Kamis, 05 November 2009

ROBITHOH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Duhai pewaris cahaya kenabian!
Beruntunglah engkau, telah dikarunia pedang Bukhara
Tajamnya memangkas habis segala sesuatu yang bukan Tuhan

Sifa, gadis kecil puteri kesayangan Syaikhuna itu tampak bergembira, tangan kirinya memegang dengan sangat hati-hati setangkai mawar merah dan tangan kanannya menggenggam segerombol anggur hitam. Mawar dan anggur menjadi sangat akrab diantara para sufi, mawar adalah ibu dari segala bunga dan anggur adalah induk dari segala buah, keduanya digunakan sebagai ungkapan puitis tatkala sang sufi dalam keadaan ekstase, mawar mewakili keindahan dan anggur mewakili kemabukan. Keduanya menjadi penuh berkah, karena disebut-sebut oleh mulut-mulut suci para sufi. Syaikhuna adalah mawar dari mawar-mawar sufi banten dan sekaligus anggur pengetahuan misteri Ilahi.

Hadrat … hadrat … hadrat, begitulah bila rombongan ibu-ibu pengajar dari madrasah Gjuhduvan memanggil Syaikhuna, mereka sudah sejak siang tadi berkumpul di rubat Hadrat Sayyid Amir Kulal Al Bukhari untuk dapat sekilas mencium harumnya mawar Banten dan minum anggur dari cawan suci ini. Apakah keberadaan mereka itu atas informasi dari pengurus rubat di Hadrat Syaikh Abdul Khaliq Al Gjuhdawani atau dari hal lain, tidaklah penting. Begitulah bila langit sedang berhiaskan pelangi, orang-orang yang dahaga akan keindahan, memandanginya dengan penuh rasa tak’zim, berharap barokah-barokah nuur alaa nuurin akan diperolehnya. Mereka mengikuti upacara ziarah dengan khidmat serta mengaminkan doa-doa yang dipanjatkan oleh syaikhuna.

Sebagai ungkapan cinta sang Majnun,
Setiap harinya ia lemparkan setangkai mawar merah ke sungai yang mengalir melewati rumah Laila.
Mawar merah yang terapung-apung terbawa arus sungai itu menjadi obat penawar bagi Laila yang hampir mati tercekik rindu.

Dalam suatu peristiwa, Syaikhuna berkata kepada seorang muridnya : ‘Aku tidak ridho anakku diperlakukan seperti itu.’ Setiap mengingat ucapan Syaikhnya itu, sang murid tidak dapat menahan air matanya, betapa kasih sayang seorang Syaikh tidaklah dapat diukur. Menggoncangkan hati sanubari yang paling dalam, membangkitkan gairah dalam melakukan pendakian, cermin yang bening tanpa noda. Kata-kata itu pun pernah diucapkan Rasulullah saw., kepada orang yang sangat dicintainya, yaitu Zaid Bin Haritsah yang gugur sebagai syuhada ‘hebat’ dalam perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Kala itu tangan Zaid dipegang oleh Rasulullah saw, dibawanya ke dekat Ka’bah dimana orang-orang Quraisy sedang berkumpul, dan berkata : ‘Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.’ Kata-kata yang menggugah hati itu telah menjadi ukiran yang terindah didalam hati Sayyid Amir Kulal Al Bukhari tatkala panah kecintaan itu meluncur deras dari tali busur mulut suci Syaikh Muhammad Baba As-Samasi.

Hasrat cinta seorang syaikh bagai setetes anggur
Begitu engkau meneguknya, segala sesuatunya terlihat seperti mawar merah.

Sayyid Amir Kulal dilahirkan di desa Sukhar, jaraknya dua mil dari Bukhara, mempunyai garis keturunan sampai kepada Rasulullah,saw. Ibundanya mempunyai keyakinan, bahwa kelak dikemudian hari bayi yang dikandungnya akan menjadi orang yang istimewa, oleh karenanya sang ibu selalu memilih makanan yang terbaik dan halal, dan setiap ada makanan yang meragukan, tangannya menjadi kaku untuk memasukkan kedalam mulutnya, dan hal ini sering kali terjadi.

Di saat remaja, beliau adalah seorang pegulat yang handal, menguasai teknik dari berbagai macam aliran gulat, banyak pegulat yang akhirnya belajar darinya. Suatu ketika ada pemuda yang berburuk sangka kepadanya, dengan berkata ‘Seseorang yang menguasai ilmu syariat dan thariqat serta mempunyai sanad sampai kepada Baginda Rasulullah saw, melakukan dengan serius olah raga seperti itu ?’ Malamnya saat pemuda itu tertidur, ia bermimpi berada di Hari Kiamat, ia merasa berada dalam kesulitan yang amat sangat. Dilihatnya Sayyid Amir al-Kulal mendatanginya dan menolongnya. Ketika terbangun, Sayyid Amir al-Kulal telah berada di dekatnya dan berkata, ‘Sekarang engkau telah menyaksikan kekuatanku dalam bergulat dan dalam memberi syafaat.’

Sayyid Amir Kulal berbakti kepada Syaikh Baba As-Samasi selama hampir dua puluh tahun lamanya, waktu-waktunya diisi dengan banyak berdzikir, berkhalwat, ibadah lainnya, dan melakukan penyangkalan diri sendiri. Kesehariannya dihabiskan waktunya untuk bersama-sama dengan Syaikhnya, walaupun perjalanan ketempat Syaikhnya sangat berat dan gelap, beliau tidak pedulikan. Awal pertemuan dengan Syaikhnya, tatkala ia sedang bergulat, firasatnya mengatakan bahwa ada seorang yang agung sedang mengawasinya, lalu ia menoleh kepadanya, yang terlihat sedang menyaksikannya bersama-sama dengan murid-muridnya. Saat itu seorang murid Syaikh Baba As-samasi berkata dalam hatinya : ‘Untuk apa Syaikh menyaksikan gulat seperti ini?’ Lalu Syaikh melihat muridnya itu dan berkata, ‘Aku melihat cahaya disini, yang dikemudian hari cahaya itu akan menerangi orang-orang untuk dapat berjalan. Setiap orang akan mendatanginya untuk meminta sedikit cahayanya dan Aku bermaksud untuk membawa orang itu di bawah pengawasanku.’ Sejak saat itu Sayyid Amir Kulal meninggalkan gulatnya dan mengikuti Syaikh Muhammad Baba As-Samasi. Tangguh dan disiplin dalam menjalankan petunjuk syaikhnya, hingga mencapai suatu keadaan yang tinggi, Syaikh Muhammad Baba As-Samasi amat tersentuh dengan pencapaian dan pengabdiannya, yang membuatnya berkata : ‘Sekarang engkau adalah anakku.’

Sayyid Amir Kulal wafat di desa yang sama dengan tempat beliau dilahirkan, Sukhar, pada delapan Jumadil Awwal, 772 H.

Robithoh, sangat fundamental didalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan tarekat, dan murid diwajibkan melakukannya, karena ini adalah dasar pengetahuan yang akan digunakan sampai pada tahapan-tahapan yang lebih tinggi. Bila pemanjat tebing berada ditepi jurang dan ingin mencapai tebing yang lainnya, tiada jalan lain kecuali harus menuruni tebing itu lalu mendaki tebing yang lain, ini membutuhkan waktu yang lama dan sangat berbahaya, sesungguhnya ada jalan pintas dan termudah yaitu menyeberanginya melalui jembatan. Rabithoh adalah jembatan, jembatan yang menghubungkan antara fenomena dengan realitas, segala ciptaan ini adalah fenomena atau ‘tiada’ dan yang ada adalah hanya Allah semata. Seorang murid harus mempunyai keyakinan bahwa hanya sang Mursyid yang dapat mengantarkannya kehadirat Illahi.

Seperti juga tunas ke-iman-an, harus diberi pupuk ilmu pengetahuan agar tubuh pohon yang kokoh menjulang ke langit, tanpa ilmu pengetahuan akan kosong ke-iman-an itu. Karena ke-iman-an adalah keyakinan kepada yang tersembunyi, dan keyakinan itu dikuatkan terlebih dahulu oleh Tuhan, yang merupakan hasil dari pengetahuan yang dianugerahkan oleh-Nya. Nah, karena kita bukan sabahat Tuhan, dan mempunyai keyakinan dan pengetahuan yang lemah, maka kita memerlukan ‘jembatan’ yang telah mendapatkan anugerah keyakinan dan pengetahuan dari-Nya, yang berkenan ‘membasukannya’ kepada kita..

Allah SWT berfirman : 'Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.' (QS 2:189) Dan 'Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.’ (QS33:21)

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Jika aku adalah gudangnya ilmu maka Ali bin Abi Thalib adalah pintunya.’

Seseorang yang bertarekat berkeyakinan bahwa, untuk dapat meneladani Rasulullah,saw., adalah harus melalui pintu-pintunya, yaitu Abu Bakar As-Siddiq,ra., atau Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra., dan kepada yang terakhir ini masuk melalui pintu Salman Al Farisi,ra., atau Sayyidina Abu Abdullah Al Husain,ra., dan kepada yang terkahir ini masuk melalui pintu Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar As Siddiq,ra., atau Sayyidina Ali Zaenal Abidin,ra., dan seterusnya sesuai garis silsilah yang ada pada tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atau pada silsilah tarekat apa saja asal tarekat itu diakui oleh jumhur ulama (mu’tabaroh). Nabi,saw., juga bersabda bahwa : ‘Ulama adalah pewaris para Nabi,’ dan ‘Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah.’

Allah SWT memerintahkan jin dan manusia untuk mengenal dan mencintai-Nya. Dan manusia mustahil dapat mengenal dan mencintai-Nya secara langsung, karena manusia terbatas dan Dia tak berhingga, kecuali para Rasul dan para Nabi yang telah dipilih-Nya. Kemudian berikutnya adalah para Awliya yang mengenal dan mencintai-Nya, melalui pintu kecintaan kepada para Rasul dan para Nabi.

Oleh karena itu, tanpa memasang rasa takzim dan kecintaan kepada seorang Mursyid, mustahil seseorang dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Rasulullah,saw dan dalam Hadirat Ilahi.

Seorang murid bertanya kepada Syaikhuna : ‘Syaikh bagaimana agar mudah mencerna istilah-istilah dalam ilmu tasawuf ?’ beliau menjawab : ‘Robitholah terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas itu, lalu mohonlah kepada Allah agar diperkenankan tercelup kedalam samudera pengetahuan Syaikh.’

Robithoh, diawali dengan membayangkan secara phisik wajah seorang mursyid secara terus menerus, inipun berlaku bagi murid yang pernah bertemu atau paling tidak pernah melihat photonya. Lalu ditahap yang lain, ditingkatkan dengan menghadirkan rasa bahwa sang mursyid hadir disetiap keadaan, agar para murid dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu dapat merasakan kehadiran yang terus-menerus ke dalam realitas sang Mursyid. Manfa’at robithoh ini sangat luar biasa, khususnya bagi seseorang yang istiqomah melakukannya, dan telah mencapai ketiadaan dalam hadirat Syaikh. Bak sebuah cangkir yang menampung air samudera yang ditumpahkan. Segala sesuatunya akan terlihat maknanya, ayat-ayat Al Qur’an akan terurai dengan sendirinya, rahasia-rahasia perbendaharaan langit dan bumi akan terjelaskan, merasa dekat dengan semua ahli silsilah, mendapatkan isyarat-isyarat kejadian kedepan melalui mimpi atau terjaga.

Seorang murid bertanya kepada Syaikhuna : ‘Apakah Syaikh merasakan sesuatu, tatkala seorang murid melakukan robithoh ?’ Syaikh menjawab : ‘Aku dapat mendengar dengan jelas sahabat yang melakukan robithoh bak suara guntur dan aku dapat melihatnya bak disiang hari.’

Seorang murid sedang bersama-sama dengan Syaikhuna, lalu beliau berkata kepada muridnya : ‘Izikanlah saya memperbarui wudhu, karena seorang sahabat sedang melakukan robithoh.’

Antara seorang murid dan Mursyid
Ada sebuah ‘aku’ yang menghijab
Berteriaklah yang keras ‘Engkau ada’
Dan jadikan ‘aku’ tiada
Agar tak ada lagi kekurang ajaran ini
Lenyap bersama perginya ‘aku’

Rabithoh dapat di ilustrasikan, ketika seorang pemuda berada di kaki gunung, udaranya begitu dingin, dan berdekat api unggun sangatlah nikmat, karena rasa kehangatannya menelan rasa dinginnya. Rasa-rasa itu tentu terekam didalam memori sang pemuda tadi. Setelah sekian tahun lamanya, ketika melakukan konsentrasi dan memusatkan pikiran tentang api unggun itu, maka seolah-olah rasa panas api itu masih dapat dirasakan. Begitu juga robithoh, ketika gambaran spiritual sang Syaikh ‘dipindahkan’ pada layar pikiran kita, maka ilmu yang hadir saat itu atau yang beroperasi dalam diri Syaikh, juga ikut ‘dipindahkan’ kepada kita secara bertahap sesuai besarnya cawan yang ada pada diri kita masing-masing.

Seorang murid dapat memulainya untuk jangka waktu pendek dari tiga sampai lima menit, dan secara bertahap menjalaninya menuju jangka waktu yang lebih panjang. Yang terpenting adalah bahwa seorang murid menjalankan praktik ini harus sesuai dengan kaifiat dan konsisten agar diperoleh manfaat yang cepat. Sebuah upaya kecil yang dilakukan secara ta’at azas dan terus menerus akan menghasilkan kemajuan yang luar biasa dalam kurun waktu yang singkat, dari pada mengerjakannya secara acak dalam waktu yang lama.

Orang-orang yang sinis terhadap tarekat mengatakan bahwa robithoh adalah syirik dan dilarang untuk dilakukan, jika demikian, apakah sesuatu yang datang secara tiba-tiba berupa lintasan-lintasan wajah anak-anak, istri atau harta benda disaat sholat tanpa seseorang mampu menghindarinya merupakan syirik ? Bukankah Abu Bakar As-Siddiq,ra., pernah mengalami hal-hal yang demikian juga, yaitu membayangkan akan memilih unta yang berwarna hitam atau coklat dalam sholatnya, lalu Umar bin Khatab,ra., juga sering mengingat persiapan dan strategi peperangan dalam sholatnya, lalu apakah ini juga merupakan syirik ? Mana yang lebih baik dalam melakukan peribadatan, terbayang wajah guru yang mulia ataukah harta benda dan persoalan duniawi yang dapat menggelapkan hati ? Meskipun dalam melakukan peribatan seseorang harus berusaha untuk dapat melupakan segala sesuatu kecuali Allah SWT dan hal ini mustahil dapat dilakukan oleh seorang murid dengan sempurna, karena barang siapa yang telah mampu melakukannya selama masa sholat dua rakaat, maka akan diampuni seluruh dosanya, dan derajat ini hanya dimiliki para rasul, nabi dan waliyullah.

Allah SWT berfirman : 'Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran.' (QS 2 : 269)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar