hanya diperkenankan berguru kepada seorang Syaikh saja, kecuali bila Syaikhnya memberinya izin untuk dapat berguru kepada Syaikh yang lain. Sebagaimana pohon yang tumbuh dengan sendirinya, lebat daunnya namun tidak berbuah. Begitu pula seseorang, apabila tidak berguru kepada seorang Syaikh, lalu menyerap begitu saja ajaran tasawuf melalui buku-buku atau metodenya sendiri, maka orang itu adalah penghamba hawa nafsu, yang gurunya adalah syaithoon.

Syarat yang utama dalam memasuki kehidupan kesucian adalah mempunyai phisik yang kuat dan bertalenta yang cukup. Phisik digunakan untuk melakukan latihan-latihan keruhanian (riyadhah), seperti banyak bangun malam untuk melakukan sholat-sholat sunat dan berdzikir pada setiap keadaan, sedangkan pada siang harinya digunakan untuk berpuasa, khususnya pada hari-hari putih atau pada setiap hari Senin dan Kamis. Sedangkan talenta digunakan untuk memilah dan memilih hal-hal yang layak untuk dibicarakan agar lidah terjaga dari fitnah-fitnah dunia, menjaga pendengaran dan pandangan mata dari hal-hal yang haram, serta digunakan untuk menyerap wejangan yang disampaikan oleh Syaikh dan mencerna tindakan-tindakannya.

Jika sahnya sholat wajib diawali dengan bersuci secara lahir (berwudlu), maka bertasawuf juga ada pintu yang harus dibukanya, kunci pintu itu adalah taubat. Bersuci secara lahir (berwudlu) akan berpengaruh kepada kebesihan batin, dan bersuci secara batin (taubat) akan membersihkan batin yang lebih dalam. Barang siapa secara terus menerus dalam keadaan selalu bertaubat dan bersuci maka Allah akan mencintainya, dan barang siapa dicintai Allah maka akan amanlah dia dari himpitan dunia dan akhirat. Tidaklah mungkin orang dapat mensucikan dirinya tanpa bertaubat, oleh sebab itu taubat dan pensucian diri merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan untuk mencapai kedekatan kepada Allah,SWT, seperti keberadaan bunga dan kumbang, mustahil madu akan ada dengan sendirinya tanpa perpaduan keduanya. Seperti yang termaktub didalam firman Allah SWT : 'Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS 2 : 222)

Sang murid bertanya untuk yang ketiga kalinya, bagaimana untuk mengetahui bahwa seseorang sudah menginjakkan kakinya kedalam kehidupan tasawuf ? Syaikhuna menjawab : ‘Yang pertama adalah harus ikhlas, bukan ikhlas tingkatan orang khusus, karena ikhlas merupakan maqom tertinggi bagi para mutashawif, akan tetapi cukup dengan ikhlas tahap yang paling dasar atau ikhlasnya orang awam, yaitu menghilangkan keluh kesah dalam melakukan peribadatan. Sebagai contohnya, barang siapa merasa bergembira hatinya, atau tersenangkan hatinya setelah mengucap salam dalam shalat atau merasa lega tatkala menjelang tibanya waktu magrib bagi yang berpuasa, maka tingkat keikhlasannya belum ada. Yang kedua adalah merasa terus menerus diawasi oleh Allah SWT didalam setiap keadaan atau disebut muroqobah tingkat awal. Yang ketiga adalah memeriksa waktu yang telah berlalu (muhasabah), apakah ada diantaranya tidak digunakan untuk berdzikir kepada-Nya, dimulai dari satu, dua atau tiga jam sekali lalu untuk waktu yang lebih panjang, kemudian bertaubat karenanya dengan banyak melakukan shalat sunat taubat. Yang keempat adalah menjaga kualitas beribadatan dengan tidak mempertontonkan dan membicarakannya kepada orang lain, serta tidak merasa takjub dengan dirinya sendiri. Lalu meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan hati (tajjarud), maka seseorang akan merasakan ‘isyq (rindu yang sangat) dan hub (cinta), barulah orang yang telah merasakan yang demikian itu, melangkahkan kakinya kedalam kehidupan tasawuf.’

Keterangan Syaikh diatas mengindikasikan bahwa tasawuf adalah ilmu tahapan, seperti menaiki tangga, harus ada upaya menapaki satu demi satu anak tangga, atau pergi kesuatu tempat dengan menggunakan kereta api yang harus berhenti di stasiun-stasiun tertentu sebelum sampai pada tempat yang ditujunya. Tahapan-tahapan atau tempat-tempat pemberhentian atau keberadaan seseorang dijalan Allah ini disebut ‘maqom’, yang mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus selalu dipenuhi oleh sang pejalan, lalu menjaganya sesuai dengan tingkat kemampuannya, sehingga ia mencapai kesempurnaan. Sang pejalan tidak boleh menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan oleh maqom itu. Sedangkan sesuatu yang langsung turun dari Allah kedalam hati sang pejalan tanpa ia mampu menolak bila datang atau meraihnya bila pergi dengan upayanya sendiri, itulah yang disebut ‘hal’. Jadi hal merupakan inayah-Nya, dan maqom harus diupayakan dengan cara bersungguh-sungguh dalam menjalankan peribadatan (riyadhah) yang diperoleh atas bimbingan seorang Mursyid atau Syaikh dan melawan keinginan diri (hawa nafsu) secara terus menerus (mujahadah). Peribadatan atau pekerjaan yang harus dikerjakan oleh sang pejalan, sang pencari (thalib), murid atau salik ada yang bersifat umum, khusus dan sangat khusus. Yang bersifat umum, adalah pekerjaan dzikir-dzikir, sholat-sholat sunat, berpuasa dan melakukan wirid-wirid (aurad) yang dikerjakan setiap hari, pekerjaan ini diperuntukan bagi semua murid yang bertarekat, lalu yang bersifat khusus adalah mengikuti khalwat, pekerjaan ini diperuntukan bagi segolongan kecil murid dan yang bersifat sangat khusus adalah pekerjaan muroqobah dan muhasabah, pekerjaan ini diperuntukan bagi murid yang jumlahnya sangat sedikit.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah mengutip sebuah hadis : ‘Apa yang ada di dalam dadaku, aku tumpahkan kepada Abu Bakar.’ Dan ‘Jikalau aku adalah gudangnya ilmu, Ali bin Abi Thalib adalah pintunya.’ Inilah hadis yang mencerminkan keistimewaan dan keutamaan ke dua sahabat terdekat Nabi Muhammad,saw. Hadis tersebut mempunyai kesamaan makna, yang pertama adalah memperlihatkan perhatian dan kasih sayang yang sangat besar dari Rasulullah,saw., kepada Abu Bakar,ra., dengan melimpahkan ilmu dan cahaya kenabiannya, namun tetap saja yang dapat terserap adalah sebesar cawan keruhanian yang dimiliki oleh Abu Bakar,ra. Sedangkan makna yang kedua juga demikian, karena sebesar-besar pintu tidak akan dapat menyamai besarnya gudang, atau gudang pastilah akan lebih besar dari pintunya, dan semakin besar gudang yang dibangun tidaklah memerlukan sebuah pintu yang besar pula. Sebagian besar tarekat yang ada dimuka bumi ini, pastilah berasal dari kedua orang yang agung ini, walaupun ada beberapa tarekat yang silsilahnya melalui Huzaifah al Yamani.ra. penghuni Raudhah yang berguru tentang kemunafikan dan seluk beluk hati langsung kepada Rasulullah,saw. Kemudian pengetahuan yang diterimanya itu, dilimpahkannya kepada Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib,ra., lalu diturunkannya kepada Hadrat Syaikh Hasan al Basri (semoga Allah merahmatinya) yang bersahabat dengan Sayyidah Rabi’ah Al ‘Adawiyah (semoga Allah mensucikan ruhnya).

Imam Abul Qosim Al-Junaid Al-Bagdadi (Semoga Allah mensucikan ruhnya) berkata : “Tasawuf didirikan di atas delapan kualitas yang dicontohkan oleh delapan orang Rasul. Kemurahan hati Ibrahim,as., yang mengorbankan putranya, kepasrahan hati ismail,as., yang taat kepada perintah Tuhan dan memberikan hidupnya yang paling berharga, kesabaran Ayyub,as., yang dengan sabar menanggung penderitaan akibat luka-luka boroknya dan menanggung kecemburuan Yang Maha Pengasih, perlambangan Zakariyya,as., yang kepadanya Tuhan berfirman : ‘Engkau jangan berbicara kepada manusia selama tiga hari kecuali dengan tanda-tanda (isyarat).’ (QS 3:37) dan juga, ‘Ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang berbisik lembut.’ (QS 19:3), dan keasingan Yahya,as., ia sebagai seorang asing di negerinya sendiri merasa terasing bagi sanak keluarganya, yang ditengah-tengah mereka ia hidup, perjalanan ruhani Isa,as., yang dengan begitu rupa meninggalkan (kemewahan) benda-benda duniawi sehingga ia hanya menggunakan sebuah cangkir dan sebuah sisir, lalu ia buang cangkir itu manakala melihat seseorang minum dengan telapak tangannya, dan ia campakkan sisir itu tatkala melihat seseorang menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, pakaian bulu domba yang dipakai Musa,as., jubahnya terbuat dari bulu-bulu binatang itu, kefakiran Muhammad,saw., yang kepadanya Tuhan telah menyampaikan kunci dari semua perbendaharaan harta yang ada dipermukaan bumi, dan berkata : ‘Jangan susahkan dirimu, tapi nikmatilah setiap kemewahan dengan menggunakan semua harta kekayaan ini.’ Dan ia menjawab : ‘Wahai Tuhan, aku tidak menginginkan itu semua, berilah aku kenyang satu hari dan lapar satu hari.’ Ini semua prinsip-prinsip perilaku yang paling utama.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Berlama-lama dengan ahli syariat akan melelahkanmu, dan duduk bersama dengan ahli tarekat akan mengantarkanmu kepada Tuhan, atau paling tidak kalian telah bersahabat dengan sahabat Tuhan, yang disuatu hari kelak seorang sahabat dari sahabat Tuhan tidak akan pernah dikecewakan oleh Tuhan.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga berkata bahwa : ‘Tasawuf bersandar kepada kewalian.’ Karena pekerjaan para akhli tarekat adalah merupakan rukun kewalian, yaitu yang pertama terjaga dimalam hari, yang kedua berpuasa disiang hari, yang ketiga selalu dalam keadaan berdzikir kepada Allah,SWT dan yang keempat adalah menjaga pandangan dan lidahnya.

Sesungguhnya di dunia ini para ahli tarekat, atau ahli keruhanian, atau Mursyid atau Syaikh adalah sultan, dan di akhirat dia juga sultan, karena seorang sultan tidak lagi membutuhkan apapun kecuali yang dicintainya, sedangkan yang dicintainya hanyalah Tuhan semesta alam. Dia sangat taat kepada-Nya, dan sungguh jelas dia tidak pernah menentang-Nya. Dia meng-esa-kannya baik secara terang-terangan atau secara diam-diam. Dia memandang amat rendah dunia ini dan meninggalkannya seperti wanita yang ditolak, sebagaimana yang dilakukan oleh meraknya para sufi, Imam Abul Qosim Al Junaid Al Bagdadi, ra., tatkala beliau menolak mentah-mentah seorang wanita cantik dan kaya atas suruhan sultan Bagdad saat itu, yang kemudian wanita itu mati seketika, ketika sang Imam merasa risi dan hanya dengan berkata ‘ah’.

Semoga Allah menolong kita untuk bisa berdekat dengan para ahli tarekat, ahli keruhanian, Mursyid, atau Syaikh, yang memiliki tanggung jawab memperhatikan dan merawat orang-orang yang sakit karena terlalu lamanya tenggelam dilautan dunia ini, dan merasa kasihan terhadap mereka yang tersiksa lahir ataupun batinnya.

KEFAKIRAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS 2 : 273).

Sesuatu yang paling mahal harganya diatas dunia ini adalah ‘kemiskinan’, karena untuk menjadi miskin, seseorang harus membelinya dengan seluruh ‘kekayaannya’, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Syaikh Ibrahim bin Adham (semoga Allah mensucikan ruhnya). Yang pertama menyerahkan seluruh harta bendawinya untuk Islam dan ‘mendidik’ jiwanya agar bergantung hanya kepada Allah SWT. Yang kedua adalah raja Balkh (w 165 H), empat puluh pedang emas dan empat puluh tongkat emas selalu mengiringi didepan dan dibelakangnya. Ketika hendak tidur beliau mendengar sebuah suara dari atap istananya : ‘Apakah engkau mencari Tuhan di dalam pakaian sutra dan di atas tempat tidur emas ?’ Lalu dilain waktu beliau marah tatkala seseorang tua (Nabiyullah Khidir,as.,) mengatakan bahwa ia tinggal di penginapan bukan di istana, beliau ditanya : ‘Siapa yang memiliki istana ini sebelummu ?’ Syaikh menjawab : ‘Keluargaku, yaitu ayahku, kekekku, buyutku dan ayah dari buyutku.’ Lalu beliau ditanya lagi : ‘Ke mana mereka semua pergi ?’ dijawab : ‘Mereka telah tiada, mereka telah meninggal dunia.’ Kemudian orang tua itu berkata : ‘Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, dimana seseorang masuk dan yang lainnya pergi ?. Berkobarlah jiwanya mengalami dua kejadian itu, lalu ia menaiki kudanya dan meninggalkan istana, diperjalanan ia bertemu dengan seorang gembala yang mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan, yang sedang menggembalakan domba-domba miliknya. Syaikh melihat lebih dekat dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya. Lalu Syaikh Ibrahim bin Adham memberikan jubahnya yang bersulam emas dan mahkotanya yang bertahtakan permata kepada gembala itu, juga sekalian dengan domba-dombanya. Sebagai gantinya Syaikh mengambil pakaian dan penutup kepala gembala itu, dan segera dipakainya. Lalu terdengarlah sebuah suara : ‘Betapa agungnya kerajaan yang kini engkau miliki, engkau telah membuang pakaian dekil keduniawian dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.’ Oleh sebab itu sangatlah beruntung orang-orang yang ditakdirkan dalam keadaan miskin, karena mereka telah memiliki sesuatu yang termahal diatas dunia ini dan terhindar dari kemurkaan Allah SWT, karena salah satu tanda kemurkaan-Nya adalah bahwa seseorang merasa takut kepada kemiskinan. Kisah, beberapa orang murid menangis meraung-raung, tak mampu berdiri dan serasa lemas sekujur tubuhnya, tatkala melihat keadaan para saudara sepengajiannya yang berada di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Rumahnya sangatlah sederhana terbuat dari kayu dan tanpa daun pintu serta letaknya berada ditengah hutan, bukan saja manusia yang tidak diundang dapat masuk tanpa izin, bahkan berbagai jenis binatang pun dapat keluar masuk seenaknya. Tangisnya bukan karena merasa kasihan terhadap kehidupan yang sangatlah sederhana itu, namun lebih jauh, merupakan tangisan bangga dan iri melihat keadaan mereka. Kemiskinan bagi murid-murid yang mengiringi Syaikhuna berkunjung kesana, masih merupakan hantu yang menakutkan, sedangkan mereka yang berada di Lubuk Linggau telah berada dalam keadaan itu dan menghadapinya dengan keceriaan dan kesabaran, semoga Allah SWT mensucikan dan mengasihi kita semua. Rasulullah, saw bersabda : ‘Jadikanlah aku hidup miskin, dan jadikanlah aku mati miskin, dan bangkitkan aku dari kematian di tengah-tengah orang-orang miskin.’ Dan beliau juga bersabda : ‘Celakalah orang-orang yang menjadikan dinar dan dirham sesembahan, celakalah orang-orang yang menjadikan jubah-jubah sesembahan.’ Jika ayat Al Qur’an diatas dicermati (QS 2 : 273), maka fakir mempunyai bentuk dan makna, bentuknya adalah kemiskinan dari harta benda dunia dan maknanya adalah tidak meminta dari siapapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Jadi, orang yang sangat tidak berpunya dan sedang mendambakan sesuatu, dapat pula disebut fakir. Oleh karenanya, mereka yang menafikan sarana-sarana kehidupan wajib dihormati dan dijunjung tinggi, karena mereka bergantung hanya kepada-Nya, sementara mereka yang mempunyai sarana-sarana dan bergantung kepada sarana-sarana itu, adalah orang-orang yang menduakan Tuhan. Orang miskin hidupnya selalu dalam tekanan, ia mempunyai daya jerit yang tinggi, direndahkan oleh orang banyak, namun mempunyai kedudukan yang mulia dimata Allah SWT, apa lagi daya jeritnya hanya ditujukan hanya kepada Allah SWT bukan kepada ciptaan-Nya. Mereka yang menyadari akan manisnya tekanan kehidupan, akan selalu mengharapkan kedatangannya dan mendekapnya bila tiba, lalu dengan suka cita menerimanya, karena semua ini adalah pintu gerbang tauhid, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pintu tauhid terbuka lebar dari kefakiran.’ Mereka merasa hina dihadapan Tuhannya dan tidak menghinakan dirinya dihadapan makhluk, mereka mengenal batas-batas jiwa rendahnya dan mencampakkannya. Sebaliknya bagi orang yang bergantung dari sarananya akan jauh dari tauhid dan terperosok kedalam jurang kemusrikan, yang dalam kehidupannya akan tersiksa lahir maupun batinnya, walaupun ia mempunyai segudang harta benda dunia ini, dan keturunan yang banyak, naudzubillah mindzalik. Orang yang kokoh bangunan keimanannya akan merasa takut dan risi bila duduk bersama-sama dengan orang kaya, karena akan selalu teringat sabda Rasulullah,saw., : ‘Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati.’ Sahabat bertanya : ‘Siapa orang mati itu?’ Beliau menjawab : ‘Orang-orang kaya.’

Kisah, sewaktu Syaikhuna sedang berkumpul dengan para murid-muridnya, datanglah seorang sahabat dan langsung mendekat dan mengajukan pertanyaan kepada Syaikhuna. Beberapa waktu beliau terlihat akrab dengan sahabat itu, yang menjadikan beberapa murid yang sedang berada disitu terusik. Setelah sahabat tiu berlalu, seorang murid yang tidak mampu menahan gejolak nafs-nya bertanya kepada Syaikhuna : ‘Mohon ampun Syaikh, terlihat Syaikh begitu memperhatikan dan melayani sahabat yang kaya tadi dengan penuh kasih sayang, apakah kedekatan seseorang diukur dari kekayaannya ?’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab : ‘Dia datang kesini dengan membawa kefakiran, bahwa hatinya sedang gundah, ia sangat mendambakkan ketenangan, karena terbelit hutang yang besar dan sedang dalam masalah hukum, engkau tidak lebih dari dia kefakirannya. Berinfak kepada fakir yang miskin adalah hal biasa, sedangkan berinfak kepada fakir yang bercukup hartanya adalah perbuatan orang-orang yang terpilih.’

Seorang Syaikh berkata : ‘Rasul telah meninggalkan tiga hal, yaitu kefakiran, pengetahuan dan pedang. Namun dalam kenyataanya, pedang telah diambil oleh raja, yang kemudian menyalahgunakannya, pengetahuan dipilih oleh ulama yang merasa puas dengan mengajarkannya semata-mata dan kefakiran dipilih oleh para darwis yang menjadikannya sarana untuk memperkaya diri mereka.’

Istilah fakir sering diartikan oleh orang awam sebagai keadaan miskin yang tidak mempunyai harta benda dunia, oleh karenanya mereka lebih menyukai kekayaan daripada kemiskinan, dengan alasan bahwa Tuhan telah memberkati mereka yang kaya dan menghinakan mereka yang miskin. Mereka berdalil bahwa Tuhan telah memerintahkan agar bersyukur manakala memperoleh kekayaan dan bersabar manakala dalam kemiskinan, dan hukuman akan muncul tatkala orang yang kaya lupa bersyukur dan orang yang miskin tidak bersabar. Padahal tidak seperti itu adanya, karena sabar dan syukur merupakan kecermelangan dan kemurnian jiwa yang diperoleh dari melakukan riyadhah dan mujahadah dengan gagah, dan bukannya ada dalam ucapan saja. Syukur adalah tidak mempergunakan sedikitpun fasilitas yang diterima dari Allah SWT untuk maksiat, melainkan digunakan untuk jihad di jalan-Nya, baik fasilitas berupa barta benda duniawi ataupun kesehatan lahiriyah dan batiniyahnya.

Allah SWT berfirman :
dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’. (QS 14:7)
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(QS 2:153)

Seorang Syaikh ditanya tentang fakir, lalu tanpa berkata apapun beliau bersegera pergi meninggalkan dan menuju rumahnya, taklama kemudian beliau hadir kembali dan ditanya alasannya, beliau menjawab : ‘Aku teringat masih ada empat keping dirham dirumahku, maka aku infaqkan terlebih dahulu baru aku merasa nyaman berbicara tentang kefakiran.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Fakir adalah sebuah maqom dimana seseorang tidak lagi membutuhkan apa-apa lagi kecuali hanya Allah SWT saja.’ Ini menunjukkan bahwa kefakiran tidak bisa diraih oleh siapapun tanpa melakukan peribadatan yang keras dan terus menerus melawan hawa nafsunya. Fakir disuatu keadaan sudah tidak membedakan antara kekayaan dan kemiskinan harta bendawi, melulu hanya berkenaan dengan keadaan ruhaniyah seseorang. Selama kekayaan dipandang sebagai sampah dunia dan tidak membutuhkan apa-apa lagi, lalu kemiskinan dipandang sebagai anugerah dari Tuhan, maka tidak ada bedanya diantara keduanya. Kelompok inilah yang disebut-sebut dalam Al Qur’an mempunyai kedudukan yang tinggi dan keadaan spiritual yang murni (QS 2 : 273), oleh sebab itu barang siapa memberikan infak kepadanya, Allah SWT akan memberikan ganjaran berlipat ganda, berupa kecukupan khazanah hatinya.

Kefakiran adalah rahmat yang tinggi dari Allah SWT yang disemayamkan kepada orang-orang yang dipilih-Nya, oleh sebab itu ia menjadi symbol para wali dan hiasan para sufi. Bahkan lambang kefakiran ditunjukkan oleh mereka dengan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar. Namun para sufi terkemudian justru memakai baju yang layak dipakai orang kebanyakan, guna menutupi keadaan spiritualnya dihadapan orang banyak. Sudah merupakan hal yang logis, bahwa sesuatu yang sangat bermanfaat mempunyai kebalikan yang sangat membahayakan, misalnya surga dengan neraka, baik dengan buruk, dan seperti keimanan yang mempunyai lawan kekafiran. Bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah SWT, karena begitu banyak keistimewaan dalam kemiskinan dan merupakan sifat yang paling mulia. Dalam hal ini Rasulullah, saw., bersabda : ‘Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.’ Dan beliau juga bersabda : ‘Kefakiran adalah kemuliaan bagi mereka yang layak memperolehnya.’ Lalu bila demikian, apakah layak orang yang merendahkan diri tapi mengharapkan pujian dari orang lain menggunakan istilah : ‘Saya si fakir ini.’

Semua datangnya dari Allah SWT, oleh sebab itu kekayaan atau pun kemiskinan tidak bisa dipilih oleh manusia, ini adalah kekuasaan Tuhan, Dia akan memilih hambanya yang dikaruniai kekayaan dan demikian juga kemiskinan sekehendak-Nya. Namun, umumnya manusia bila dikaruniai baik kekayaan atau kemiskinan hatinya menjadi goncang. Bila kekayaan yang datang, manusia akan menjadi lupa diri dan sombong, dan bila kemiskinan yang datang, ia menjadi iri dan dengki. Seseorang yang mempunyai keadaan spiritual yang tinggi akan menyikapi dua keadaan ini secara arif, bila diberi kekayaan dia tidak akan lupa diri dan jika Tuhan menghendaki kemiskinan, ia tidak akan menjadi iri dan durhaka. Kekayaan akan rusak karena kelalaian dan kemiskinan akan roboh karena iri hati. Nah, bila kekayaan dan kemiskinan berkenaan dengan benda-benda dunia, dipandang bahwa semua benda-benda dunia itu milik Tuhan, dan sang pejalan mengucapkan perpisahan kepada kemiskinan, maka tidak ada bedanya antara kekayaan dan kemiskinan baginya. Sehingga keduanya sudah bukan merupakan hijab-hijab yang menghalangi perjalanan menuju Tuhan. Seperti yang terjadi kepada Nabiyullah Ayub,as., dan Nabiyullah Sulaiman,as., yang satu dikaruniai kemiskinan dan yang lain kekayaan, dan jika keridhaan Tuhan tergapai, tak ada perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, keduanya akan mendapatkan gelar kehormatan ‘Dialah sebaik-baik hamba.’

Orang-orang yang bergantung hanya kepada Allah SWT adalah fakir sejati, mereka menafikan segala sesuatu selain Allah Ta’ala (Laa Ilaaha Illallaah), mereka telah berpegang kepada tali tauhid yang kokoh, karena Allah SWT berfirman :
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (QS 112:2)

Melalui fakir, Jalan menuju kemurnian tauhid terbentang luas, dengan jeritan yang semakin keras dan dibarengi dengan riyadhah dan mujahadah yang gagah, maka sisa-sisa kedirian akan punah, lenyap seperti sebongkah es diatas bara api, penafiannya sempurna, bahkan dirinya pun sirna sehingga firman Allah SWT dibawah ini mengejewantah di dalam kehidupannya :

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (QS 112 : 1).

TAUHID

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Katakanlah : “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” (QS 112 : 1)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah,ra., bahwa Nabi,saw., mengutus (sebuah unit pasukan) di bawah komando seseorang yang menjadi imam shalat dan mengakhiri shalatnya dengan membaca ayat diatas. Ketika mereka kembali dari peperangan, mereka memberitahukannya kepada Nabi,saw., yang berkata kepada mereka : ‘Tanyakan apa alasanya.’ Mereka bertanya kepadanya dan dia menjawab : ‘Aku melakukannya karena ayat itu menyebutkan kualitas Yang Maha Pengasih dan aku senang membacanya dalam shalatku.’ Nabi,saw., bersabda kepada mereka: ‘Beritahu dia, bahwa Allah mencintainya.’

Tauhid adalah peng-esa-an manusia akan Tuhan, yakni pengetahuan manusia akan ke-esa-an Tuhan, pengetahuan ini bisa didapat melalui dua jalan, yang pertama diperoleh dari membaca buku-buku atau mengikuti kuliah tentang tauhid dan yang kedua diperoleh dari cara melakukan riyadhah dan mujahadah atas bimbingan seorang Mursyid. Yang pertama membutuhkan daya ingat yang baik, karena pengetahuan yang didapat dari membaca buku akan tersimpan didalam otak belakang, dan begitu kapasitas daya tampung penuh atau usia menua (uzur), maka dengan mudah akan lupa, seperti orang-orang dewasa yang sudah lupa akan pelajaran hapalan yang didapat di sekolah dasar. Sedangkan yang kedua adalah pengetahuan yang didapat dari hasil bekerja sebagai budak Tuhan, dengan begitu Tuhan akan mengkaruniakan pengetahuan dan perasaan yang benar tentang ke-esa-an-Nya langsung kedalam hati sang budak. Nah pengetahuan yang kedua ini, tidak akan bisa lupa, baik selama hidup di dunia ataupun dalam kehidupan di alam barzakh dan hari berbangkit nantinya, karena berupa perasaan (musyahadah) yang hakiki yang selalu menyelimuti hati dan tidak memerlukan daya ingat seperti yang pertama. Sebagai perumpamaan, bahwa kelompok yang pertama mengerti dan mempunyai pengetahuan bagaimana cara-cara membuat santan, tanpa pernah mempraktekannya, oleh sebab itu kelompok ini tidak pernah mengetahui ‘rasa’ daripada santan itu. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menanam pohon kelapa, memetik buahnya, lalu mengupasnya dan memisahkan antara sabut dan batok kelapanya, lalu daging kelapanya diparut dan dicampur dengan sedikit air dan diperas, maka akan diperoleh santan yang murni, sehingga kelompok ini akan memperoleh rasa yang benar dari santan itu .

Pengertian tauhid oleh kelompok yang pertama adalah meng-esa-kan Allah baik dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun kesempurnaan asma dan sifat-Nya.

Tauhid rububiyah, yaitu meng-esa-kan Allah bahwa menciptakan, memberi rizki, mengatur segala urusan, menghidupkan, mematikan dan sebagainya adalah perbuatan-perbuatan-Nya, maka tidak ada satu penciptapun kecuali Allah, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (QS 39 : 62).
Dan tidak ada sesuatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mauhfuzh). (QS 11 : 6)

Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan (QS 10 : 56)

Orang-orang kafir pada zaman Rasulullah saw., pun juga mengakui tauhid rububiyah ini, tetapi pengakuan ini tidak menjadikan mereka masuk kedalam agama Islam, seperti yang termaktub didalam firman-Nya ini :
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? tentu mereka akan menjawab Allah (QS 31: 25)

Tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah bahwa perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkankan-Nya hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, seperti do’a, khauf, tawakkal, meminta pertolongan dan meminta perlidungan, dan lain sebagainya.
Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu (QS 40 : 60)
Maka janganlah kemu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS 3 : 175)
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS 5 : 23)
Hanya kepada-Mu kamu menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan (QS 1: 5)
Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia (QS 114 : 1)

Tauhid uluhiyah ini telah dibawa oleh para rasul untuk menyeru kepada umatnya, Allah SWT berfirman : 'Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu (QS 16: 36).

Dan orang-orang kafir sejak zaman dahulu dan sampai sekarang tetap saja mengingkarinya, mereka berkata seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja ? sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (QS 38 : 5)

Tauhid Asma’ dan sifat, yaitu beriman kepada setiap nama dan sifat Allah yang ada didalam Al Qur’an dan hadis-hadis yang shahih, yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya atas yang disifatkan oleh Rasul-Nya menurut hakikatnya. Orang-orang kafir di zaman kini secara lahir tidak mengingkari hal ini, namun didalam batinnya tetap saja tenggelam dalam kekafirannya. Mereka memberikan komentar-komentar karya para wali Allah yang agung, seperti karya Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., Syaikh Ibnu Arabi,ra., dan Syaikh Al-Hujwiri,ra., serta menulis banyak buku yang berkenaan dengan hal tersebut dalam gaya bahasa yang indah dan mudah dijumpai di toko-toko buku. Mereka memberikan kesan bahwa semua agama datangnya dari satu Tuhan dan cara-cara pensucian diri yang dilakukan oleh para sufi, telah pula dilakukan oleh golongan mereka terdahulu. Jelas ini merupakan kekeliruan yang luar biasa, walaupun secara kuantitas mereka mempunyai banyak literatur buku-buku tasawuf kuno.

Sejak dulu di sekolah-sekolah dasar telah diajarkan sifat Allah yang terangkum dalam sifat dua puluh, dan para murid pun diwajibkan untuk menghapalnya, yaitu Wujud, Qidam, Baqa, Mukholafatuhu Lil Hawadist, Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi, Wahdaniyat, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama, Bashar, Kalam, Qodirun, Muridun, Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakallimun. Oleh sebab itu pengetahuan yang datang dari cara menghapal akan mudah pula pergi dari ingatan (lupa).

Nama-nama Allah itu tidak terbatas, namun para ulama sepakat bahwa berdasarkan Al Qur’an terdapat sembilan puluh sembilan nama, diantaranya Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), As-Sami (Yang Maha Mendengar), Al Bashir (Yang Maha Melihat).
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS : 42: 11).

Tauhid oleh kelompok yang kedua atau dimata para ahli tarekat mempunyai sudut pandang yang lebih dalam. Di suatu saat, Syaikh Al Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mengajak beberapa muridnya untuk menghadiri acara haul di rubat Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja (Semoga Allah mensucikan ruhnya), beliau adalah seorang Syaikh dari para Syaikh, Sultan dari para alim, pemilik rahasia kesucian, pecinta Tuhan dan mencintai para kekasih Tuhan, pemilik pengetahuan Ilahi yang tak berbanding. Beliau laksana hujan dari samudera pengetahuan, beliau adalah anggrek terindah di bumi, pemilik pengetahuan lahir dan batin yang sempurna, beliau adalah salah satu keajaiban Tuhan, beliau adalah suatu rahasia dari rahasia Tuhan. Bila seorang murid tawadhu terhadap gurunya adalah hal biasa, namun beliau selalu bersikap tawadhu terhadap muridnya.

Pertemuan kedua Syaikh itu sungguh membuat kesan yang indah didalam hati, setelah Syaikhuna mencium kaki dan tangan yang mulia Syaikh Nuurunnaum, lalu tanpa ada kata-kata mereka berdekapan, airmatanya bercucuran bak air hujan, rasa kerinduan yang tak pernah berakhir itu membias keseluruh jemaah yang hadir, semua tertunduk dan terdiam menyaksikan ‘pertemuan’ seorang murid yang telah berbakti kepada gurunya lebih dari empat puluh tahun lamanya. Syaikh Nuurunnaum memanggil Syaikhuna dengan sebutan ‘anakku’, Syaikh Achmad atau Syaikh Waasi’, tidak akan pernah ada, diatas bumi ini pemandangan yang begitu menakjubkan kecuali dilingkungan tarekat, segera dua ruh suci itu mengangkasa ke langit, jauh meninggalkan kumpulan para salik. Syaikhuna memapah Syaikh Nuurunnaum yang terlihat nyaris ‘pingsan’ menuju ke kamarnya, lalu beliau naik ke mimbar dan berkata: ‘Saya tidak adab berbicara didepan guru dan para sesepuh disini, dan saya juga tidak adab bila menolak permintaan guru untuk mewakilinya berbicara disini, akan tetapi saya bercermin terhadap Imam Junaid,ra., tatkala beliau diminta oleh gurunya yang sekaligus pamannya yang bernama Imam Sari As Saqoti,ra., untuk berbicara didepan umum, walapun sudah beberapa kali Imam Junaid,ra., menolaknya, akhirnya atas perintah Rasulullah,saw., yang dijumpai dalam mimpinya, beliaupun melakukannya. Tidaklah mungkin kesempurnaan peng-esa-an Allah SWT dapat diperoleh oleh seseorang kecuali melalui muroqobah, dan muroqobah yang berkenaan dengan ayat yang berbunyi ‘Qul huwallaahu ahad’ (QS 142 : 1) disebut muroqobah ahadiyah, atau muroqobah yang pertama dari dua puluh tingkatan muroqobah bagi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Barang siapa melakukan muroqobah lalu masih tersisa kesadaran akan keberadaan dirinya maka muroqobahnya belum sempurna dan hasil daripadanya juga pasti jauh dari kesempurnaan, sehingga tingkat tauhidnya masih belum bersih.’

Muroqobah (meditasi) berbeda dengan tafakur (kontemplasi), bila muroqobah (meditasi) adalah perenungan yang dilakukan oleh hati (qolbi), maka tafakur (kontemplasi) adalah perenungan yang dilakukan dengan menggunakan akal pikiran. Tafakur bisa dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai talenta yang cukup, sedangkan muroqobah diperuntukkan bagi para salik yang sudah khatam dalam dzikirnya dan harus terlebih dahulu mendapatkan ijazah dari seorang Mursyid. Boleh jadi pada tahapan tertentu seorang salik akan mengalami keadaan ‘kebekuan’ bila memperbanyak pekerjaan dzikir-dzikirnya, dan dalam keadaan yang demikian, sang Mursyid akan memberinya pekerjaan muroqobah, namun hal ini bukan merupakan satu-satunya alasan, terserah apakah sang Mursyid meridhoinya.

Ayat-ayat didalam Al Qur’an tidak secara tegas mewajibkan tafakur namun memberikan ‘anjuran yang sangat’ (bahasa Al Quran-nya ‘bagi mereka yang mau berfikir’) kepada manusia untuk melakukannya, terhadap hal-hal yang tertuang didalam Kitabullah itu. Keutamaan tafakur meng-ungguli peribadatan lainnya, seperti yang dikatakan oleh Sayidina Ali,ra., : ‘Tafakur sesaat sama dengan ibadah enam puluh tahun’. Walaupun orang-orang yang beriman sangat mengetahui keutamaannya, namun yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya hanya sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka lebih cenderung bertafakur yang berkenaan dengan rizki dunianya dan takut dengan kemiskinan, yang jelas-jelas dilarang oleh agama, karena akan mengakibatkan hati menjadi membatu dan gelap. Oleh sebab itu disuatu kesempatan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada para saliknya yang sedang berkumpul membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan tafakur ; ‘Sesungguhnya diantara kalian yang sedang membicarakan tafakur, walaupun telah mengetahui keutamaannya, tidaklah ada yang pernah melakukannya, karena tafakur merupakan maqom (tingkat keimanan) tertentu bagi pejalan yang tangguh.’

Allah SWT berfirman :
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka.’(QS 3: 191)

Ayat tersebut memperlihatkan tahapan melakukan tafakur, yaitu diawali dengan banyak berdzikir dalam setiap keadaan, yang akan menghasilkan pikiran menjadi kosong dari yang lain kecuali Allah SWT, lalu dalam keadaan yang demikian barulah melakukan tafakur (kontemplasi), sehingga akan melahirkan ribuan makna tersembunyi. Orang-orang yang mengaku telah melakukan tafakur (kontemplasi) terhadap ciptaan, penciptaan dan Pencipta, tanpa melalui tahapan ini, akan menghasilkan perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka sendiri, karena tentulah hasil dari padanya akan sangatlah dangkal.

Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4 : 1)
Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (QS 33 : 52)
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS 89 : 14)

Untuk mempunyai pe-rasa-an yang benar bahwa Allah selalu bersama-sama dimanapun kita berada tidaklah mudah, karena hal ini merupakan keadaan tingkat ketahuidan seseorang yang tinggi, maqom yang bercukup. Walaupun seseorang hapal atau mengetahui banyak ayat Al Qur’an dan hadis berkenaan dengan hal tersebut, toh tetap saja pe-rasa-an yang demikian ini tidaklah bisa hadir dan dirasakan disetiap waktu. Nabi,saw., menyebutnya ihsan yaitu Merasa melihat Allah Swt atau merasa dilihat oleh Allah Swt pada saat beribadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya ‘musyahadah’ yang merupakan karunia Tuhan kepada seseorang yang gigih dalam menjalankan riyadhah dan mujahadahnya. Keadaan ihsan atau bahkan merasa terus menerus diawasi oleh Allah disepanjang kehidupannya adalah buah yang awal yang didapat dari menanam pohon ‘muroqobah’ yang selalu disiram dengan air kepatuhan dan diberikan pupuk kewaspadaan secara terus menerus. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pada awalnya muroqobah adalah merasa terus menerus dalam pengawasan Tuhan, lalu merasa bersama-sama dengan Tuhan, dalam tahap ini masih tersisa insaniyah karena masih ada ‘aku’ dan ‘Engkau’, sedangkan ditahap selanjutnya yang ada hanya ‘Dia’ saja, seperti yang termaktub didalam firman-Nya : 'Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.’ (QS 55 : 26 – 27)

Muroqobah adalah melepaskan keinginan diri dari keinginannya untuk meniadakan dirinya, dan berpaling dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Maka hasil dari muroqobah yang dilakukan oleh ahlinya akan saling mendukung, walaupun terdapat sedikit perbedaan dari cara pengungkapannya namun mempunyai kesamaan makna. Karena begitu hati seseorang kosong dari segalanya kecuali Tuhan, maka cahaya Tuhan akan bersemayam didalamnya, dan cahaya ini akan dapat melihat rahasia-rahasia yang paling dalam sekalipun. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Seseorang yang telah mencapai empat muroqobah yaitu muroqobah ahadiyah, ma’iyah, aqrobiyah dan Mahabah fi al-dairot al-ula, maka syah hukumnya dimintakan doa-doanya karena yang bersangkutan telah mencapai wali sugro (wali kecil).’

Setelah selesai menghadiri acara dimaksud, seorang salik bertanya kepada Syaikhuna : ‘Jika taudid adalah pengetahuan ke-esa-an yang sempurna tentang Tuhan yang didapat dari ‘pengalaman’ para Syaikh atau para Sufi, mohon kami mendapatkan penjelasan ? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab dan memulainya dengan mengutip sebuah firman Allah SWT ; 'Barang siapa mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik lagi dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS 16 : 97)

Di dalam ayat ini jelas sekali siapa yang disembah dan yang menyembah serta siapa yang membutuhkan dan yang dibutuhkan. Di dalamnya juga terkandung kejelasan dan ketegasan antara makhluk dan Pencipta, yang sementara dan yang kekal. Allah dengan Kemahakuasaan-Nya lagi Maha Pencipta akan memberikan balasan yang setimpal bagi yang beriman kepada-Nya. Ke-esa-an-Nya, Jalal (Keperkasaan) dan Jamal-Nya (Keindahan-Nya) adalah suci dari sifat-sifat yang digambarkan, dan perkiraan-perkiraan yang didambakan oleh manusia. Seluruh pemahaman manusia hanyalah keterbatasan belaka menghadapi ketunggalan dan keabadian-Nya. Kejelasan-Nya melebihi segala rasa seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Dia Maha Meliputi, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Apabila seluruh ciptaan mempersatukan pemahamannya dengan memakai kata-kata atau bahasa hanyalah merupakan kehinaan dan kelemahan ciptaan saja, karena sesungguhnya Dia tidak terhingga. Oleh sebab itu, tauhid merupakan ilmu tahapan menurut pemahaman lahiriah dan batiniah.

Kemudian sang salik bertanya lagi : ‘Bila tauhid merupakan ilmu tahapan, mohon Syaikh dapat menyampaikan tahap-tahap itu ? Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) melanjutkan penjelasannya :

Tauhid Ilmul Yaqin, pemahaman tauhid bagi orang awam.
Yang pertama, Pengenalan adanya Tuhan untuk diimani oleh manusia melalui bukti-bukti adanya berbagai ciptaan, agar manusia mau beribadah kepada Allah SWT menurut ketentuan yang ada pada Al Qur’an dan Al Hadis. Yang kedua, diucapkan dengan lidah (perkataan) serta dikukuhkan di dalam hati sebagai tanda keimanannya agar setiap ibadah yang dilakukannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Yang ketiga, bertujuan agar terhindar dari segala kemusyrikan yang terang-terangan seperti penyembahan terhadap berhala atau Tuhan dengan berbagai macam atribut ; tuhan beranak dan diperanakkan seperti yang dilakukan oleh orang nasrani. Dan yang keempat, melalui perenungan atas segala macam kejadian dan ciptaan termasuk pengetahuan tentang keagungan-Nya yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan, contohnya : terjadinya tubuh beserta indriawi dan kegunaannya agar manusia mampu bersyukur kepada-Nya dengan melakukan peribadatan menurut ketentuan syariat.

Tauhid Ainul Yaqin.
Tahapan selanjutnya adalah milik para ahli riyadhah dan mujahadah yang gigih dalam peribadatannya serta terus menerus melawan hawa nafsunya, sehingga Allah memberikan jalan dan tujuan yang pasti. Mereka beroleh cahaya dari Tuhannya, berupa akal spiritual, pemahaman dan penjabaran yang benar tentang Allah SWT, baik lahir maupun batin.

Tauhid Haqul Yaqin.
Tauhid bukanlah hanya sekedar mengetahui atau mengerti bahwa pencipta alam semesta seperti bumi, planet, langit, alam ghaib, surga, neraka, beserta penghuni-penghuninya adalah Allah SWT. Tauhid juga tidaklah hanya diperuntukkan agar manusia meyakini bukti-bukti pemikiran tentang keberadaan Allah semata dan keesaan-Nya, serta pemahaman yang berkenaan dengan asma-Nya dan sifat-sifat-Nya. Namun yang lebih jauh lagi dan terpenting adalah harapan tentang musyahadah yang ada pada genggaman-Nya. Seperti yang termaktub didalam firman-Nya : 'Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thahgut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS 16 : 36) 'Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-ganggakan diri. (QS 4 : 36)
'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baik-nya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS 17 : 23-24)

Ayat-ayat diatas menunjukkan posisi, keadaan, aturan dan perintah yang tegas akan keesaan Allah. Agar manusia tidak berbuat syirik, Allah perintahkan perbuatan-perbuatan apa saja yang harus dilakukan sebagai jalan yang lurus untuk meraih ridho-Nya.

Sang salik bertanya lagi : ‘Lalu bagaimana makhluk harus memposisikan dirinya dihadapan Tuhan dan apa-apa yang harus dikerjakan, mohon Syaikh dapat menyampaikannya ? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawabnya :

Posisi makhluk ciptaan dan yang harus dikerjakan :
Yang pertama, harus menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, yang dengan waktu yang sangat terbatas harus patuh akan perintah Allah, dengan aturan yang benar berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis. Yang kedua, riyadhah yaitu mendisiplinkan diri dengan ketat dengan melakukan apa yang diperintahkan dan jangan sekali-kali melanggar larangan-Nya. Yang ketiga, Mujahadah yaitu melawan hawa nafsu dengan memerangi keinginan jiwa rendah yang condong kepada syahwat berupa kesenangan badaniah, yang ditandai dengan terkaitnya jiwa kepada ciptaan-ciptaan, dan terganjal penyakit-penyakit hati, ujub, riya, sum’ah, takabur dan lain-lain. Melalui riyadhah dan mujahadah inilah, Allah akan memberikan kejelasan-kejelasan berupa ilmu yang benar dan nyata tentang keesaan-Nya (musyahadah). Tentulah hal ini, harus dibawah bimbingan seorang Mursyid agar seseorang dapat mencapai Tauhid Ilahiah dan memperoleh maqom yang lebih tinggi. Pada kedudukan maqom ini seseorang tidak berfikir lagi tentang yang lain selain Allah dengan mengerti tentang zat, sifat dan af’al-Nya. Kesadaran akan tauhid menjadi prima lalu dia akan mengerti, bahwa : ‘hal’ dan kata-kata hanyalah merupakan jalan menuju ke-esa-an, sedangkan peng-esa-an yang sebenar-benarnya tidak ada di dalam kata-kata dan ‘hal’ sekalipun. Selama manusia masih ada dalam keterkaitan atau peluruhan atas diri. Segala kemampuan kata-kata atau berupa apapun yang menjadi upaya untuk pengungkapan kebesaran, keteguhan, kemulyaan, termasuk hakikatnya sangat bertolak belakang dengan gambaran-gambaran dan usaha kata-kata maupun hal. Karena ini semua masih dinisbatkan kepada makhluk (ciptaan). Sedangkan peng-esa-an Allah (tauhid) harus terlepas dari atribut-atribut, julukan-julukan, gelar-gelar, ruang, tempat yang menyerupai keadaan makhluk (ciptaan), karenanya tauhid menjadi batal selama ada penisbatan akan ciptaan. Allah yang zat, sifat dan af’al-Nya dibuat oleh diri-Nya sendiri merupakan hakikat mutlak dari ketuhanan (tauhid). Maka dari itu manusia harus menyikapinya dengan peribadatan secara mutlak pula : Wama kholaqtul jinna wal insa ilaa li ya’budun. Manusia harus menjalankan kewajiban-kewajibannya secara murni kepada Tuhannya. Oleh karena itu patut disadari agar manusia menyembah Tuhannya dengan tidak merasa bahwa dia telah berbuat sesuatu yang besar kepada Tuhannya. Peng-esa-annya harus terlepas dari penyamaan pandangan atas sifat-sifat diri yang berbau kemakhlukan, karena Allah Maha Suci dari segala gelar, julukan, hitungan, arahan dan pengarahan, pengubahan, Maha Suci Allah atas keberadaan-Nya.

Para Syaikh terdahulu mempunyai pandangan yang sama tentang tauhid, walaupun pengungkapannya berbeda-beda menurut keadaan dan bahasa, serta nuansanya masing-masing. Semuanya akan tertuju pada peluruhan dan peniadaan diri demi mencapai pengesaan sejati (tauhid) yang seluruhnya bertumpu pada kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Sebuah peribadatan atau keberbaktian kepada Allah akan mengotori amal, selama amal itu masih diikuti harapan, penilaian, atau disisipi keingintahuan tentang rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Sebaliknya, manusia harus menjauhkan rasa seolah-olah dia sudah berkemampuan beribadat dengan baik. Dia harus menghapuskannya dari dalam hati, karena itu masih bersifat keakuan yang tersisa yang dapat mengotori tujuan yang sebenarnya. Selama polemik yang berkecamuk di dalam hati itu masih ada, maka tauhid tak akan pernah sempurna. Allah SWT berfirman : 'Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhoaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami, Dan sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbuat baik. (QS 29 : 69)

Allah Maha Meliputi dan Maha Mencukupi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan. Akan tetapi, manusia tidak pernah merasa dekat dengan Tuhannya. Itulah sebuah kekurangan yang ada pada diri manusia pada umumnya. Sekalipun manusia memiliki segala apa yang didambakannya, dia akan tetap merasa jauh dengan Tuhannya, karena yang dimilikinya hanyalah berupa ciptaan belaka, termasuk dirinya sendiri. Keadaan manusia seperti ini tidak lepas daripada keluh kesah dan dipenuhi dengan keinginan-keinginan, serta angan-angan.

Pada maqom yang lebih baik, apabila manusia telah ‘sampai’ kepada Tuhannya maka dia akan merasa memiliki segalanya. Dia tidak akan pernah perduli pada ciptaan, hatinya penuh dengan ketenangan dan kegembiraan. Dia telah terbebas dari apa yang dipikirkan oleh manusia pada umumnya. Keadaan inilah yang menjadi dambaan para pejalan di jalan Allah (bila boleh menyebutnya begitu) untuk mencapai tujuan sejati sebagai pintu gerbang ma’rifatullah. Apabila manusia sudah tau akan apa yang harus diperbuat terhadap Tuhannya, berupa hak dan kewajibannya, maka manusia harus memposisikan Tuhannya di atas segala ciptaan yang bersifat fana (sementara). Sehingga atribut apa pun yang dinisbatkan kepada-Nya hukumnya syirik, sungguh tiada ampunan. Karena telah merendahkan derajat Ketuhanan. Allah SWT berfirman : 'Katakanlah : “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS 112 : 1-4)

Salik yang lain bertanya kepada Syaikh : ‘Mohon Syaikh dapat memberikan contoh keadaan para ahli tauhid.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab :

Keadaan para ahli tauhid.
Di dalam peribadatan para ahli tauhid, tidak pernah terlintas di dalam hatinya berupa keinginan untuk mendapatkan balasan-balasan atas kebaikan yang dilakukannya, di dunia maupun di akhirat. Tidak pula merasa berbuat kebaikan atas apa yang dilakukan di dalam ibadatnya, karena segala hasrat diri menjadi sirna dan tertutupi oleh sifat-sifat ketuhanan di dalam kepatuhannya. Yang tersisa hanyalah gerak atas kehendak-Nya. Bila masih ada sedikit keluh kesah, Allah segera menggantinya dengan kesenangan dan ketenangan dalam melakukan ibadah, akibat bersihnya ‘jarak’ dan kehendak. Dalam arti lain dia telah memasuki lingkaran kesucian ilahiah. Terkurung di dalam penjara kasih sayang-Nya, terlindungi, termuliakan dan dia menjadi tidak berdaya selain patuh atas segala perintah-Nya. Dia bagai mayat dihadapan Allah Yang Maha Perkasa. Laa haula wala quwata illa billahil aliyil adziim. Mereka itulah orang-orang yang meraih maqom tertinggi di dalam maqom tauhid. Setelah mereka beroleh musyahadah dari Tuhannya dan terlepas dari segala sifat insaniah, maka berpindahlah dia dari kehidupan keberusahaan kepada kehidupan keberserahan. Maka dari itu makhluk menjadi takluk secara total dengan tidak membawa persyaratan apa pun pada dirinya (Haqul Yaqin). Di dalam lingkaran Kasih Sayang Allah ini, Allah berfirman :
'Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (QS 54 : 54-55)

Tauhid para Sufi agung.
Abu Bakar As Siddiq,ra., berkata : ‘Mahasuci Tuhan, yang tidak menganugerahi makhluk-makhluk-Nya sarana untuk mencapai pengetahuan tentang Dia, kecuali melalui ketidak berdayaan untuk mencapai pengetahuan tentang Dia.’

Syaikh Sahl bin Abdallah,ra., berkata : ‘Pengesaan itu, supaya engkau tahu bahwa esensi Tuhan memiliki pengetahuan, sehingga Dia tidak bisa dipahami atau tidak bisa dilihat dengan mata di dunia ini, tetapi Dia ada dalam realitas iman, tak berhingga, tidak bisa dipahami, tidak berinkarnasi. Dia akan dilihat di akhirat kelak, secara lahir dan batin, dalam kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Dan manusia ditabiri dari pengetahuan tentang watak puncak esensi-Nya. Dan bahwa kalbu mereka mengenal-Nya, namun intelektualitas mereka tidak bisa sampai kepada-Nya. Dan bahwa orang-orang beriman akan memandang-Nya dengan mata (ruhani) mereka, tanpa memahami ketidakberhinggaan-Nya.’

Al Imam Abul Qosim Al Junaidi Al Bagdadi,ra., berkata : ‘Pengesaan adalah pemisahan yang qadim dari yang bermula dalam waktu, yakni engkau tidak boleh menganggap yang qadim sebagai tempat (locus) dari yang fenomenal, atau yang fenomenal sebagai tempat dari yang qadim. Dan ketahuilah bahwa Tuhan adalah qadim dan bahwa engkau adalah fenomenal, dan bahwa tidak ada diantara jenismu yang berkaitan dengan-Nya, dan bahwa tidak ada di antara sifat-sifat-Nya yang membaur di dalam dirimu, dan bahwa tidak ada kesurupaan antara yang qadim dan yang fenomenal.

Pengesaan adalah bahwa seseorang supaya menjadi figure di tangan Tuhan, figure yang menjadi sasaran keputusan-keputusan-Nya sesuai ketentuan kemahakuasaan-Nya, dan supaya seseorang tenggelam dalam samudera ke-esa-an-Nya, dan juga mati terhadap panggilan manusia kepadanya dan jawabannya kepada mereka, terserap oleh hakikat ke-esa-an Tuhan dalam kedekatan yang sejati, dan sirna dari perasaan dan tindakan, karena Tuhan memenuhi di dalam dirinya apa yang Dia telah kehendaki darinya, yaitu bahwa keadaannya yang terakhir harus menjadi keadaannya yang pertama, dan bahwa ia harus menjadi seperti sebelum ia ada’.

Syaikh Ali bin Usman Al Jullabi,ra., berkata : ‘Pengesaan manusia akan Tuhan, yakni pengetahuan manusia akan ke-esa-an Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu, yang tidak mengalami penyatuan dan pemisahan, tidak mengenal dualitas, bahwa ke-esa-an-Nya bukanlah sebuah bilangan sedemikian rupa sehingga dapat dibuat menjadi dua dengan penambahan bilangan lain, bahwa Dia bukanlah terbatas sedemikian rupa sehingga mempunyai enam arah, bahwa Dia tidak mempunyai ruang dan bahwa Dia tidak berada di dalam ruang bahwa Dia bukanlah aksiden sedemikian rupa sehingga membutuhkan subtansi, atau bukan substansi yang tidak bisa ada tanpa yang lain yang seperti dirinya, atau bukan resam tubuh natural yang bergerak dan diam, atau bukannya tubuh sedemikian rupa sehingga tersusun dari anggota-anggota tubuh, dan bahwa Dia tidak pernah menjadi imanen di dalam benda-benda, sehingga Dia harus menjadi serupa dengan mereka dan bahwa Dia tidaklah tergabung dengan sesuatu-pun, sehingga sesuatu itu harus menjadi bagian dari-Nya, dan bahwa Dia bebas dari semua ketidaksempurnaan dan mengatasi semua kelemahan dan bahwa Dia tidak mempunyai keserupaan, sehingga Dia dan makhluk-Nya akan menjadi dua, dan bahwa Dia tidak mempunyai anak, sehingga akan menyebabkan-Nya menjadi berketurunan, dan bahwa zat dan sifat-sifat-Nya tidak berubah, dan bahwa Dia memiliki sifat-sifat sempurna itu yang diakui orang-orang beriman dan ahli tauhid, dan yang Dia telah menggambarkan Diri-Nya sebagai yang Mahakaya, dan bahwa Dia bebas dari sifat-sifat yang seenaknya dinisbatkan kaum sesat kepada-Nya itu, dan bahwa Dia Mahahidup, Maha Mengetahui, Maha Mengampuni, Maha Pengasih, Maha Berkehendak, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, dan Mahaabadi dan bahwa pengetahuan-Nya bukanlah keadaan di dalam Diri-Nya, atau kekuasaan-Nya bukannya tertanam dalam-dalam di dalam Diri-Nya, atau pendengaran dan penglihatan-Nya bukannya berdiri sendiri di dalam Diri-Nya, atau pembicaraan-Nya bukannya terbagi-bagi di dalam Diri-Nya dan bahwa Dia bersama-sama dengan sifat-sifat-Nya ada secara abadi, dan bahwa apa yang diketahui bukanlah berada di luar pengetahuan-Nya, dan bahwa entitas-entitas sepenuhnya begantung pada kehendak-Nya, dan bahwa Dia selalu berbuat menurut apa yang Dia kehendaki, dan menghendaki yang Dia ketahui, dan tidak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya dan bahwa takdir-Nya adalah fakta absolut dan bahwa wali-wali-Nya tidak mempunyai daya apapun selain penyerahan dan bahwa Dia adalah satu-satunya yang menentukan baik dan buruk dan satu-satunya yang pantas diharapkan atau ditakuti dan bahwa Dia menciptakan semua keuntungan dan kerugian dan bahwa Dia sendiri yang memberi keputusan dan keputusan-Nya serba bijaksana, dan bahwa tidak ada yang mempunyai kemungkinan mencapai-Nya dan bahwa para penghuni surga akan melihat-Nya, dan bahwa penyerupaan tidak mungkin, dan bahwa istilah-istilah seperti ‘berhadapan’ dan ‘melihat’ ‘saling bertatap muka’ tidak bisa diterapkan pada wujud-Nya, dan bahwa wali-walinya bisa menikmati kontemplasi tentang-Nya di dunia ini.’

Mengulang-ulang kalimat tauhid ‘Laa Ilaaha Illallaah’ adalah sebuah upaya yang agung, berbuat kebajikan dan tidak melanggar larangan Tuhan merupakan tindakan yang saleh, dan muroqobah tidak lain merupakan upaya yang unik, walaupun rangkaian upaya ini adalah merupakan jalan yang lurus, namun pengetahuan tentang ke-esa-an-Nya terserah kepada-Nya, ingin mengkaruniakan kepada manusia dengan banyak atau sedikit atau bahkan tidak sama sekali, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
'Dan kamu bisa berkemauan untuk menegakkan tauhid hanya karena kehendak Allah, Tuhan Penguasa semesta alam. (QS 81 : 29)

TAUBAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS 24 : 31).

Taubat tidak sekedar mengucap ‘astaghfirullah’, karena pertaubatan harus diawali dengan adanya rasa penyesalan diri atas dosa-dosa yang telah dilakukannya, lalu berusaha tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat segala sesuatu berada pada keadaan batin, bukan keadaan lahir. Oleh sebab itu rukun yang pertama daripada sholat adalah niat, dan niat adalah tindakan batin, tanpa niat sholat tidak berbekas. Jadi jika ucapan istighfar tidak dibarengi dengan rasa penyesalan tidaklah banyak bermakna, seperti orang yang mengambil air menggunakan ke dua telapak tangannya yang terbuka. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Menyesali kesalahan merupakan suatu taubat.’ Bukan berarti bahwa penyesalan adalah taubat itu sendiri, masih ada tindakan lainnya dalam bertaubat, seperti sabda Rasulullah,saw., yang lain bahwa ‘Haji adalah Arafah,’ dan masih banyak lagi kewajiban haji yang lain selain menjalankan ritual di Arafah, namun tanpa wuquh di Arafah batalah hajinya. Ucapan adalah tindakan lahir dan penyesalan adalah tindakan batin, penyucian lahir dan batin haruslah berjalan bersama-sama.

Taubat datangnya dari Tuhan untuk manusia yang dipilih-Nya, bukan dari manusia untuk Tuhan, dan bukan dari manusia untuk manusia. Toh, pada kenyataannya banyak manusia, setelah melakukan dosa-dosa malah merasa senang, bahkan ada yang lebih bejat, memamerkan harta benda hasil kejahatannya kepada keluarga dan khalayak ramai. Hal ini merupakan pembuktian bahwa, tanpa pertolongan-Nya manusia tidak ada kemampuan untuk melakukan pertaubatan. Karena penyesalan adalah sebuah rasa yang ada didalam dada, dan rasa adalah musyahadah, sedangkan musyahadah adalah milik Tuhan yang berada dalam genggaman-Nya. Oleh karenanya pada saat seseorang bertanya kepada Sayyidah Rabi’ah al ‘Adawiyah,ra., : ‘Aku telah sering berbuat dosa dan semakin tidak taat. Apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuniku ?’ Dijawab oleh Sayyidah Rabiah : ‘Tidak ! tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.’

Bersuci secara lahiriyah menggunakan air merupakan syarat awal bagi orang yang ingin mengabdi kepada Tuhannya, karena shalat merupakan pengabdian. Sedangkan orang-orang yang berjalan menuju kepada Tuhannya, berusaha sekuat tenaga untuk menyucikan dirinya secara batiniyah dengan bertaubat secara terus-menurus, tanpa hal ini usaha pendekatan akan sia-sia, karena taubat merupakan langkah awal penyucian bagi pejalan.

Rasulullah.saw. bersabda : ‘Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.’ Hadis ini sangat menggembirakan sekaligus menakutkan. Terutama bagi orang-orang yang belum memahami pengetahuan tentang pertaubatan, sehingga ia merasa bahwa setelah berbuat dosa lalu mengucap istighfar, Tuhan akan mengampuni segala dosa-dosanya, sedangkan bagi orang-orang yang memahami makna pertaubatan, bahwa tanpa adanya ‘penyesalan’ dan ditambah dengan tindakan mujahadah yang lain, taubatnya tidak berguna sama sekali. Supaya perbuatan dosa tidak dianggap ringan dan lebih memahami makna pertaubatan, seseorang dapat bercermin dari pertaubatan yang dilakukan oleh Ka’b bin Malik.ra. Ia bersama beberapa orang tidak ikut ambil bagian dalam perang Tabuk tanpa alasan apapun, walaupun secara persyaratan ia telah memenuhinya. Nabi,saw., menghukumnya dengan memerintahkan untuk berpuasa bicara selama lima puluh malam kepada sesama kaum muslim, dan di sepuluh hari terakhir, ia tidak diperkenankan mendatangi istrinya. Tujuan diberikannya hukuman seperti itu, agar rasa penyesalan dan rasa takut muncul didalam dadanya, bila tidak, maka pertaubatannya tidaklah berguna. Setelah dilaluinya hukuman itu, jiwanya bergerak kearah penyesalan yang sangat dalam dan merasakan kepedihan yang luar biasa, sampai ia merasa bahwa bumi telah menjauh darinya. Disaat terhujam rasa yang seperti itu, ia mendengar suara orang yang berteriak dengan keras, ‘Wahai Ka’b bin Malik, Berbahagialah !’ Ia menjatuhkan dirinya, bersujud dihadapan Allah SWT, sadar bahwa ia telah dibebaskan dari hukuman itu. Orang-orang menghambur memberi ucapan selamat padanya. Wajah baginda Rasulullah.saw. tampak bercahaya dan berkata : ‘Berbahagialah karena ini adalah hari terbaik bagimu sejak ibumu melahirkanmu.’ Lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, karena taubatku diterima (Allah) maka aku akan memberikan seluruh hartaku sebagai sedekah karena Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah.saw. berkata : ‘Simpanlah sebagian, karena itu lebih baik bagimu.’

Contoh lainnya adalah dapat dilihat dari ayat-ayat dalam Al Qur’an : 'Dan tidak layak bagi seseorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jia ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS 4 : 92) 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan bintang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dia oarang yang adil di antara kamu sebagai had-nya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau dendanya membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema’afkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.’ (QS 5 : 95)

Demikian juga bagi orang-orang yang tidak menunaikan nazarnya kepada Allah SWT., yang diperumpamakan seperti perempuan yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat sehingga tercerai-berai kembali. Sebagai hukuman untuk memperoleh pengampunan-Nya atas pelanggaran nazar itu, diwajibkan untuk memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak atau berpuasa selama tiga hari.

Allah SWT berfirman : 'Dan mohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat. (QS 110 :3)

Orang-orang yang mempunyai kesadaran akan mahalnya nilai penyesalan, rela mengorbankan harta benda, jiwa dan raganya untuk berupaya meraihnya. Sebuah kisah meriwayatkan, seorang sahabat datang terlambat ke Mas’jid, ‘Engkau terlambat, Rasulullah,saw., sudah selesai berkhotbah,’ demikian kata jemaah lain. Mendengar fakta itu, dia sangat menyesal, sambil menarik nafas panjang, dia mengeluarkan suara ‘ah’. Lalu ada sahabat yang lain mendengar suara penyesalan itu, ‘Berikan ah itu kepadaku, dan akan aku tukar dengan shalatku’, demikian terjadilah tukar menukar. Malam itu, ketika ‘sipembeli ah’ tertidur, ia mendengar sebuah suara ‘Engkau telah membeli Air Kehidupan dan Keselamatan, pilihanmu tepat’.

Berjalanlah dari Ah menuju Hu
Walaupun Ah adalah ungkapan kesedihan dan penyesalan
Namun Hu adalah ungkapan kegembiraan yang tertinggi

Jadi pertaubatan juga merupakan ilmu tahapan, maqom awal atau gerbang untuk memasuki alam kesucian, semakin tinggi bobot kesalahannya semakin besar pula denda atau upaya meperoleh ampunan-Nya atau semakin tinggi pula tingkat mujahadahnya. Hakikatnya, semua perbuatan dosa pastilah mendapatkan hukuman-Nya, dan bila tidak ingin mendapatkan siksaan yang dasyat di yaumil qiyamah nantinya, maka wajib diganti dengan melakukan ‘penyiksaan’ di dunia ini. Dengan jalan, mengorbankan harta benda dan berpantang dari kesenangan duniawi, seperti berpuasa, bersedekah dan terjaga di malam hari serta tidak berbicara dengan manusia. Seperti yang terjadi pada Nabiyullah Adam,as., setelah beliau melakukan pelanggaran maka ‘dipotongnya’ kesenangan hidup di surga dan harus menjalani ‘penyiksaan’ di dunia. Begitu pula yang terjadi pada Nabiyullah Yunus,as., beliau harus menjalani ‘penyiksaaan’ didalam perut ikan paus, yang berlapis-lapis kegelapannya. Lalu Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dengan mengajarkan kepada keduanya kalimat taubat yang masyhur itu, dan begitu mereka merasa telah mendzolimi dirinya sendiri (penyesalan) dan memohon pertolongan Tuhan, barulah mereka memperoleh pengampunan-Nya. Inilah kedua kalimat taubat yang masyhur itu :

Allah SWT berfirman : 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami temasuk orang-orang yang merugi. (QS 7 : 23). Dan 'Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS 21 : 87)

Taubat dari sudut lain dapat berarti berpaling dari ketidaktaatan ke ketaatan dan berpaling dari diri kepada Tuhan. Dosa manusia awam adalah hal-hal yang bertentangan dengan perintah Tuhan, sementara dosa para pejalan adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan. Maka dari itu, dosa manusia awam adalah berupa ketidaktaatan, dan dosa para pejalan berupa pengakuan tentang keberadaan mereka sendiri. Jika seseorang berpaling dari kekeliruan ke kebenaran, mereka mengatakan, ‘Ia bertaubat’, tapi jika seseorang berpaling dari yang benar ke yang lebih benar, mereka mengatakan, ‘Ia kembali’.

Tidak ada bentuk peribadatan yang terangkai secara sempurna guna memperoleh ampunan-Nya, kecuali ‘khalwat’. Karena didalam khalwat terdapat semua syarat-syarat pertaubatan, tak terkecuali shodaqoh, karena sebelum memasuki khalwat biasanya para salik telah bershodaqoh terlebih dahulu untuk membersihkan dirinya secara lahir ataupun batin. Disamping itu didalam khalwat selalu dalam keadaan berdzikir dan terjaga dimalam hari, seperti sabda Rasulullah,saw., bahwa dzikrullah lebih baik dari mendermakan emas dan perak dan juga melakukan wirid-wirird (aurad) khususnya membaca maqoladus samaawaati wal ardh sebanyak seratus kali pada setiap harinya, sebagai berikut :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَاْلحَمْدُ ِللهِ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ اْلأَوَّلُ وَالآخِرُ والظَّاهِرُ وَالْباَطِنُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ اْلخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ - x 100
Yang mempunyai sepuluh keutamaan : (1). Semua dosa-dosa yang terdahulu akan diampuni. (2). Azabnya dari api neraka akan dihapuskan. (3). Dua malaikat akan ditunjuk untuk mengawalnya siang dan malam agar terhindar dri azab dan penyakit. (4). Dia akan memperoleh Rahmat Allah. (5). Akan mendapat berkah sebanyak orang yang membebaskan budak dari turunan Nabi Ismail,as., (6) akan mendapatkan berkah seakan-akan telah khatam membaca Al Qur’an, Zabur, Taurat dan Injil. (7). Sebuah rumah akan didirikan di surga. (8). Akan dikawinkan dengan bidadari surga. (9). Akan diberikan mahkota kehormatan. (10). Permohonan syafa’atnya untuk tujuh puluh kerabatnya akan diterima.

Salah satu menu dalam berkhalwat, adalah melakukan pertaubatan secara lahiriyah dan batiniyah secara bersama-sama, dengan cara beristigfar atas delapan anggota badan yang selalu membuat dosa yaitu mata, hidung, mulut, telinga, tangan, perut, kemaluan dan kaki dan tujuh yang batiniyah yaitu Latifatul Qolbi, ruh, siir, khofi, akhfa, nafs natiqa dan kullu jasad sebanyak masing-masing seribu kali jadi jumlahnya lima belas ribu kali banyaknya. Syaikh (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Setiap istigfar harus disertai dengan rasa penyesalan dalam hati, lakukanlah seolah-olah engkau sedang memohon ampun kepada raja yang ada dihadapanmu, jangan bertumpu pada hitungan.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Ciri-ciri orang yang bertasawuf adalah gemar bertaubat, dijadikannya taubat menjadi pakaiannya, tiada hari berlalu tanpa melakukan shalat sunah taubat dan selalu dalam keadaan berwudhu dimanapun dan kapanpun.”

Jika tindakan lahir dapat mengakibatkan dosa, maka tindakan batin juga demikian. Orang yang merasa iri dan berkeinginan untuk mempunyai milik orang lain adalah orang yang berdosa, karena tindakan bersifat sementara dan keinginan bersifat abadi. Rasulullah saw pernah bersabda tatkala melihat dua orang muslim yang bertarung dan salah satunya terbunuh : ‘Yang membunuh maupun yang terbunuh akan masuk neraka,’ seorang sahabat bertanya : ‘Mengapa yang terbunuh juga masuh kedalam neraka ?’ Beliau menjawab : ‘karena dia juga berkeinginan membunuh.’

Seorang salik berkata kepada sahabatnya : ’Setelah mengikuti pengajian sekian lamanya, tidaklah mudah untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT,’ Dijawab oleh sahabatnya : ‘Hidup seperti sedang menyeberangi zebra cross, kadang-kadang menginjak warna putih dan terkadang menginjak yang hitam, itu adalah sebuah ketentuan (takdir), dengan banyak berdzikir kita diberikan kemampuan untuk melihat dengan jelas, jikalau sedang diperjalankan menginjak yang putih patutlah disyukuri, dan bila sedang menginjak yang hitam segeralah bertaubat, justru dengan merasa berdosa ini, seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, bila seseorang bersyukur atas nikmat-nikmat dari-Nya, Dia akan menambahnya dan jikalau seseorang bertaubat dari kesalahannya Dia akan mencintainya .’

Sungguh malu, bertaubat pun harus meniru
Dari sang guru yang memakai jubah biru
Hatipun rindu melihat lidah yang berseru minta ampunan-Nya
Dan lidahpun rindu melihat hati yang menyesal atas semua kekeliruannya

Pertaubatan tanpa penyucian tidak sempurna
Penyucian tanpa pertaubatan sia-sia
Ini jalan cinta, bukan jalan biasa
Bertaubat menggugurkan dosa
Dan bersuci mendekatkan dengan Dia

Imam Junayd (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Taubat itu melupakan dosa, orang yang bertaubat adalah pecinta Tuhan, sedang pecinta Tuhan itu senantiasa berada dalam perenungan tentang Tuhan, dan dalam perenungan tidak dibenarkan mengenang dosa, karena mengenang dosa adalah tabir antara Tuhan dan orang yang melakukan perenungan.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ’Barang siapa lupa berdzikir kepada Allah SWT adalah dosa, karena saat itu ia berpaling dari Allah SWT, sedangkan mengenang dosa adalah dosa, karena mengenang selain-Nya adalah berpaling dari-Nya.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah menyampaikan wejangan berkenaan dengan perkataan Imam Junayd diatas yang mengatakan bahwa ‘Taubat itu melupakan dosa,’ yaitu bukan berarti melupakan dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya, melainkan bilamana seseorang telah memasuki alam kesucian, hatinya telah terpenuhi dengan kebenaran-kebenaran (cahaya) dan tidak ada sedikitpun kejahatan (dzulumat), maka tidak akan pernah lagi terpikir tentang perbuatan dosa, niat berbuat dosa, apalagi melakukan perbuatan dosa.