Kamis, 05 November 2009

CAMPOLAI

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka ke (tempat)nya. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.(QS 12 : 58)

Hati yang selalu berpaling kepada kedudukan duniawi sesungguhnya buta, dan menutup jalan-jalan menuju Tuhan, seperti pada kisah Nabiyullah Yusuf,as., saudara-saudara kandungnya tidak mengenalnya lagi, karena hatinya berkeyakinan bahwa mereka telah membunuhnya dengan menceburkan kedalam sumur, lalu menyebarkan kebohongan bahwa ‘sang raja tampan’ telah mati dimakan srigala dunia. Akan tetapi sebaliknya sang Nabi masih mengenali mereka. Itulah gambaran tentang manusia yang menghormati sesamanya atas dasar kedudukan di dunia, bukan berdasarkan ke-patuhan-nya kepada Tuhan. Kebanyakan dari mereka hanya mengenal bentuk bukannya makna. Maka dari itu seorang Yusuf bisa ‘sirna’ terselebungi oleh tirai jabatannya, manakala dipandang oleh orang-orang yang menggunakan mata inderawinya. Jika sosok Yusuf ditukar dengan patung, lalu dikatakannya bahwa patung ini adalah raja, maka merekapun akan meng-elu-elu-kannya, ‘kami telah bertemu dengan raja mesir yang budiman’ katanya. Sesungguhnya manusia itu, saat di alam amr (alam perintah) dan masih berupa ruh, ia mengenal dengan sebebar-benar mengenal ‘Rajanya’, makanya ia bersaksi. Begitu ia berada di alam khalq (alam kejadian), ia tidak lagi mengenal-Nya, karena keberpalingannya kepada dunia yang memikat jiwa ini, mereka bunuh pengetahuan dan ingatannya tentang ‘Rajanya’ dengan menceburkannya kedalam sumur kesenangan dunia, terkecuali bagi orang-orang yang mensucikan dirinya secara terus menerus dengan membersihkan dari kotoran-kotoran dunia, melepaskan belenggu ikatannya dan kediriannya.

Dalam perjalanan ziarah ke makam Syaikh Maulana Mansyur Cikadueun, Banten, Syaikhuna menyampaikan pengetahuan tentang buah campolai, semua murid yang menyertainya belum pernah melihat atau mempunyai gambaran tentang buah dimaksud. Untuk memetakan realitasnya, dan agar mudah dipahami, penjelasan disampaikan secara rinci, dimulai dari sifat-sifat pohonnya, lalu ukuran batang, bentuk daun, dan warna buahnya. Setiap murid mempunyai daya imaginasi yang berbeda-beda, dan dalam tahap ini masing-masing mempunyai ‘gambaran’ yang membekas dalam ingatan tentang buah itu. Sebab, jika penjelasan ini tidak ‘berbekas’ apa-apa dalam mengenali obyek yang belum diketahui, maka tidak akan ada perbedaan antara keadaan ketika ‘belum mengetahui’ dan ‘sesudah mengetahui’. Jika ‘gambaran’ itu menetap pada diri sang murid, namun apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan yang diketahui, maka yang terbayang haruslah disesuaikan dengan yang diketahui, sehingga ‘gambaran’ pengenalan itu menjadi obyek sebagaimana ia harus diketahui. Setelah paham tentang pengetahuannya, seorang murid bertanya kepada Syaikh : ‘Seperti apa rasanya, Syaikh ?’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab : ‘Yaa seperti campolai.’ Nah, rasa inilah yang tidak mungkin dijelaskan secara ilmu pengetahuan, karena ‘rasa’ adalah milik-Nya dan akan dikaruniakan kepada qalbu-qalbu pilihan-Nya. Walaupun pengetahuan yang benar tentang campolai merupakan sarana dasar untuk mendapakan buah yang tepat, boleh jadi orang-orang yang mengetahui pengetahuan tentang campolai belum pernah melihat buahnya apalagi merasakannya. Tanpa pengetahuan yang benar, mustahil, seseorang dapat menemukan buah yang benar, karena banyak buah yang mempunyai kemiripan dengannya.

Mengenal Tuhan (ma’rifatullah), dapat dilakukan melalui dua hal, yang pertama adalah dengan ‘pengetahuan yang benar’ dan yang kedua dengan ‘intuitif atau pe-rasa-an yang benar’. Meskipun ada golongan yang berpendapat bahwa mengenal Tuhan dapat dilakukan dengan jalan ‘tindakan’ dan ‘pengetahuan’. Kita sepakat bahwa pengetahuan akan membawa manusia kepada kesempurnaan, dan sebaliknya kebodohan justru mencegah manusia jalan masuk menuju kesempurnaan. Tindakan tanpa didasari pengetahuan yang benar akan ngawur, dan begitu pula pengetahuan tanpa adanya tindakan yang benar adalah kosong. Pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dari membaca buku-buku atau mengikuti kuliah di perguruan tinggi adalah ‘palsu’ atau bahkan yang diperoleh dari mendengar dari para pendakwah adalah nol besar. Dan yang diperoleh melalui tindakan berupa praktik kezuhudan yang tidak didasari oleh sunah Nabi saw., adalah bohong belaka. Karena bila pengetahuan tentang Tuhan dapat diperoleh dengan cara-cara yang demikian itu, maka orang kafir pun dapat memperolehnya dan juga bila praktek kezuhudan seperti itu adalah jalannya, maka para petapa golongan kafir dapat sampai kepada-Nya. Karena Allah Swt, berfirman bahwa pengetahuan tentang Dia bergantung kepada kehendak-Nya, seperti yang termaktub didalam firman-Nya : 'Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, dan kami kumpulkan pula segala sesuatu kehadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS 6 : 111)

Kodrat manusia lebih cenderung kepada kebodohan dan kemalasan daripada pengetahuan, karena banyak hal yang mudah dikerjakan dengan kebodohan dan sebaliknya bahwa tak satu langkah pun yang mudah bisa dibuat dengan pengetahuan. Riyadhah dan mujahadah berdasarkan hukum suci, merupakan sarana atau sebab menuju musyahadah dan mukasyafah, namun bukanlah sebab langsung. Satu-satunya sebab langsung adalah kehendak dan inayah-Nya. Jadi orang-orang yang ingin mengenal Tuhan melalui akal intelektualnya akan sia-sia, karena akal bahkan tidak mengenal dirinya sendiri lalu bagaimana ia mau mengenal yang lainnya dan Tuhan jauh berada diluar jangkauan akal intelektual, karena ia yang dicipta oleh-Nya pastilah terbatas, dan sesuatu yang terbatas mustahil dapat mengenal Yang Tidak Terbatas. Jalan utamanya adalah, bersungguh-sungguh dalam menjalankan pekerjaan tarekat yang diperoleh dari kecintaan seorang Syaikh, khususnya pekerjaan dzikir-dzikir dan muroqobah, lalu disetiap nafas kehidupannya terus menerus dalam keadaan berperang melawan hawa nafsunya, maka, jika Allah menghendaki, pengetahuan yang benar (Haq) dan perasaan yang benar (Haq) pula tentang Tuhan (musyahadah) akan diperoleh, barulah akan terlihat berbagai macam kebenaran-kebenaran (mukasyafah). Rasa takutnya (khauf) menjadi-jadi dan silih berganti dengan rasa harap (raja) yang tinggi, rasa takut dan harap ini tidak ada kaitannya dengan ciptaan-ciptaan, namun takut berjauh dengan Allah dan berharap langgeng didalam keadaan ini, kadang-kadang rasa takut lebih tinggi dari rasa harap dan sebaliknya, dan juga rasa malu (haya) mengalahkan semuanya, sekali-kali dihinggapkan rasa rindu yang meluap, walaupun orang melihatnya buruk (mungkin), karena dalam keadaan itu tiada kemampuan dalam mengendalikan gerak badaniyah, akan munculah gerakan tarian-tarian, dan sesembahan-sesembahan yang orang-orang awam akan merasa aneh melihat gerak geriknya. Keadaan ini datang silih berganti, terserah bagaimana Tuhan mempermainkan keadaan seseorang, saat itulah datang suatu rasa ketidak berdayaan, saat itulah fana, dan bila fana ini berkepanjangan, itulah yang disebut baqa. Dalam keadaan ini nyaris kakinya tidak menapak dibumi, walaupun masih sering terlihat bersama-sama dengan murid-muridnya. Dan untuk menutupi kadaannya dari penglihatan orang banyak, maka para masyaikh terdahulu menghindar dan menyendiri atau berpindah kedesa kecil lain, lalu membangun tempat sholat (langgar) dan mengajar agama kepada orang-orang disekelilingnya, paling-paling orang desa itu mengenalnya sebagai guru agama saja. Dan ada pula yang masih harus berkumpul dengan murid-muridnya dan banyak berbicara, karena memang kehendak Tuhan seperti itu kepadanya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Jika kalian menjumpai orang yang seperti keadaanya, berbaktilah kepadanya dan raihlah keridhoannya, karena merekalah kekasih-kekasih Tuhan di bumi, yang terlihat secara lahiriyah mengalami penderitaan yang hebat, namun hatinya merasakan kegembiraan yang tiada taranya.’

Allah Swt berfirman : 'Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya ? demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.' (QS 6 : 122) 'Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).' (QS 17 : 72)

Menuju komplek makam tuan Syaikh Maulana Mansyur, banyak dijumpai pohon campolai yang sedang berbuah, lalu Syaikh membeli beberapa buah dari penduduk setempat dan membagikannya kepada murid-muridnya. Syaikh sedikit berkelakar dengan mengatakan : ‘Setelah memakan buah campolai ini dan mengetahui rasanya, kalian sudah masuk golongan makrifat.’ Murid-muridnya berkomentar tentang rasa buah itu, ‘seperti sawo manila’ ada juga yang berkata ‘seperti ubi cilembu’. Dan syah hukumnya bagi mereka yang telah merasakannya, membuat komentar yang berbeda-beda, akan tetapi mempunyai makna yang sama dan tujuan yang sama pula. Karenanya kita dapat melihat bahwa, kedudukan makrifat lebih utama dari pengetahuan, sedangkan pe-rasa-an yang benar adalah hasil dari pengetahuan yang benar. Oleh sebab itu, orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang campolai tadi bukanlah ahli makrifat. Dan boleh jadi, orang yang punya pengetahuan tentangnya, tanpa menjadi makrifat. Jadi untuk mengenal buah campolai tadi terjelaskan sudah, jembatan hukum suci adalah sarana dan bukan sebab langsung, ilmu pengetahuan (‘ilm) yang benar dan pe-rasa-an (dzauq) yang benar adalah atas kehendak Allah Swt.

Manusia boleh saja berupaya menggali khazanah ilmu pengetahuan tentang Tuhan, dan memang hanya sampai sebatas itu kemampuan intelektualitasnya, dan hal ini sudah merupakan tindakan yang benar dan karunia yang besar, karena hal terpenting pada setiap waktu bagi manusia adalah pengetahuan tentang Tuhan. Dan tindakan ini merupakan kebaikan di dunia maupun di akhirat nantinya, sebagaimana firman Allah SWT : ‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia tidak lain hanya untuk menyembahku.’ Pengertian kata ‘menyembah’ bisa juga ‘mengenal’ atau melakukan kepatuhan dengan menyembahnya, karena untuk menyembah sesuatu kita harus mengenal terlebih dahulu yang disembah, menyembah sesuatu yang tidak dikenal, sama saja dengan menyembah berhala. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Didalam makrifat ada kepatuhan.’ Atau dengan kata lain bahwa, tidaklah berguna kepatuhan tanpa makrifat, sedangkan orang-orang yang tidak patuh akan tetapi mempunyai makrifat, pada akhirnya akan diselamatkan, walaupun hal ini bergantung pada kehendak-Nya, apakah ia akan mendapatkan ampunan dengan Rahmat-Nya atau mendapatkan syafaat Rasulullah,saw., atau apakah ia akan dihukum terlebih dahulu menurut kadar dosanya, lalu dikeluarkan dari neraka dan dimasukan kedalam surga. Maka berkat makrifat itu, walaupun ia berdosa tidaklah tinggal selamanya dineraka, sementara orang-orang yang beramal tanpa mempunyai makrifat tidaklah masuk surga, maka dari itu, kepatuhan di sini bukanlah penyebab bagi keselamatan. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tidak ada seorang pun di antaramu yang akan diselamatkan dengan amal-amal-nya.’ Inilah pembuktian bahwa makrifat lebih utama dari pada amal. Karena bila Tuhan tidak memperkenalkan Diri-Nya maka manusia pun tidak akan pernah mengenal-Nya, walapun ia telah manghabiskan seluruh kekuatan raganya dan segudang harta bendanya untuk amal. Dalam hal ini boleh direnungkan pertanyaan ini, ‘Untuk siapa amal ini ?’ jika dijawab ‘Tuhan,’ maka tanyakan ‘Tuhan yang mana, apakah engkau mengenal-Nya ?’. Orang-orang yang meyakini akan ke-esa-an Tuhan wajiblah mempunyai pengetahuan tentang ke-esa-an-Nya.

Sayyidina Ali,r.a, berkata : ‘Aku mengenal Allah karena Allah, dan aku mengenal yang bukan Allah dengan cahaya Allah.’

Rasulullah,saw., pernah menyampaikan sebuah kisah : ”Pada zaman dahulu ada seseorang yang tidak berbuat baik, hanya saja dia menyatakan bahwa Tuhan adalah satu. Menjelang ajalnya, ia mengatakan kepada kaumnya, ‘setelah aku mati, bakarlah aku dan kumpulkan debu-debuku, dan pada hari ketika banyak angin lemparkan separuhnya ke dalam lautan dan terbarkan separuhnya lagi ke angin di daratan, sehingga tak ada bekasku yang tertinggal.’ Tak lama setelah ia meninggal dunia dan pesannya itu dilaksanakan, Tuhan menyuruh udara dan air menjaga debu-debu yang mereka terima hingga Hari Kiamat. Dan ketika Dia bangkitkan orang itu dari kematian, Dia akan menanyainya mengapa dirinya dibakar, dan ia akan menjawab, ‘Wahai Tuhan, karena malu kepada-Mu, karena aku seorang pendosa besar,’ dan Tuhan akan mengampuninya.”

Menghafal ‘Asma ul husna’ akan menjadi sama maknanya dengan menghafal lagu seruling bambu, tanpa didasari oleh iman yang benar, karena iman merupakan sebuah prinsip berupa pembenaran di dalam hati dan mempunyai sebuah cabang berupa pelaksanaan perintah Tuhan (kepatuhan). Tanpa adanya iman yang kuat dan melakukan perenungan tentang hakikat nama-nama indah itu, mustahil manusia mampu menikmati kegaibannya. Walaupun anak-anak yang belum dewasa pun banyak yang mempunyai kemampuan untuk menghafalnya, namun jiwanya tetap saja ‘bocah’ dan perilakunya tidak berubah yang senang ‘bermain-main’ diatas dunia ini, karena pondasi iman-nya belum mantap. Padahal dengan berbekal iman yang benar dan menyelami hakikat satu asma-Nya saja, sudah dapat menjadikan manusia musnah kediriannya dan yang ada hanya Dia, sehingga perilakukanya bukan atas kemauannya sendiri melainkan didominasi oleh kehendak-Nya, dan hatinya tidak pernah berpaling darinya, walaupun ia berada ditengah-tengah hiruk pikuk dunia ini.

Bagaimana mungkin seseorang mengaku beriman tanpa mempunyai pengetahuan tentang yang di imaninya, lalu bagaimana ia bisa memperoleh pe-rasa-an yang benar atasnya. Nah, perpaduan antara iman, ilmu dan rasa adalah sempurna dan ada kelompok yang menyebutkan dengan istilah lain yaitu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, dan ada pula yang menggunakan istilah riyadhah, mujahadah, musyahadah dan mukasyafah. Itulah tiga istilah yang berbeda namun mempunyai kesamaan makna, karena perbedaan dari para ulama adalah rahmat kecuali masalah Tauhid.

Ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhan-an tidak dapat dicari melainkan dengan kesabaran duduk di emperan rumah sang Mursyid, lalu dengan kepatuhan yang tinggi mengamalkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan gagah dan secara ksatria (riyadhah), baik perintah yang wajib ataupun yang sunah, dan terus menerus melawan hawa nafsunya (mujahadah), maka walaupun ia jauh dari titik Pusat Penciptaan, lama kelamaan titik Pusat lingkaran akan menariknya kedalam, semakin mendekat dan mendekat, sehingga begitu sampai pada titik sentral, ia sudah lupa terhadap dirinya karena telah berada atau menyatu, jadilah ia titik itu sendiri. Seperti yang diperagakan dalam gerakan berputar yang berlawanan dengan arah jarum jam, atau gerakan tawaf pada pelaksanaan haji atau umrah, atau seperti gerakan pada tarian berputar tarekat yang dipimpin oleh Syaikh Jalauddin Rumi,ra. Yang hakikatnya bahwa burung-burung itu akan kembali kepada Sangkarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar