Kamis, 05 November 2009

TAKDIR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah, kepada-Nya-lah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. (QS 12 : 67)

Agama disisi Allah adalah Islam, yang mempunyai pengertian berserah diri kepada-Nya. Oleh karena itu, janganlah ikut mengatur, karena mencipta dan memerintah hanyalah milik-Nya, seperti dalam firman-Nya : 'Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.' (QS 7 : 54). Yang perlu disadari, bahwa manusia dicipta oleh-Nya sangat unik, atas keperkasaan-Nya, Dia menciptakan hasrat untuk mengatur dan memilih (kehendak) ini, lalu memberikan jubah itu kepada manusia, dan ini tidak diberikan kepada makhluk lain, bahkan malaikat pun, tidak. Sesungguhnya, Dia ingin menguji makhluk yang mempunyai akal ini (manusia), barang siapa yang mampu memelihara dan menyimpan jubah itu secara baik dan meyakini bahwa yang berhak mengenakannya hanyalah Allah, maka ia akan terbang melebihi malaikat, dan sebaliknya barang siapa berani mengenakannya ia akan jatuh ditelapak kaki syaithoon. Seperti anak kecil yang menerima duplikat topi mahkota raja, lalu ia memakainya dan tentunya ia akan merasa bagai raja, merasa bagai raja saja, sudah merupakan syirik tersembunyi (khofi), apalagi bermain-main bagai seorang raja. Manusia harus selalu merasa bagai seorang budak bukan seperti raja yang memerintah. Dan sebaliknya, begitu ia mempunyai kesadaran bahwa kehidupan ini di dominasi oleh kehendak-Nya bukan kehendak dirinya yang merupakan biang keladi robohnya bangunan keimanan, maka ia tidak akan berani menyentuh jubah itu apalagi memakainya. Seperti doa seorang Syaikh yang agung : ‘Yaa Allah aku berkeinginan untuk tidak punya keinginan.’

Seorang murid merasa terganggu oleh perkataan istrinya, lalu menceritakannya kepada Syaikhuna :‘Setelah mengaji kok malah menurun upaya untuk mendapatkan rizki, bagaimana nanti untuk membiayai sekolah anak-anak ?’ Syaikh menjawab : ‘Mencari makan atau mencari nafkah bagi seseorang sudah merupakan naluri, tidak usah disuruh-suruh, naluri ini juga ada pada hewan, walaupun qadarnya berbeda, hewan pun setiap harinya mencari makan, tanpa adanya keyakinan bahwa rizki itu sudah ditentukan qadar-nya untuk setiap makhluk, dan barang siapa manusia tidak yakin bahwa rizki itu sudah ditakar oleh Yang Maha Kuasa, maka manusia itu tak ubahnya seperti hewan, akan tetapi untuk peribadatan harus diupayakan dengan bersungguh-sungguh dan terus menerus melawan hawa nafsu.’ Allah SWT berfirman : 'Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'(QS 51 : 56). Ayat ini dapat ditafsirkan bahwa tidaklah mungkin Dia memberikan kewajiban kepada jin dan manusia (ciptaan-Nya), tanpa memberikan jaminan fasilitas-fasilitas kehidupan secara terus menerus di dunia ini, demi kelangsungan hidup makhluk-Nya.

Wahai sahabat, mengapa risau oleh sesuatu yang sudah Dia jamin,
Mengapa tidak risau kepada sesuatu yang Dia minta ?

Rukun iman yang ke enam ini, yaitu percaya bahwa baik dan buruk itu datangnya dari Allah, adalah yang paling sering dibicarakan oleh para murid, semua bicara sesuai dengan keadaan ruhaninya masing-masing, sesuai dengan tingkat tauhid-nya. Umumnya mereka berdiskusi apakah manusia ini mempunyai kehendak bebas (free will) ataukah sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai pilihan (jabar), maka terjadilah perdebatan yang sia-sia. Persis seperti kelompok yang menamakan dirinya qadariyah yaitu yang menganut paham yang pertama dan kelompok jabariyah yang menganut paham yang kedua.

Syaikh Hasan Al-Basri,r.a., pun pernah bertanya kepada Sayidina Al Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a., tentang hal ini, lalu dijawabnya : ‘Orang-orang yang tidak percaya pada ditentukannya (qadar) kelakuan-kelakuan manusia yang baik dan buruk oleh Tuhan adalah orang-orang kafir, dan bahwa orang-orang yang menisbatkan dosa-dosa mereka kepada Tuhan, adalah orang-orang keji.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah bercerita : ‘Seorang Syaikh mendapatkan pengetahuan penyebab kematiannya dikemudian hari, yaitu akan ada sebuah batu yang besar menimpa kepalanya. Lalu sang Syaikh berdoa pada setiap harinya agar murid-muridnya tidak berpaling disebabkan cara kematian yang demikian itu, kemudian, hari yang ditentukan-Nya pun tiba, dan sebuah batu kecil (kerikil) jatuh menimpa kepala sang Syaikh, dan wafatlah beliau.’

Cerita ini menggambarkan bahwa, mengambil jalan tengah antara kehendak bebas dan takdir, merupakan jalan yang bijaksana, oleh karenanya agama kita menganut yang demikian. Ada ‘upaya’ dalam cerita itu, yaitu dengan doa, walaupun takdir tetap dan harus berlaku, akan tetapi qadar-nya yang berbeda, jika tidak demikian, tidak akan ada doa nisfu syaban yang masyhur itu. Untuk itulah didalam kehidupan bertasawuf dikenal istilah maqom dan hal, maqom adalah keadaan ruhani seseorang yang dapat diupayakan melaui riyadhah dan mujahadah, sedangkan hal adalah keadaan ruhani seseorang yang langsung mendapakan karunia dari Allah SWT. Riyadhah adalah bersungguh-sungguh dalam menjalankan atau melaksanakan peribadatan atas bimbingan Syaikhnya, sedangkan mujahadah adalah terus menerus berperang melawan hawa nafsu.

Tlah kulewati berjuta rasa, semuanya pun berlalu
Apa lagi Tuhan ?
Mainkan peran-Mu itu,
Tak mengapa karena aku adalah milik-Mu

Rasulullah saw., bersabda : ‘Dunia ini adalah persemaian bagi dunia lain (akhirat).’ Tidaklah mungkin seseorang mengharapkan buah mangga sedangkan ia menanam pohon jambu, Syaikh Jalaluddin Rumi berkata bahwa kehendak bebas (free will) adalah usaha bersyukur pada Tuhan atas kemurahan-Nya dan kata-kata ‘Insya Allah, Jika Tuhan menghendaki,’ bukan berarti melemparkan semua tanggung jawab kepada-Nya, melainkan memotivasi manusia untuk dapat melakukan riyadhah dan mujahadah yang lebih keras lagi agar dapat mencapai tingkatan ruhani (maqom) yang lebih tinggi.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa aktif didalam dzikirnya khususnya pada latifatul qolbi, maka orang itu akan merasakan bahwa segala sesuatu adalah perbuatan Allah SWT.’ Tingkat ma’rifatnya akan terus bergerak, tingkat tauhidnya menjadi benar, akan tetapi jangan pernah dilupakan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sebagai Raja manusia ‘Malikin naas.’ Oleh sebab itu, diatas dunia ini banyak bermunculan raja-raja kecil atas kehendak-Nya, agar manusia dapat menarik pelajaran bagaimana harus bersikap (beradab) dihadapan rajanya, sebelum mereka harus bersikap dihadapan Raja di Raja. Jika raja memberikan lembaran-lembaran kertas yang berisi tindakan-tindakan yang harus dikerjakan oleh seorang rakyat jelata, maka haruslah dipatuhinya persis sesuai dengan lembaran kertas itu, dan jika dikemudian hari ia berhasil, akankah sang rakyat mengakui bahwa itu semua atas tindakannya sendiri? tentu sang raja akan marah dan menghukumnya karena adanya pengakuan. Seyogyanya sang rakyat berkata bahwa ‘keberhasilan ini semua atas petunjuk dan pertolongan sang raja, sesungguhnya tiada daya dan upaya tanpa pertolongannya,’ barulah sang raja akan ridho. Begitu pula sebaliknya, bila sang rakyat telah mengerjakan persis sesuai dengan lembaran kertas itu, namun ia gagal, jangan menyalahkan sang raja dan berkata ‘kegagalanku ini karena petunjuk raja’, hal ini akan membuat sang raja menjadi murka, seyogyanya sang rakyat jelata harus menunjukkan penyesalan dihadapan sang raja dan berkata ‘Aku telah menganiaya diriku sendiri, maka terimalah taubatku ini dan ampunilah dosa-dosaku,’ melihat sang rakyat merendahkan diri dihadapan raja dan mengakui segala kesalahannya, sang raja akan berkata ‘Aku ampuni segala kesalahanmu, sesungguhnya kesalahan-kesalahanmu itu, telah kutulis didalam lembaran-lembaran kertas yang engkau terima terdahulu.’

Yang lebih mudah untuk dimengerti bilamana seorang raja memerintahkan seseorang untuk memukul orang lain, lalu terjadilah pemukulan itu, yang harus diyakini bahwa memukul adalah kehendak Allah SWT, akan tetapi seseorang dilarang untuk menyenangi perbuatan itu atau menisbatkannya kepada Allah SWT, dia harus menyesalinya lantas bertaubat.

Allah SWT berfirman : 'Dan apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.' (QS 16 : 53)

Semua kembali bagaimana seseorang memandang perbuatan-perbuatan Tuhan atau dalam bahasa tasawufnya disebut tauhid af’al, semakin tinggi pengenalan seseorang terhadap Tuhan-nya maka semakin baiklah adabnya. Seorang murid bertanya kepada Syaikhuna : ‘Jika segala sesuatu datangnya dari Allah, untuk apa aku berdoa ?’ Syaikhuna menjawab : ‘Berdoalah terus ! hal ini untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Yang Maha Agung dan kita adalah hamba sahaya yang patuh, karena berdoa itu diperintah oleh-Nya.’

Syaikh Ibn ‘Athoo’illaah mendendangkan syair : ‘Janganlah permohonanmu engkau anggap sebagai sebab pemberian Allah, sehingga menjadi berkurang pemahamanmu mengenai-Nya. Hendaknya permohonanmu adalah demi menunjukkan penghambaanmu dan pemenuhan hak-hak Allah.’

Seperti pelukis, jika ingin melukis sesuatu, maka sebelum pena jatuh kedalam lembaran kertas, tentu sudah ada didalam benaknya bentuk apa yang ingin dilukis. Begitulah perbuatan Tuhan, karena manusia dicipta sesuai dengan citra-Nya. segala sesuatu yang akan terjadi sudah ada dalam Ilmu-Nya jauh sebelum manusia diciptakan. Bila demikian adanya, janganlah menjadi manusia yang begitu lukisan ditampakkan oleh-Nya, lalu akal berimajinasi, jika itu baik menurut pengetahuannya, ia akan berkata ini adalah upayanya, dan bila buruk menurut pengetahuannya, ia akan berkata bahwa ini adalah kehendak Tuhan. Dia yang menciptakan waktu dan ruang, mustahil Dia berada didalamnya, oleh sebab itu Dia menciptakan pertanyaan-pertanyaan berikut juga dengan jawaban-jawabannya. Nah, jika paham akan hal ini, maka subtansinya adalah, sesuatu yang hudust (terkemudian atau yang dicipta) wajib bersikap seperti seorang budak yang harus terus menerus menjaga ketundukkannya saat berhadapan dengan yang Qodim.

Jangan heran ! sampai sekarang pun engkau masih banyak hasrat
Padahal yang terjadi selalu sesuai dengan pilihan-Nya
Wahai sahabat, mengapa masih ada keraguan ?
Ketahuilah, itu adalah kejahilan terhadap takdir

Didepan kebanyakan murid-muridnya Syaikhuna sering berkata : ‘Buatlah benteng pertahanan dalam kehidupan, yaitu simpanlah sebagian hartamu untuk tindakan berjaga-jaga, jangan sekali-kali kalian gunakan kecuali dalam keadaan kepepet.’ Ujaran ini bukan untuk melemahkan keyakinan terhadap takdir, akan tetapi pengakuan dihadapan Tuhan bahwa diri ini masil lemah, dan belum mampu menghadapi datangnya tekanan-tekanan dikemudian hari, khususnya dalam hal kekurangan dan kemiskinan. Jika tidak, khawatir iman akan terkotori dan keyakinan menjadi goyah. Lebih baik menyadari, bahwa belum cukup kemampuan bersikap layaknya kaum yang bertawakal kepada Allah dan merasa belum sampai pada maqom itu, dari pada merasa sudah ada kemampuan untuk bertawakal. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Mukmin yang kuat lebih baik disisi Allah daripada mukmin yang lemah, pada masing-masing terdapat kebaikan.’ Yang pertama adalah, yang hatinya terpenuhi oleh cahaya keyakinan, ia yakin bahwa Tuhan akan memberikan rizki kepadanya, terlepas ia mempunyai perbentengan ataupun tidak. Dan meskipun ia tidak mempunyai perbentengan, Allah akan menyimpankan untuknya. Yang kedua, yaitu mukmin yang lemah, dikhawatirkan terjadi pergeseran keyakinan bahwa ia bergantung kepada perbentengannya, sementara orang yang bertawakal adalah orang yang bergantung kepada yang memberi perbentengan dan tidak kepada sesuatu selain-Nya. Nah, mukmin yang kuat adalah yang tidak bergantung kepada sebab-sebab dan usaha atau upayanya, sebaliknya mukmin yang lemah adalah yang bergantung dalam dunia sebab-sebab dan usahanya. Kita dapat menarik pelajaran dan hikmah pada ujaran Syaikhuna diatas, bahwasanya kita semua belum mendekati maqom tawakal, dan Syaikh pernah berkata : ‘Tawakal adalah pintunya ridha.’ Masih jauh sahabat ! seperti jauhnya jarak antara timur dan barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar