Kamis, 05 November 2009

ILMU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan sungguh kami akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS 2 : 96)

Ayat diatas, mengandung arti bahwa tanpa ilmu yang bermanfaat manusia akan terjerumus kedalam ketamakan dalam menjalani kehidupan ini, walaupun ia diberi umur panjang. Oleh sebab itu Rasulullah,saw., berdoa : ‘Aku berlindung kepada Tuhan dari ilmu yang tak bermanfaat.’ Dari doa ini mengindikasikan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, manusia akan memburu ilmu yang senada dengan warna jiwanya, dan kebanyakan jiwa manusia cenderung kepada pencarian ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan duniawinya saja, khususnya yang dapat dengan cepat menghasilkan harta bendawi dan jabatan yang tinggi. Nabi,saw., tidak merinci jenis-jenis ilmu yang tidak bermanfaat, karena terlalu banyak jumlahnya, melainkan menyampaikan ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam bentuk ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Ilmu bagai cahaya, yang menerangi sesuatu yang gelap menjadi tampak, sehingga jalan yang samar menjadi jelas. Dengan ilmu sesuatu yang tertutup bisa terbuka, ilmu membuat orang yang bodoh menjadi bijak.Yang harus disadari bahwa umur manusia itu terbatas dan sangat singkat, dan dalam kehidupan yang singkat ini manusia dituntut untuk memenuhi hak-hak Tuhan, agar dapat hidup bahagia dan abadi di alam akhirat nantinya. Dilain pihak bahwa Ilmu itu tidak terbatas, oleh karenanya manusia wajib menuntut ilmu yang bermanfaat bagi dirinya selama ia singgah di dunia ini.

Jika Tuhan adalah harta berharga yang tersembunyi dan ingin diketahui, maka sarana untuk mengetahuinya adalah ilmu, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berkenaan tentang Tuhan (ma’rifat). Ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan cara-cara biasa, melainkan atas petunjuk dan penerangan dari Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Imam Abul Qosim Al Junaid Al bagdad, ra., bahwa : ‘Hajat hikmah pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah ma’rifat makhluk terhadap Khaliq, mengenal sifat-sifat Pencipta dan yang tercipta bagaimana ia diciptakan. Sehingga diketahui sifat Khaliq dari makhluk, dan sifat Yang Qodim dari yang baru. Sang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya, maka ia tidak tahu secara persis kepada siapa kewajiban-kewajiban itu harus dipersembahkan.’ Oleh sebab itu, pengetahuan tentang Tuhan menjadi sangat penting bagi setiap muslim agar pemenuhan kewajiban-kewajiban tertuju kepada-Nya, bukan kepada thaghut atau sesuatu selain-Nya, dan hal tersebut sangat sulit dilakukan namun bukan sesuatu yang mustahil. Meskipun seorang muslim secara berulang-ulang melakukan sumpah dikala membaca doa iftitah, ‘Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata,’ namun tetap saja dalam menjalankan kehidupan keseharian sumpah itu dilupakannya, karena, sungguh terlalu banyak hijab-hijab untuk mengenal-Nya.

Untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifat) ini, seseorang wajib mempelajari ilmu dari Tuhan terlebih dahulu, yaitu ilmu syariat yang mempunyai tiga pondasi, Al Qur’an, Al Hadis dan fatwa ijma ulama. Dan untuk dapat menegakkan perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya yang berada didalam ilmu syariat ini, tidaklah mungkin dapat terlaksana secara benar, sebelum pengetahuan dengan Tuhan menjadi busananya. Karena manusia tidak ada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya, dan kebanyakan darinya tidak mengenal Tuhannya sebagaimana Dia harus dikenal. Oleh karenanya, ia harus mencari wasilah atau seseorang pembimbing (Mursyid atau Syaikh) yang lebih dahulu telah mengenal Tuhan dan berkenan mengantarkannya. Ilmu dengan Tuhan ini disebut ilmu maqom-maqom atau ilmu tahapan atau lebih dikenal di kalangan masyarakat Islam dengan sebutan tarekat. Seorang Mursyid atau Syaikh sudah mempunyai ilmu yang baku untuk mendidik seseorang guna mengenal Tuhannya sebagaimana Dia harus dikenal, ilmu tersebut diperoleh dari guru-gurunya terdahulu, atau disebut akhli silsilah atau rantai emas yang bersambung sampai kepada Baginda Rasulullah,saw. Dan seseorang yang berguru kepada seorang Mursyid atau Syaikh dapat mengetahui dan menyebutkan nama guru-guru Syaikhnya terdahulu, sebagai contohnya seperti yang tertulis pada pendahuluan di risalah ini.

Inti penyerapan ilmu ada pada kesungguhan beribadat yang hanya ditujukan untuk Allah semata (riyadhah) dan terus menerus sepanjang kehidupannya melawan hawa nafsu (mujahadah), keduanya adalah dua tiang yang menopang bangunan iman dan ilmu, tanpa memelihara keduanya secara berkesinambungan, maka iman dan ilmu tak akan bergerak naik, bahkan memungkinkan jatuh tergelincir. Seseorang yang tekun dan gigih dalam menjalankan praktik-praktik riyadhah dan mujahadah atas bimbingan seorang mursyid, maka Tuhan akan melimpahkan ilmu yang hakiki kedalam dada orang itu. Sehingga ia dapat melihat makna dari segala sesuatu secara benar (musyahadah). Seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.’ (QS 18 : 65)

Syaikh Jalaludin Rumi,ra., berkata : ‘Setiap sayap tak akan mampu terbang melintasi keluasan samudera, hanya ilmu yang terlimpah langsung dari Tuhan yang dapat mengantarkan seseorang keharibaan-Nya.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan yang didapat dari ketekunan belajar adalah ilmu seluk beluk tentang lahiriyah saja dan sifatnya sangat terbatas, sedangkan ilmu yang diperoleh setelah kematian (peluruhan diri) adalah ilmu yang hakiki dan tidak terbatas.’ Orang-orang yang dapat melihat cahaya yang memancar dari sebuah pelita atau nyala api, adalah hal biasa, namun untuk dapat terserap kedalam api atau cahaya pelita, adalah hanya milik para ulama.

Ironisnya, ada kelompok kecil mengatakan bahwa amalan-amalan para ahli tarekat ini bid’ah, misalnya dikatakan bahwa dzikir berjamaah dan memperingati mawlid Nabi,saw., adalah bid’ah. Dengan menggunakan media radio, buletin-buletin dan dakwah, mereka sebarluaskan fitnah-fitnah ini serta mencaci-maki para sufi. Padahal orang-orang yang bertarekat adalah golongan dari ahlul sunah wal jamaah, dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) atau jumhur ulama telah memutuskan bahwa tarekat yang mutabaroh itu syah hukumnya. Mematuhi dan mengikuti fatwa ulama hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah,saw., dan barangsiapa tidak mematuhinya maka mereka adalah kaum munafik. Golongan yang sering menuduh saudara se Islam dengan kata bid’ah itu, menandakan bahwa hatinya masih terlalu banyak noda-noda hitam, sifat kasih dan sayang tidak singgah didalamnya, yang dominan adalah sifat dengki (hasad) dan ingin benar sendiri, berarti ia telah memper-tuhan-kan dirinya sendiri, naudzubillah mindzalik. Kita berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Golongan ini tidak menyadari, bahwa mereka adalah penganut dari salah satu diantara keempat mazhab Islam, dan mau tidak mau harus taklid atas segala sesuatu yang tertuang dalam mazhab itu, yaitu mazhab Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad Hambali, yang mana keempat orang agung ini menjalani hidup kesucian dengan bertarekat. Seperti mayoritas komunitas Islam di Indonesia, pada umumnya mereka bermazhab Imam Syafi’i, lalu apakah ada perbedaan diantara keempat mazhab itu? jawabnya ada!, sebagai contohnya, perhatikan bagaimana orang-orang Islam melakukan thaharah dan shalat di Mas’jidil Haram, lalu tata cara berhaji dan umroh, nikah dan waris, tentunya dijumpai adanya perbedaan-perbedaan, namun tidak fundamental serta tidak merubah akidah. Mereka saling menghormati sehubungan dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, dan melakukan ritual peribadatan secara rukun dan tertib. Seorang murid yang sedang berhaji bertanya kepada Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) : ‘Saya lihat Syaikh melakukan tindakan yang membatalkan thaharoh, namun Syaikh tidak memperbaharuinya.’ Syaikhuna menjawab : ‘Dalam hal ini Saya memakai mahzab Imam Abu Hanifah, sedangkan bila engkau ingin berketetapan memakai mahzab Imam Syafi’i, itu juga tidak mengapa.’

Secara terinci perbedaan-perbedaan keempat mazhab itu tertuang didalam kitab yang berjudul Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah dan kitab yang membahas tentang khilafiyah di Indonesia telah selesai ditulis oleh HMH Al-Hamid Al-Husaini dalam kitabnya yang berjudul Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Oleh sebab itulah, bila ada kelompok-kelompok Islam yang merasa benar dengan tindakan dan pendapatnya, maka kerjakan saja dengan sebaik-baiknya sesuatu yang diyakininya itu, tanpa menyalahkan atau menuduh kelompok lain melakukan perbuatan bid’ah, agar kerukunan dan kesatuan umat Islam tidak terpecah belah, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS 3 : 103)

Islam adalah ilmu lahir dan batin, teramat luas bak lautan yang tidak bertepi, lalu jangan pernah mengerdilkannya seperti halnya katak dalam tempurung. Kitab-kitab yang menjadi rujukan kaum muslim sedunia, adalah karya Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) dan Imam Al Ghazali,ra., salah satunya adalah kitab Ihya’ Ulumiddin yang masyhur itu. Para ulama meyakini bahwa kitab ini adalah jembatan yang menghubungkan ilmu syariat dan tarekat, yang didalamnya ada ilmu seluk beluk tentang hati dan maqom-maqom serta diakhiri dengan bab khalwat. Orang-orang yang bertarekat adalah akhli Laa Ilaaha Illallaah, hatinya tidak pernah lepas dari menyebut kalimat thoyibah ini, lalu ada kelompok yang menuduh akhli Laa Ilaaha Illallaah adalah penganut bid’ah, padahal ada sebuah riwayat mengatakan bahwa sahabat Nabi,saw., telah membunuh orang kafir dalam peperangan dan sebelum pedang menghujam kedalam tubuh orang kafir itu, ia mengucap Laa Ilaaha Illallaah. Setelah Nabi,saw., mengetahui hal ini, beliau berkata : ‘Aku berlepas dari hal ini,’ sampai tiga kali diucapnya. Semoga Allah mengampuni, mengasihi dan menambahkan ilmu kepada orang-orang yang selalu menuduh bahwa amalan para ahli tarekat itu bid’ah.

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, unsur merusaknya lebih banyak daripada unsur yang memperbaikinya.’

Dan beliau juga bersabda : ‘Orang yang taat beribadah yang tak memiliki pengetahuan tentang Tuhan, bagaikan keledai yang menggerakkan jentera.’

Dan dilain kesempatan beliau berdabda : ‘Akan terjadi sejumlah fitnah dimana seorang pada pagi harinya beriman namun sorenya sudah menjadi kafir kecuali orang yang Allah hidupkan dengan ilmu.’

Imam Ali,ra berkata : ‘Allah tidak mengambil janji dengan kaum yang bodoh untuk menuntut ilmu sampai Dia mengambil janji dengan para ulama untuk memberikan ilmu kepada kaum yang bodoh tadi. Pasalnya ilmu telah ada sebelum kebodohan.’

Dan beliau juga berkata : ‘Tegaknya agama oleh empat hal, pertama ulama pembicara yang mengamalkan ilmunya, kedua orang kaya yang tidak kikir dalam memberikan hartanya kepada pemeluk agama Allah, ketiga orang miskin yang tidak menukar akhiratnya dengan dunianya, dan keempat orang bodoh yang tidak angkuh untuk menuntut ilmu. Apabila seorang alim menyembunyikan ilmu, orang kaya kikir dengan hartanya, orang miskin menukar akhirat dengan dunianya dan orang bodoh tidak mau menuntut ilmu, maka dunia ini kembali mundur kebelakang.’

Rasulullah,saw., bersabda: ‘Ilmu itu wajib bagi laki-laki atau perempuan.’ Dan ‘Carilah ilmu walaupun ke negeri China sekalipun.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Ilmu itu didatangi dan dicari.’ Perhatikan, setiap ada kata ilmu didalam Al Qur’an maupun hadis, maka secara beriringan ada perintah untuk menuntutnya dan mencarinya, pemiliknya dipuji sedemikian tingginya, diberikan kemuliaan dan balasan yang berlipat ganda atasnya, serta ketinggian pangkatnya di sisi Allah SWT. Jadi seorang yang berilmu itu (ulama) selalu dikunjungi atau diziarahi oleh orang banyak, bukan mengundang orang banyak melalui media tv atau koran lalu mengambil manfaat, melainkan memberikan manfaat kepada mereka.

Seorang salik bertanya kepada Syaikhuna : ‘Wahai Syaikhuna, apakah yang dimaksud fana dan baqo ?’ Beliau menjawab : ‘Untuk apa engkau bertanya sesuatu yang belum engkau ketahui, sedangkan ilmu yang sudah engkau ketahui belum engkau amalkan.’ Lalu beliau membacakan sebuah hadis qudsi: ‘Man ‘amila bimaa ‘alima warotsahullahu ‘ilma maalam ya’lam, Barangsiapa mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum diketahuinya.

Nabi Muhammad,saw., bersabda : ‘Keutamaan ulama atas ahli ibadah seperti keutamaanku atas orang paling rendah di antara kalian,’ Dan ‘Siapa yang didatangi oleh kematian dalam kondisi sedang menuntut ilmu guna menghidupkan Islam, maka jarak antara dirinya dan para nabi di surga hanyalah satu derajat.’

Sekarang kita dapat memahami mengapa ilmu tentang Tuhan (ma’rifat) menjadi begitu sangat penting dalam menjalankan peribadatan. Jika tidak, semua jenis dan bentuk persembahan yang dilakukan oleh manusia menjadi tidak tepat di persembahkan kepada Tuhan penguasa semesta alam. Oleh sebab itulah gerakan badaniyah tentang shalat yang dilakukan oleh anak kecil akan selalu sama dengan orang dewasa, namun tidak demikian dengan gerak-gerik qolbunya. Jika ilmu pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifat) ini tidak bersarang didalam dada seseorang, maka tidak ada bedanya peribadatan yang dilakukan oleh anak kecil dan peribadatan orang dewasa. Dan anak kecil masih terbebas dari dosa-dosa sedangkan orang dewasa harus mempertanggungjawabkan segala bentuk kelalainnya, termasuk shalatnya yang tidak tepat ditujukan kepada Tuhan, karena miskinnya ilmu yang dimilikinya tentang Tuhan (ma’rifat).

Oleh karenanya, pengetahuan tentang Tuhan ini (ma’rifat), disamping diupayakan untuk dapat dicapai dengan melakukan riyadhah dan mujahadah yang tangguh, juga harus dimohon secara terus menerus melalui lantunan doa munajat : ‘Illahii anta maqsuudi wa ridhaka matlubi a’tini mahabbatakaa wa ma’rifatakaa, yaa Arhamar Rohimiin.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar