Kamis, 05 November 2009

TAUHID

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Katakanlah : “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” (QS 112 : 1)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah,ra., bahwa Nabi,saw., mengutus (sebuah unit pasukan) di bawah komando seseorang yang menjadi imam shalat dan mengakhiri shalatnya dengan membaca ayat diatas. Ketika mereka kembali dari peperangan, mereka memberitahukannya kepada Nabi,saw., yang berkata kepada mereka : ‘Tanyakan apa alasanya.’ Mereka bertanya kepadanya dan dia menjawab : ‘Aku melakukannya karena ayat itu menyebutkan kualitas Yang Maha Pengasih dan aku senang membacanya dalam shalatku.’ Nabi,saw., bersabda kepada mereka: ‘Beritahu dia, bahwa Allah mencintainya.’

Tauhid adalah peng-esa-an manusia akan Tuhan, yakni pengetahuan manusia akan ke-esa-an Tuhan, pengetahuan ini bisa didapat melalui dua jalan, yang pertama diperoleh dari membaca buku-buku atau mengikuti kuliah tentang tauhid dan yang kedua diperoleh dari cara melakukan riyadhah dan mujahadah atas bimbingan seorang Mursyid. Yang pertama membutuhkan daya ingat yang baik, karena pengetahuan yang didapat dari membaca buku akan tersimpan didalam otak belakang, dan begitu kapasitas daya tampung penuh atau usia menua (uzur), maka dengan mudah akan lupa, seperti orang-orang dewasa yang sudah lupa akan pelajaran hapalan yang didapat di sekolah dasar. Sedangkan yang kedua adalah pengetahuan yang didapat dari hasil bekerja sebagai budak Tuhan, dengan begitu Tuhan akan mengkaruniakan pengetahuan dan perasaan yang benar tentang ke-esa-an-Nya langsung kedalam hati sang budak. Nah pengetahuan yang kedua ini, tidak akan bisa lupa, baik selama hidup di dunia ataupun dalam kehidupan di alam barzakh dan hari berbangkit nantinya, karena berupa perasaan (musyahadah) yang hakiki yang selalu menyelimuti hati dan tidak memerlukan daya ingat seperti yang pertama. Sebagai perumpamaan, bahwa kelompok yang pertama mengerti dan mempunyai pengetahuan bagaimana cara-cara membuat santan, tanpa pernah mempraktekannya, oleh sebab itu kelompok ini tidak pernah mengetahui ‘rasa’ daripada santan itu. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menanam pohon kelapa, memetik buahnya, lalu mengupasnya dan memisahkan antara sabut dan batok kelapanya, lalu daging kelapanya diparut dan dicampur dengan sedikit air dan diperas, maka akan diperoleh santan yang murni, sehingga kelompok ini akan memperoleh rasa yang benar dari santan itu .

Pengertian tauhid oleh kelompok yang pertama adalah meng-esa-kan Allah baik dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun kesempurnaan asma dan sifat-Nya.

Tauhid rububiyah, yaitu meng-esa-kan Allah bahwa menciptakan, memberi rizki, mengatur segala urusan, menghidupkan, mematikan dan sebagainya adalah perbuatan-perbuatan-Nya, maka tidak ada satu penciptapun kecuali Allah, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (QS 39 : 62).
Dan tidak ada sesuatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mauhfuzh). (QS 11 : 6)

Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan (QS 10 : 56)

Orang-orang kafir pada zaman Rasulullah saw., pun juga mengakui tauhid rububiyah ini, tetapi pengakuan ini tidak menjadikan mereka masuk kedalam agama Islam, seperti yang termaktub didalam firman-Nya ini :
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? tentu mereka akan menjawab Allah (QS 31: 25)

Tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah bahwa perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkankan-Nya hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, seperti do’a, khauf, tawakkal, meminta pertolongan dan meminta perlidungan, dan lain sebagainya.
Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu (QS 40 : 60)
Maka janganlah kemu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS 3 : 175)
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman (QS 5 : 23)
Hanya kepada-Mu kamu menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan (QS 1: 5)
Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia (QS 114 : 1)

Tauhid uluhiyah ini telah dibawa oleh para rasul untuk menyeru kepada umatnya, Allah SWT berfirman : 'Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu (QS 16: 36).

Dan orang-orang kafir sejak zaman dahulu dan sampai sekarang tetap saja mengingkarinya, mereka berkata seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja ? sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (QS 38 : 5)

Tauhid Asma’ dan sifat, yaitu beriman kepada setiap nama dan sifat Allah yang ada didalam Al Qur’an dan hadis-hadis yang shahih, yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya atas yang disifatkan oleh Rasul-Nya menurut hakikatnya. Orang-orang kafir di zaman kini secara lahir tidak mengingkari hal ini, namun didalam batinnya tetap saja tenggelam dalam kekafirannya. Mereka memberikan komentar-komentar karya para wali Allah yang agung, seperti karya Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., Syaikh Ibnu Arabi,ra., dan Syaikh Al-Hujwiri,ra., serta menulis banyak buku yang berkenaan dengan hal tersebut dalam gaya bahasa yang indah dan mudah dijumpai di toko-toko buku. Mereka memberikan kesan bahwa semua agama datangnya dari satu Tuhan dan cara-cara pensucian diri yang dilakukan oleh para sufi, telah pula dilakukan oleh golongan mereka terdahulu. Jelas ini merupakan kekeliruan yang luar biasa, walaupun secara kuantitas mereka mempunyai banyak literatur buku-buku tasawuf kuno.

Sejak dulu di sekolah-sekolah dasar telah diajarkan sifat Allah yang terangkum dalam sifat dua puluh, dan para murid pun diwajibkan untuk menghapalnya, yaitu Wujud, Qidam, Baqa, Mukholafatuhu Lil Hawadist, Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi, Wahdaniyat, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama, Bashar, Kalam, Qodirun, Muridun, Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakallimun. Oleh sebab itu pengetahuan yang datang dari cara menghapal akan mudah pula pergi dari ingatan (lupa).

Nama-nama Allah itu tidak terbatas, namun para ulama sepakat bahwa berdasarkan Al Qur’an terdapat sembilan puluh sembilan nama, diantaranya Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), As-Sami (Yang Maha Mendengar), Al Bashir (Yang Maha Melihat).
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS : 42: 11).

Tauhid oleh kelompok yang kedua atau dimata para ahli tarekat mempunyai sudut pandang yang lebih dalam. Di suatu saat, Syaikh Al Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mengajak beberapa muridnya untuk menghadiri acara haul di rubat Syaikh Nuurunnaum Suryadipraja (Semoga Allah mensucikan ruhnya), beliau adalah seorang Syaikh dari para Syaikh, Sultan dari para alim, pemilik rahasia kesucian, pecinta Tuhan dan mencintai para kekasih Tuhan, pemilik pengetahuan Ilahi yang tak berbanding. Beliau laksana hujan dari samudera pengetahuan, beliau adalah anggrek terindah di bumi, pemilik pengetahuan lahir dan batin yang sempurna, beliau adalah salah satu keajaiban Tuhan, beliau adalah suatu rahasia dari rahasia Tuhan. Bila seorang murid tawadhu terhadap gurunya adalah hal biasa, namun beliau selalu bersikap tawadhu terhadap muridnya.

Pertemuan kedua Syaikh itu sungguh membuat kesan yang indah didalam hati, setelah Syaikhuna mencium kaki dan tangan yang mulia Syaikh Nuurunnaum, lalu tanpa ada kata-kata mereka berdekapan, airmatanya bercucuran bak air hujan, rasa kerinduan yang tak pernah berakhir itu membias keseluruh jemaah yang hadir, semua tertunduk dan terdiam menyaksikan ‘pertemuan’ seorang murid yang telah berbakti kepada gurunya lebih dari empat puluh tahun lamanya. Syaikh Nuurunnaum memanggil Syaikhuna dengan sebutan ‘anakku’, Syaikh Achmad atau Syaikh Waasi’, tidak akan pernah ada, diatas bumi ini pemandangan yang begitu menakjubkan kecuali dilingkungan tarekat, segera dua ruh suci itu mengangkasa ke langit, jauh meninggalkan kumpulan para salik. Syaikhuna memapah Syaikh Nuurunnaum yang terlihat nyaris ‘pingsan’ menuju ke kamarnya, lalu beliau naik ke mimbar dan berkata: ‘Saya tidak adab berbicara didepan guru dan para sesepuh disini, dan saya juga tidak adab bila menolak permintaan guru untuk mewakilinya berbicara disini, akan tetapi saya bercermin terhadap Imam Junaid,ra., tatkala beliau diminta oleh gurunya yang sekaligus pamannya yang bernama Imam Sari As Saqoti,ra., untuk berbicara didepan umum, walapun sudah beberapa kali Imam Junaid,ra., menolaknya, akhirnya atas perintah Rasulullah,saw., yang dijumpai dalam mimpinya, beliaupun melakukannya. Tidaklah mungkin kesempurnaan peng-esa-an Allah SWT dapat diperoleh oleh seseorang kecuali melalui muroqobah, dan muroqobah yang berkenaan dengan ayat yang berbunyi ‘Qul huwallaahu ahad’ (QS 142 : 1) disebut muroqobah ahadiyah, atau muroqobah yang pertama dari dua puluh tingkatan muroqobah bagi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Barang siapa melakukan muroqobah lalu masih tersisa kesadaran akan keberadaan dirinya maka muroqobahnya belum sempurna dan hasil daripadanya juga pasti jauh dari kesempurnaan, sehingga tingkat tauhidnya masih belum bersih.’

Muroqobah (meditasi) berbeda dengan tafakur (kontemplasi), bila muroqobah (meditasi) adalah perenungan yang dilakukan oleh hati (qolbi), maka tafakur (kontemplasi) adalah perenungan yang dilakukan dengan menggunakan akal pikiran. Tafakur bisa dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai talenta yang cukup, sedangkan muroqobah diperuntukkan bagi para salik yang sudah khatam dalam dzikirnya dan harus terlebih dahulu mendapatkan ijazah dari seorang Mursyid. Boleh jadi pada tahapan tertentu seorang salik akan mengalami keadaan ‘kebekuan’ bila memperbanyak pekerjaan dzikir-dzikirnya, dan dalam keadaan yang demikian, sang Mursyid akan memberinya pekerjaan muroqobah, namun hal ini bukan merupakan satu-satunya alasan, terserah apakah sang Mursyid meridhoinya.

Ayat-ayat didalam Al Qur’an tidak secara tegas mewajibkan tafakur namun memberikan ‘anjuran yang sangat’ (bahasa Al Quran-nya ‘bagi mereka yang mau berfikir’) kepada manusia untuk melakukannya, terhadap hal-hal yang tertuang didalam Kitabullah itu. Keutamaan tafakur meng-ungguli peribadatan lainnya, seperti yang dikatakan oleh Sayidina Ali,ra., : ‘Tafakur sesaat sama dengan ibadah enam puluh tahun’. Walaupun orang-orang yang beriman sangat mengetahui keutamaannya, namun yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya hanya sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka lebih cenderung bertafakur yang berkenaan dengan rizki dunianya dan takut dengan kemiskinan, yang jelas-jelas dilarang oleh agama, karena akan mengakibatkan hati menjadi membatu dan gelap. Oleh sebab itu disuatu kesempatan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada para saliknya yang sedang berkumpul membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan tafakur ; ‘Sesungguhnya diantara kalian yang sedang membicarakan tafakur, walaupun telah mengetahui keutamaannya, tidaklah ada yang pernah melakukannya, karena tafakur merupakan maqom (tingkat keimanan) tertentu bagi pejalan yang tangguh.’

Allah SWT berfirman :
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka.’(QS 3: 191)

Ayat tersebut memperlihatkan tahapan melakukan tafakur, yaitu diawali dengan banyak berdzikir dalam setiap keadaan, yang akan menghasilkan pikiran menjadi kosong dari yang lain kecuali Allah SWT, lalu dalam keadaan yang demikian barulah melakukan tafakur (kontemplasi), sehingga akan melahirkan ribuan makna tersembunyi. Orang-orang yang mengaku telah melakukan tafakur (kontemplasi) terhadap ciptaan, penciptaan dan Pencipta, tanpa melalui tahapan ini, akan menghasilkan perbedaan-perbedaan pendapat diantara mereka sendiri, karena tentulah hasil dari padanya akan sangatlah dangkal.

Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4 : 1)
Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (QS 33 : 52)
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS 89 : 14)

Untuk mempunyai pe-rasa-an yang benar bahwa Allah selalu bersama-sama dimanapun kita berada tidaklah mudah, karena hal ini merupakan keadaan tingkat ketahuidan seseorang yang tinggi, maqom yang bercukup. Walaupun seseorang hapal atau mengetahui banyak ayat Al Qur’an dan hadis berkenaan dengan hal tersebut, toh tetap saja pe-rasa-an yang demikian ini tidaklah bisa hadir dan dirasakan disetiap waktu. Nabi,saw., menyebutnya ihsan yaitu Merasa melihat Allah Swt atau merasa dilihat oleh Allah Swt pada saat beribadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya ‘musyahadah’ yang merupakan karunia Tuhan kepada seseorang yang gigih dalam menjalankan riyadhah dan mujahadahnya. Keadaan ihsan atau bahkan merasa terus menerus diawasi oleh Allah disepanjang kehidupannya adalah buah yang awal yang didapat dari menanam pohon ‘muroqobah’ yang selalu disiram dengan air kepatuhan dan diberikan pupuk kewaspadaan secara terus menerus. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pada awalnya muroqobah adalah merasa terus menerus dalam pengawasan Tuhan, lalu merasa bersama-sama dengan Tuhan, dalam tahap ini masih tersisa insaniyah karena masih ada ‘aku’ dan ‘Engkau’, sedangkan ditahap selanjutnya yang ada hanya ‘Dia’ saja, seperti yang termaktub didalam firman-Nya : 'Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.’ (QS 55 : 26 – 27)

Muroqobah adalah melepaskan keinginan diri dari keinginannya untuk meniadakan dirinya, dan berpaling dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Maka hasil dari muroqobah yang dilakukan oleh ahlinya akan saling mendukung, walaupun terdapat sedikit perbedaan dari cara pengungkapannya namun mempunyai kesamaan makna. Karena begitu hati seseorang kosong dari segalanya kecuali Tuhan, maka cahaya Tuhan akan bersemayam didalamnya, dan cahaya ini akan dapat melihat rahasia-rahasia yang paling dalam sekalipun. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Seseorang yang telah mencapai empat muroqobah yaitu muroqobah ahadiyah, ma’iyah, aqrobiyah dan Mahabah fi al-dairot al-ula, maka syah hukumnya dimintakan doa-doanya karena yang bersangkutan telah mencapai wali sugro (wali kecil).’

Setelah selesai menghadiri acara dimaksud, seorang salik bertanya kepada Syaikhuna : ‘Jika taudid adalah pengetahuan ke-esa-an yang sempurna tentang Tuhan yang didapat dari ‘pengalaman’ para Syaikh atau para Sufi, mohon kami mendapatkan penjelasan ? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab dan memulainya dengan mengutip sebuah firman Allah SWT ; 'Barang siapa mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik lagi dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS 16 : 97)

Di dalam ayat ini jelas sekali siapa yang disembah dan yang menyembah serta siapa yang membutuhkan dan yang dibutuhkan. Di dalamnya juga terkandung kejelasan dan ketegasan antara makhluk dan Pencipta, yang sementara dan yang kekal. Allah dengan Kemahakuasaan-Nya lagi Maha Pencipta akan memberikan balasan yang setimpal bagi yang beriman kepada-Nya. Ke-esa-an-Nya, Jalal (Keperkasaan) dan Jamal-Nya (Keindahan-Nya) adalah suci dari sifat-sifat yang digambarkan, dan perkiraan-perkiraan yang didambakan oleh manusia. Seluruh pemahaman manusia hanyalah keterbatasan belaka menghadapi ketunggalan dan keabadian-Nya. Kejelasan-Nya melebihi segala rasa seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Dia Maha Meliputi, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Apabila seluruh ciptaan mempersatukan pemahamannya dengan memakai kata-kata atau bahasa hanyalah merupakan kehinaan dan kelemahan ciptaan saja, karena sesungguhnya Dia tidak terhingga. Oleh sebab itu, tauhid merupakan ilmu tahapan menurut pemahaman lahiriah dan batiniah.

Kemudian sang salik bertanya lagi : ‘Bila tauhid merupakan ilmu tahapan, mohon Syaikh dapat menyampaikan tahap-tahap itu ? Syaikhuna (semoga allah merahmatinya) melanjutkan penjelasannya :

Tauhid Ilmul Yaqin, pemahaman tauhid bagi orang awam.
Yang pertama, Pengenalan adanya Tuhan untuk diimani oleh manusia melalui bukti-bukti adanya berbagai ciptaan, agar manusia mau beribadah kepada Allah SWT menurut ketentuan yang ada pada Al Qur’an dan Al Hadis. Yang kedua, diucapkan dengan lidah (perkataan) serta dikukuhkan di dalam hati sebagai tanda keimanannya agar setiap ibadah yang dilakukannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Yang ketiga, bertujuan agar terhindar dari segala kemusyrikan yang terang-terangan seperti penyembahan terhadap berhala atau Tuhan dengan berbagai macam atribut ; tuhan beranak dan diperanakkan seperti yang dilakukan oleh orang nasrani. Dan yang keempat, melalui perenungan atas segala macam kejadian dan ciptaan termasuk pengetahuan tentang keagungan-Nya yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan, contohnya : terjadinya tubuh beserta indriawi dan kegunaannya agar manusia mampu bersyukur kepada-Nya dengan melakukan peribadatan menurut ketentuan syariat.

Tauhid Ainul Yaqin.
Tahapan selanjutnya adalah milik para ahli riyadhah dan mujahadah yang gigih dalam peribadatannya serta terus menerus melawan hawa nafsunya, sehingga Allah memberikan jalan dan tujuan yang pasti. Mereka beroleh cahaya dari Tuhannya, berupa akal spiritual, pemahaman dan penjabaran yang benar tentang Allah SWT, baik lahir maupun batin.

Tauhid Haqul Yaqin.
Tauhid bukanlah hanya sekedar mengetahui atau mengerti bahwa pencipta alam semesta seperti bumi, planet, langit, alam ghaib, surga, neraka, beserta penghuni-penghuninya adalah Allah SWT. Tauhid juga tidaklah hanya diperuntukkan agar manusia meyakini bukti-bukti pemikiran tentang keberadaan Allah semata dan keesaan-Nya, serta pemahaman yang berkenaan dengan asma-Nya dan sifat-sifat-Nya. Namun yang lebih jauh lagi dan terpenting adalah harapan tentang musyahadah yang ada pada genggaman-Nya. Seperti yang termaktub didalam firman-Nya : 'Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thahgut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS 16 : 36) 'Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-ganggakan diri. (QS 4 : 36)
'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baik-nya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS 17 : 23-24)

Ayat-ayat diatas menunjukkan posisi, keadaan, aturan dan perintah yang tegas akan keesaan Allah. Agar manusia tidak berbuat syirik, Allah perintahkan perbuatan-perbuatan apa saja yang harus dilakukan sebagai jalan yang lurus untuk meraih ridho-Nya.

Sang salik bertanya lagi : ‘Lalu bagaimana makhluk harus memposisikan dirinya dihadapan Tuhan dan apa-apa yang harus dikerjakan, mohon Syaikh dapat menyampaikannya ? Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawabnya :

Posisi makhluk ciptaan dan yang harus dikerjakan :
Yang pertama, harus menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, yang dengan waktu yang sangat terbatas harus patuh akan perintah Allah, dengan aturan yang benar berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis. Yang kedua, riyadhah yaitu mendisiplinkan diri dengan ketat dengan melakukan apa yang diperintahkan dan jangan sekali-kali melanggar larangan-Nya. Yang ketiga, Mujahadah yaitu melawan hawa nafsu dengan memerangi keinginan jiwa rendah yang condong kepada syahwat berupa kesenangan badaniah, yang ditandai dengan terkaitnya jiwa kepada ciptaan-ciptaan, dan terganjal penyakit-penyakit hati, ujub, riya, sum’ah, takabur dan lain-lain. Melalui riyadhah dan mujahadah inilah, Allah akan memberikan kejelasan-kejelasan berupa ilmu yang benar dan nyata tentang keesaan-Nya (musyahadah). Tentulah hal ini, harus dibawah bimbingan seorang Mursyid agar seseorang dapat mencapai Tauhid Ilahiah dan memperoleh maqom yang lebih tinggi. Pada kedudukan maqom ini seseorang tidak berfikir lagi tentang yang lain selain Allah dengan mengerti tentang zat, sifat dan af’al-Nya. Kesadaran akan tauhid menjadi prima lalu dia akan mengerti, bahwa : ‘hal’ dan kata-kata hanyalah merupakan jalan menuju ke-esa-an, sedangkan peng-esa-an yang sebenar-benarnya tidak ada di dalam kata-kata dan ‘hal’ sekalipun. Selama manusia masih ada dalam keterkaitan atau peluruhan atas diri. Segala kemampuan kata-kata atau berupa apapun yang menjadi upaya untuk pengungkapan kebesaran, keteguhan, kemulyaan, termasuk hakikatnya sangat bertolak belakang dengan gambaran-gambaran dan usaha kata-kata maupun hal. Karena ini semua masih dinisbatkan kepada makhluk (ciptaan). Sedangkan peng-esa-an Allah (tauhid) harus terlepas dari atribut-atribut, julukan-julukan, gelar-gelar, ruang, tempat yang menyerupai keadaan makhluk (ciptaan), karenanya tauhid menjadi batal selama ada penisbatan akan ciptaan. Allah yang zat, sifat dan af’al-Nya dibuat oleh diri-Nya sendiri merupakan hakikat mutlak dari ketuhanan (tauhid). Maka dari itu manusia harus menyikapinya dengan peribadatan secara mutlak pula : Wama kholaqtul jinna wal insa ilaa li ya’budun. Manusia harus menjalankan kewajiban-kewajibannya secara murni kepada Tuhannya. Oleh karena itu patut disadari agar manusia menyembah Tuhannya dengan tidak merasa bahwa dia telah berbuat sesuatu yang besar kepada Tuhannya. Peng-esa-annya harus terlepas dari penyamaan pandangan atas sifat-sifat diri yang berbau kemakhlukan, karena Allah Maha Suci dari segala gelar, julukan, hitungan, arahan dan pengarahan, pengubahan, Maha Suci Allah atas keberadaan-Nya.

Para Syaikh terdahulu mempunyai pandangan yang sama tentang tauhid, walaupun pengungkapannya berbeda-beda menurut keadaan dan bahasa, serta nuansanya masing-masing. Semuanya akan tertuju pada peluruhan dan peniadaan diri demi mencapai pengesaan sejati (tauhid) yang seluruhnya bertumpu pada kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Sebuah peribadatan atau keberbaktian kepada Allah akan mengotori amal, selama amal itu masih diikuti harapan, penilaian, atau disisipi keingintahuan tentang rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Sebaliknya, manusia harus menjauhkan rasa seolah-olah dia sudah berkemampuan beribadat dengan baik. Dia harus menghapuskannya dari dalam hati, karena itu masih bersifat keakuan yang tersisa yang dapat mengotori tujuan yang sebenarnya. Selama polemik yang berkecamuk di dalam hati itu masih ada, maka tauhid tak akan pernah sempurna. Allah SWT berfirman : 'Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhoaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami, Dan sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbuat baik. (QS 29 : 69)

Allah Maha Meliputi dan Maha Mencukupi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan. Akan tetapi, manusia tidak pernah merasa dekat dengan Tuhannya. Itulah sebuah kekurangan yang ada pada diri manusia pada umumnya. Sekalipun manusia memiliki segala apa yang didambakannya, dia akan tetap merasa jauh dengan Tuhannya, karena yang dimilikinya hanyalah berupa ciptaan belaka, termasuk dirinya sendiri. Keadaan manusia seperti ini tidak lepas daripada keluh kesah dan dipenuhi dengan keinginan-keinginan, serta angan-angan.

Pada maqom yang lebih baik, apabila manusia telah ‘sampai’ kepada Tuhannya maka dia akan merasa memiliki segalanya. Dia tidak akan pernah perduli pada ciptaan, hatinya penuh dengan ketenangan dan kegembiraan. Dia telah terbebas dari apa yang dipikirkan oleh manusia pada umumnya. Keadaan inilah yang menjadi dambaan para pejalan di jalan Allah (bila boleh menyebutnya begitu) untuk mencapai tujuan sejati sebagai pintu gerbang ma’rifatullah. Apabila manusia sudah tau akan apa yang harus diperbuat terhadap Tuhannya, berupa hak dan kewajibannya, maka manusia harus memposisikan Tuhannya di atas segala ciptaan yang bersifat fana (sementara). Sehingga atribut apa pun yang dinisbatkan kepada-Nya hukumnya syirik, sungguh tiada ampunan. Karena telah merendahkan derajat Ketuhanan. Allah SWT berfirman : 'Katakanlah : “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS 112 : 1-4)

Salik yang lain bertanya kepada Syaikh : ‘Mohon Syaikh dapat memberikan contoh keadaan para ahli tauhid.’ Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab :

Keadaan para ahli tauhid.
Di dalam peribadatan para ahli tauhid, tidak pernah terlintas di dalam hatinya berupa keinginan untuk mendapatkan balasan-balasan atas kebaikan yang dilakukannya, di dunia maupun di akhirat. Tidak pula merasa berbuat kebaikan atas apa yang dilakukan di dalam ibadatnya, karena segala hasrat diri menjadi sirna dan tertutupi oleh sifat-sifat ketuhanan di dalam kepatuhannya. Yang tersisa hanyalah gerak atas kehendak-Nya. Bila masih ada sedikit keluh kesah, Allah segera menggantinya dengan kesenangan dan ketenangan dalam melakukan ibadah, akibat bersihnya ‘jarak’ dan kehendak. Dalam arti lain dia telah memasuki lingkaran kesucian ilahiah. Terkurung di dalam penjara kasih sayang-Nya, terlindungi, termuliakan dan dia menjadi tidak berdaya selain patuh atas segala perintah-Nya. Dia bagai mayat dihadapan Allah Yang Maha Perkasa. Laa haula wala quwata illa billahil aliyil adziim. Mereka itulah orang-orang yang meraih maqom tertinggi di dalam maqom tauhid. Setelah mereka beroleh musyahadah dari Tuhannya dan terlepas dari segala sifat insaniah, maka berpindahlah dia dari kehidupan keberusahaan kepada kehidupan keberserahan. Maka dari itu makhluk menjadi takluk secara total dengan tidak membawa persyaratan apa pun pada dirinya (Haqul Yaqin). Di dalam lingkaran Kasih Sayang Allah ini, Allah berfirman :
'Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa. (QS 54 : 54-55)

Tauhid para Sufi agung.
Abu Bakar As Siddiq,ra., berkata : ‘Mahasuci Tuhan, yang tidak menganugerahi makhluk-makhluk-Nya sarana untuk mencapai pengetahuan tentang Dia, kecuali melalui ketidak berdayaan untuk mencapai pengetahuan tentang Dia.’

Syaikh Sahl bin Abdallah,ra., berkata : ‘Pengesaan itu, supaya engkau tahu bahwa esensi Tuhan memiliki pengetahuan, sehingga Dia tidak bisa dipahami atau tidak bisa dilihat dengan mata di dunia ini, tetapi Dia ada dalam realitas iman, tak berhingga, tidak bisa dipahami, tidak berinkarnasi. Dia akan dilihat di akhirat kelak, secara lahir dan batin, dalam kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Dan manusia ditabiri dari pengetahuan tentang watak puncak esensi-Nya. Dan bahwa kalbu mereka mengenal-Nya, namun intelektualitas mereka tidak bisa sampai kepada-Nya. Dan bahwa orang-orang beriman akan memandang-Nya dengan mata (ruhani) mereka, tanpa memahami ketidakberhinggaan-Nya.’

Al Imam Abul Qosim Al Junaidi Al Bagdadi,ra., berkata : ‘Pengesaan adalah pemisahan yang qadim dari yang bermula dalam waktu, yakni engkau tidak boleh menganggap yang qadim sebagai tempat (locus) dari yang fenomenal, atau yang fenomenal sebagai tempat dari yang qadim. Dan ketahuilah bahwa Tuhan adalah qadim dan bahwa engkau adalah fenomenal, dan bahwa tidak ada diantara jenismu yang berkaitan dengan-Nya, dan bahwa tidak ada di antara sifat-sifat-Nya yang membaur di dalam dirimu, dan bahwa tidak ada kesurupaan antara yang qadim dan yang fenomenal.

Pengesaan adalah bahwa seseorang supaya menjadi figure di tangan Tuhan, figure yang menjadi sasaran keputusan-keputusan-Nya sesuai ketentuan kemahakuasaan-Nya, dan supaya seseorang tenggelam dalam samudera ke-esa-an-Nya, dan juga mati terhadap panggilan manusia kepadanya dan jawabannya kepada mereka, terserap oleh hakikat ke-esa-an Tuhan dalam kedekatan yang sejati, dan sirna dari perasaan dan tindakan, karena Tuhan memenuhi di dalam dirinya apa yang Dia telah kehendaki darinya, yaitu bahwa keadaannya yang terakhir harus menjadi keadaannya yang pertama, dan bahwa ia harus menjadi seperti sebelum ia ada’.

Syaikh Ali bin Usman Al Jullabi,ra., berkata : ‘Pengesaan manusia akan Tuhan, yakni pengetahuan manusia akan ke-esa-an Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu, yang tidak mengalami penyatuan dan pemisahan, tidak mengenal dualitas, bahwa ke-esa-an-Nya bukanlah sebuah bilangan sedemikian rupa sehingga dapat dibuat menjadi dua dengan penambahan bilangan lain, bahwa Dia bukanlah terbatas sedemikian rupa sehingga mempunyai enam arah, bahwa Dia tidak mempunyai ruang dan bahwa Dia tidak berada di dalam ruang bahwa Dia bukanlah aksiden sedemikian rupa sehingga membutuhkan subtansi, atau bukan substansi yang tidak bisa ada tanpa yang lain yang seperti dirinya, atau bukan resam tubuh natural yang bergerak dan diam, atau bukannya tubuh sedemikian rupa sehingga tersusun dari anggota-anggota tubuh, dan bahwa Dia tidak pernah menjadi imanen di dalam benda-benda, sehingga Dia harus menjadi serupa dengan mereka dan bahwa Dia tidaklah tergabung dengan sesuatu-pun, sehingga sesuatu itu harus menjadi bagian dari-Nya, dan bahwa Dia bebas dari semua ketidaksempurnaan dan mengatasi semua kelemahan dan bahwa Dia tidak mempunyai keserupaan, sehingga Dia dan makhluk-Nya akan menjadi dua, dan bahwa Dia tidak mempunyai anak, sehingga akan menyebabkan-Nya menjadi berketurunan, dan bahwa zat dan sifat-sifat-Nya tidak berubah, dan bahwa Dia memiliki sifat-sifat sempurna itu yang diakui orang-orang beriman dan ahli tauhid, dan yang Dia telah menggambarkan Diri-Nya sebagai yang Mahakaya, dan bahwa Dia bebas dari sifat-sifat yang seenaknya dinisbatkan kaum sesat kepada-Nya itu, dan bahwa Dia Mahahidup, Maha Mengetahui, Maha Mengampuni, Maha Pengasih, Maha Berkehendak, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berbicara, dan Mahaabadi dan bahwa pengetahuan-Nya bukanlah keadaan di dalam Diri-Nya, atau kekuasaan-Nya bukannya tertanam dalam-dalam di dalam Diri-Nya, atau pendengaran dan penglihatan-Nya bukannya berdiri sendiri di dalam Diri-Nya, atau pembicaraan-Nya bukannya terbagi-bagi di dalam Diri-Nya dan bahwa Dia bersama-sama dengan sifat-sifat-Nya ada secara abadi, dan bahwa apa yang diketahui bukanlah berada di luar pengetahuan-Nya, dan bahwa entitas-entitas sepenuhnya begantung pada kehendak-Nya, dan bahwa Dia selalu berbuat menurut apa yang Dia kehendaki, dan menghendaki yang Dia ketahui, dan tidak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya dan bahwa takdir-Nya adalah fakta absolut dan bahwa wali-wali-Nya tidak mempunyai daya apapun selain penyerahan dan bahwa Dia adalah satu-satunya yang menentukan baik dan buruk dan satu-satunya yang pantas diharapkan atau ditakuti dan bahwa Dia menciptakan semua keuntungan dan kerugian dan bahwa Dia sendiri yang memberi keputusan dan keputusan-Nya serba bijaksana, dan bahwa tidak ada yang mempunyai kemungkinan mencapai-Nya dan bahwa para penghuni surga akan melihat-Nya, dan bahwa penyerupaan tidak mungkin, dan bahwa istilah-istilah seperti ‘berhadapan’ dan ‘melihat’ ‘saling bertatap muka’ tidak bisa diterapkan pada wujud-Nya, dan bahwa wali-walinya bisa menikmati kontemplasi tentang-Nya di dunia ini.’

Mengulang-ulang kalimat tauhid ‘Laa Ilaaha Illallaah’ adalah sebuah upaya yang agung, berbuat kebajikan dan tidak melanggar larangan Tuhan merupakan tindakan yang saleh, dan muroqobah tidak lain merupakan upaya yang unik, walaupun rangkaian upaya ini adalah merupakan jalan yang lurus, namun pengetahuan tentang ke-esa-an-Nya terserah kepada-Nya, ingin mengkaruniakan kepada manusia dengan banyak atau sedikit atau bahkan tidak sama sekali, seperti yang termaktub didalam firman-Nya :
'Dan kamu bisa berkemauan untuk menegakkan tauhid hanya karena kehendak Allah, Tuhan Penguasa semesta alam. (QS 81 : 29)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar