Selasa, 10 November 2009

PENDAHULUAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Tak ada yang patut disembah kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Suci, Dzat Yang Tiada tuhan kecuali Dia, aku mohon ampun kepada-Nya, Dia Yang Maha Awal dan Maha Akhir, Dia Yang Maha Nyata dan yang Maha Ghaib, Dia Maha Hidup yang tak pernah mati, Di Tangan-Nyalah segala kebaikan, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kemuliaan-Nya segala sesuatu menjadi hina. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Keagungan-Nya segala sesuatu menjadi takluk. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kekuasaan-Nya segala sesuatu menjadi tunduk. Segala puji bagi Allah, yang di hadapan Kekuatan-Nya segala sesuatu menjadi pasrah. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Penghulu Para Nabi dan Pemimpin Para Pemberi Syafaat, junjungan kita Nabi besar Sayyidina Muhammad Rasulullah berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Semoga Allah meridhoi Abu Bakar As-Siddiq dan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib beserta seluruh keluarganya. Mereka berdualah yang menjadi sahabat terpenting dalam hijrahnya Rasulullah, saw., dari Mekkah al Mukaromah menuju ke Madinah al Munawaroh, yang pertama menjadi sahabat gua Rasulullah, saw., dan mendapatkan kaifiat dzikir lathaif, sedangkan yang kedua menggantikan posisi Rasulullah, saw., ditempat tidurnya, dan sebagai orang pertama yang mendapatkan kaifiat dzikir jahr.

Semoga Allah mensucikan ruh para akhli silsilah tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya kepada Hadrat Sultonul Aulia Sayyidi Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir al Jaelani al Bagdadi dan Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi.

Semoga Rahmat Allah tercurah kepada Hadrat Syaikh Al Waasi H Achmad Syaechudin bin H Aminudin, beserta keluarga dan para sahabatnya. Semoga silsilahnya bersambung sampai pada akhir zaman nantinya. Beliau adalah ayat-ayat Tuhan di bumi, akhli keruhanian yang terkemuka dizaman ini, mawar merah terindah diantara rangkaian akhli silsilah, pewaris Nabi Muhammad,saw., yang dengannya doa-doa akan dijabah, tirai-tirai kesedihan akan terangkat, rizki yang tertutup akan terbuka, yang jauh menjadi dekat dan yang tiada menjadi ada. Beliau dapat mengenali lebih baik gerakan-gerakan qalbu yang paling dalam sekalipun daripada gerakan-gerakan badan. Beliau adalah pemilik cahaya diatas cahaya, hikmah dan ilmu langit berada dalam dadanya, kunci-kunci rahasia ada pada jari telunjuknya, tongkat Musa,as., berada ditangannya, cincin Sulaiman,as., melingkar di lidahnya, wajahnya bermandikan cahaya kenabian Yusuf,as. Siapa saja yang berdekat dengannya akan merasa aman, tentram dan kendurlah ikatan-ikatan duniawinya. Beliau adalah gunung yang tinggi yang menopang keselarasan bumi ini, yang selalu berada bersama murid-murid terkasihnya dan sekaligus tidak berada bersamanya. Beliau pemilik rahasia dari misteri kerudung putih, dan barang siapa sempat terselimuti oleh kerudung putih ini, maka pengetahuan tentang Tuhan akan terus meliput hatinya dan segala sesuatu pemikirannya hanya tentang Dia yang tidak sesuatupun setara dengan-Nya.

Allah Azza wa Jalla, telah melepas tali busur kasih sayang-Nya dan anak panah berupa ‘Tekanan kehidupan’ menembus alam semesta ini dan tepat mengenai dada anak cucu Adam yang dipilih-Nya, agar dengannya manusia mendapatkan kesadaran untuk kembali kepada Tuhannya, agar malam tidaklah sepi dari manusia yang memohon kepada-Nya, agar jiwa-jiwa yang diperbudak oleh nafsunya memperoleh kesadaran, agar manusia yang telah berlumurkan dosa-dosa bertaubat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rembulan kembar empat telah menampakkan diri,’ dua saja sudah cukup membuat adanya hura-hura diatas bumi ini. Empat, terdiri dari angka satu, dua, tiga dan empat, bila dijumlahkan akan menjadi sepuluh, dan sepuluh teridiri dari angka satu dan nol, angka nol tidaklah bermakna tanpa angka satu yang mendahuluinya (ketiadaan). Angka nol mewakili dunia yang bulat beserta seluruh isinya, diantaranya adalah ‘manusia’, dan kebanyakan dari mereka mempertuhankan dunia (nol), bukannya menyembah angka satu yang mewakili ke-esa-an-Nya. Alam semesta pun menjadi sekarat, bumi mengalami pendarahan yang hebat, laut mual dan muntah-muntah, angin merasa pusing bertiup seenaknya untuk menahan rasa sakitnya dan api pun merasa kepanasan membakar apa saja yang dilihatnya, segala binatang sinis memandang anak cucu Adam yang berubah menjadi bengis. Pelayan manusia itu sudah enggan melayani tuannya, alhasil, manusia pun sengsara kehidupannya, tiada ketenangan dan kenyamanan berada didalamnya.

Banyak kisah didalam Al Qur’an melukiskan yang demikian, sebagai akibat dari ulah manusia yang melampaui batas. Angkara murka sedang merajalela, bumi pertiwi saling pandang dengan rembulan tadi, bingung karena ada empat pemimpin, dan Nabi,saw., bersabda : ‘Bila engkau menjumpai dua pemimpin maka bunuhlah salah satunya.’ Seperti seorang anak yang mengadu kepada ibundanya, menangis tanpa airmata, menahan rasa sakit yang terjadi dimana-mana.

Kepalsuan telah menjadi epidemi di negeri tercinta kita ini, kesucian telah membusuk, agama dijadikan komoditas untuk mengeruk uang, ayat-ayat suci Al Qur’an dan al Hadis diperdagangkan, berkedok melestarikan dakwah Islam, dengan jalan menulis buku-buku keruhanian yang bermutu rendah lalu menjualnya, berdakwah menggunakan telepon genggam (sms) lalu mengambil keuntungan receh, berbicara dimajlis atas sesuatu yang didapatnya dari menghapal buku-buku tentang tasawuf, membentuk opini masyarakat dengan menggunakan istilah hati (qolbi), dan berdandan bak seorang ulama, agar masyarakat mempunyai persepsi bahwa ia adalah akhli keruhanian, padahal mereka sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan tarekat, apalagi menjalani hidup zuhud. Praktik-praktik rendahan ini harus segera dihentikan, masyarakat Islam harus segera diberikan informasi yang benar, agar kemurnian dan keindahan agama Islam tetap terjaga. Boleh jadi seorang akhli keruhanian berpenampilan sangat sederhana dan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan ‘lentera’ menggunakan bahasa hikmah dan singkat, hatinya tidak condong terhadap dunia, apalagi kepada makhluk yang ada disekelilingnya, walaupun ia berbicara dihadapan mereka, karena setiap bicaranya hanya ditujukan hanya untuk Allah semata. Sedangkan ulama yang palsu akan mengemasnya dengan kata-kata rendahan dan suara yang dibuat-buat, dan bila kehabisan bahan pembicaraan lalu melawak, agar pendengarnya menaruh simpati dan rela merogoh koceknya, karena tindakannya ditujukan hanya untuk itu, yang hatinya selalu condong terhadap dunia. Sesungguhnya sangatlah mudah membedakannya, ulama yang palsu tidak pernah memiliki ‘lentera’, mereka hanya mengetahuinya dari mendengar dan membaca buku-buku, lalu berdakwah dihadapan orang banyak dengan bermodalkan itu. Sedangkan akhli keruhanian adalah ‘pemilik lentera’ itu dan selalu dalam keadaan ‘menyala’, sehingga orang-orang yang berdekat dengannya dan memasang rasa tak’zim akan dapat merasakan kehangatan api cintanya, dan terbentang jalan menuju Sumber Cahaya, disamping mendapatkan pengetahuan dari ucapan-ucapannya yang membekas kedalam qolbu.

Orang-orang yang mengaku beriman mempunyai hak untuk mendapatkan ilmu syariat yang benar, dan hal ini bisa diperoleh melalui pendidikan agama di madrasah ataupun di pesantren, dan akan menjadi lebih sempurna bilamana belajar dari beberapa guru pembimbing yang benar. Sedangkan Ilmu keruhanian (tasawuf) sangatlah berbeda, hanya seorang Syaikh atau Mursyid yang mempunyai otoritas untuk menyebarkannya. Karena tasawuf bukanlah ilmu hapalan, melainkan ilmu tahapan, ilmu seluk beluk tentang hati (qolbu), yang harus di capai sedikit demi sedikit dengan mendisiplinkan diri dalam mengerjakan perintah yang wajib ataupun sunah (riyadhah) dan berperang melawan hawa nafsu (mujahadah) selama kehidupannya, serta harus terus menerus dibawah pengawasan seorang Syaikh. Rintangan dalam perjalanannya sangat banyak, harus bersungguh-sungguh dan mempunyai tekad yang kuat. Seorang yang bertasawuf dilarang untuk mempunyai lebih dari seorang mursyid. Seorang Syaikh berkata : ‘Tanda-tanda pembimbing ruhani yang benar adalah, dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia dan dia bersembunyi setelah terkenal. Dan tanda seorang pembimbing ruhani yang palsu adalah, dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.’ Jadi sangatlah tepat bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Pada masa kini, tasawuf adalah sebuah nama tanpa hakikat, tapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama.’ Dizaman Nabi,saw., orang-orang yang berdekat dengan beliau telah melakukan praktek-praktek dan menjalankan prinsip-prinsip tasawuf, walaupun pada saat itu nama tasawuf belum ada, tapi hakikatnya ada pada setiap orang, dan kini, nama tasawuf itu ada pada setiap orang, tapi hakikatnya tidak ada.

Sungguh istimewa, menjadi rumput hijau ditengah-tengah rumput yang kering,
Karena, ‘eksistensi’ ini adalah rumput yang kering itu sendiri.

Buku-buku tentang tasawuf mudah didapat, naskah agung para Waliyullah dengan karangan pengamat dan ciplakan orang-orang munafik, bercampur. Permata-permata yang indah itu tertutupi oleh sampah-sampah dunia, dan ironisnya masyarakat sekarang gemar membaca sampah-sampah itu, terjebak oleh pembentukan opini dari beberapa stasiun tv yang mempolakan bahwa ulama adalah sosok manusia yang sering muncul mengisi acara-arara keruhanian, padahal hati mereka kering dan jauh dari kehidupan kesucian. Seperti halnya kelelawar yang kesehariannya hidup dalam kegelapan tak mampu hidup dalam cahaya. Masyarakat Islam harus ‘kritis’ dalam memilih buku keruhanian, bukankah tidak bijaksana bila seorang pandai besi menulis tentang tatacara ‘memelihara kambing’?. Pada umumnya penulis buku-buku tentang tasawuf dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yang pertama adalah pengamat tasawuf, yang kedua adalah mahasiswa yang ingin mengambil gelar kesarjanaan dibidang tasawuf dan yang ketiga adalah orang yang bertasawuf (mutashowif). Fenomena yang demikian ini sudah terjadi sejak dahulu kala, dan mempunyai motivatisi yang berbeda-beda. Golongan yang pertama dan yang kedua menulis buku untuk mendapatkan dunia, sedangkan golongan ketiga menulis buku hanya untuk Allah Swt semata. Nah, risalah yang teramat sederhana ini diperuntukan bagi orang-orang yang bertekat dalam hidupnya untuk terus menerus memerangi hawa nafsunya (mujahadah), agar Tuhan menggolongkannya kedalam kelompok mujahiddin, dan berharap bila kematiannya tiba maka Tuhan sendirilah yang akan menyabut ruhnya.

Allah SWT berfirman : 'Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.' (QS 61 : 2-3)

Berbagai macam cara-cara berdzikir, khalwat, tafakur (kontemplasi), muroqobah (meditasi) dan muhasabah sengaja tidak kami tulis dalam risalah ini, khawatir tangan-tangan jahil akan meniru dan menjualnya kepada orang lain, karena sudah terlalu banyak dijumpai dinegeri kita ini orang-orang yang tidak pernah bertarekat telah membuka pengajian lalu meniru kaifiat-kaifiatnya tanpa dapat mengetahui dan bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan jiwa seseorang dan menjelaskan natija-natijanya.

Awal bulan Ramadhon 1427 H, hujan sangat deras mengguyur kota Bogor, angin bertiup sangat kencang, kilat menyambar pohon-pohon yang berdiri dengan angkuhnya, anak-anak ketakutan dan sembunyi di kolong tempat tidur, pohon yang berumur ratusan tahun pun tumbang. Terdengar bunyi guntur yang bergemuruh, angin telah diperintah untuk menyampaikan undangan yang diambil dari kitab yang nyata (lauh mahfuzh) kepada Syaikhuna. Sejak saat itulah, perintah berziarah ke Bukhara dan Samarkand, di Republik Uzbekistan sudah berada didalam khazanah hatinya, lalu disampaikannya kepada sahabat terdekat, agar segera menindaklanjutinya.

Seorang murid berpamitan kepada ibundanya, untuk mengiringi Syaikhuna berziarah ke Bukhara dan Samarkand, sang ibu berkata : ‘Untuk apa pergi jauh hanya untuk menziarahi yang sudah mati, sedangkan yang hidup tidak diziarahi.’ Sang anak tau persis bahwa dengan berkata ‘ah’ kepada ibunya merupakan larangan Tuhan, oleh sebab itu dia menarik nafas perlahan dan berkata dengan lembut : ‘Mohon ampun, Aku mendengar Syaikhuna berkata bahwa, kita adalah ibarat pelita yang telah padam, yang diperlukan adalah minyak dari pohon zaitun yang diberkati, yang dapat bercahaya dengan sendirinya tanpa disentuh api, dan kehidupan ini membutuhkan cahaya agar tidak tersesat layaknya orang buta, dan barang siapa buta didunia maka ia akan lebih buta di akhirat nantinya dan sesungguhnya para wali itu tidaklah mati, mereka hidup disisi Tuhannya dengan mendapatkan rizki yang tidak terputus.’ Sang Ibu terus berkata : ‘Bukankah silaturahmi juga dianjurkan oleh Nabi,saw ?’ Sang anak dengan hati-hati menjawab : ”Silaturahmi bukan sekedar mengadakan pertemuan, silaturahmi adalah berbagi cahaya, oleh sebab itu akan sia-sialah pertemuan itu bilamana tak ada seorang pun yang mempunyai cahaya, malah bukannya cahaya yang didapat melainkan kegelapan, berupa pembicaraan yang tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupan hati dan tanpa bershalawat kepada manusia yang terpilih dan terbaik sepajang masa, Sayyidina Muhammad,saw. Syaikhuna pernah berkata bahwasanya Allah SWT berfirman didalam hadis qudsi : ’Aku duduk berhimpitan dengan orang yang selalu berdzikir kepada-Ku.’ Nah, bilamana didalam pertemuan itu dihadari oleh seorang akhli dzikir sudah merupakan kebahagiaan duduk bersama-sama dengan Allah SWT yang merupakan ‘Maha Cahaya.’”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang muridnya : ‘Sebaik-baik puasa adalah dalam keadaan safar, niatkan perjalanan ini hanya untuk Allah semata, dan tulislah sebuah buku lagi, agar para sahabat dapat menarik manfaat darinya.’ Kegembiraan yang luar biasa menyelimuti hati sang murid, karena ia yakin bahwa dikemudian hari akan ada cahaya pengetahuan yang mendorongnya untuk menulis buku ‘baru’ lagi, bila tidak Syaikh tidak akan berucap seperti itu.

Sudah seribu pena patah menulis keindahan perjalanan ini, sejuta kertas koyak karenanya, seperti memandang matahari yang menyilaukan itu. Tanpa perkenan dari cahaya-cahaya yang makamnya berada di Bukhara dan Samarkand dan tanpa bimbingan yang terus menerus dari Syaikhuna, mustahil risalah ini dapat tersusun. Dan sungguh merupakan kegembiraan, Syaikhuna berkenan memberikan judul risalah tentang tasawuf ini ‘Bulan terang di Bukhara,’ serta meluangkan waktu yang sangat berharga untuk meng-editnya.

Segala sesuatu yang mempunyai batasan adalah ‘baru’, apakah itu waktu, jarak dan ruang. Baru adalah bukan yang terdahulu, dan yang terdahulu bukanlah baru, oleh sebab itu baru adalah ciptaan-Nya, ‘Kun’ mempunyai makna penciptaan dan ‘yakuun’ adalah ciptaan, sedangkan kun fayakuun adalah firman-Nya, maka dari itu baik firman, penciptaan dan ciptaan semuanya adalah ‘baru’ dan mestilah dicipta oleh-Nya. Jadi segala sesuatu baik yang dzahir maupun batin yang berada di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya. Karena tadinya segala sesuatu tidak ada, yang ada hanya Dia saja. Oleh karenanya mencipta dan memerintah adalah hak-Nya.

Hakikat penulisan risalah ini adalah ‘baru’, sehingga pena, kertas, pengetahuan, pengalaman dan sang penulis, tidak ada bedanya, semua adalah ciptaan-ciptaan yang segala sesuatunya telah tertulis didalam lauh mahfuzh jauh sebelum dunia ini dicipta.

Risalah yang teramat sederhana ini, berisi tentang hikmah safar di bulan suci Ramadhon, dari murid-murid tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Bogor Baru, Bogor-Jawa Barat, yang mengiringi Sang Mursyid tercinta Hadrat Al Waasi’ H Achmad Syaechudin bin H Aminudin, dalam rangka menziarahi para akhli silsilah tarekat Naqsyabandiyah dan ulama-ulama agung lainnya yang berasal dari Bukhara dan Samarkand, Republik Uzbekistan.

Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya disampaikan kepada para sahabat tercinta yang dengan suka rela membantu baik secara moril ataupun materil guna terlaksananya perjalanan ziarah ini, sampai dengan terbitnya risalah yang berada ditangan para sahabat ini. Khususnya kepada Ustadz Yordanis Salam yang dengan sabar menyampaikan tauziah dari kitab Al Hikam karya Syaikh Ibnu Athoillah,ra., dan Al Luma karya Syaikh Abu Nashr as Sirraj,ra., dan Ustadz Udin Saefudin dari kitab Kasful Mahjub karya Syaikh Hujwiri,ra., serta Ustadz Marwan dan Gus Aminin dari tauziah-tauziahnya yang mendalam. Semoga Allah SWT memberikan kesucian dan ampunan kepada kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar