Kamis, 05 November 2009

ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

'Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.' QS 68 : 4 -,)

Seorang pemuda berdiri didepan pintu rubat, wajahnya putih, sorot matanya tajam dan berwarna hitam, menandakan ia mempunyai kecermatan dan ketekunan yang tinggi serta gemar melakukan tafakur. Rasa dahaga akan pengetahuan tasawuf membias dan menyelinap melalui jendela hati, bergegas ia mendekap tangan Syaikhuna dan menciumnya, lalu dengan bahasa isyarat inginlah ia mengantarkan ke rubat Syaikh Muhammad Baba as-Samasi. Didalam perjalanan, pemuda itu diam seribu bahasa, menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Burung gagak tak bisa menahan gairahnya, ia terbang kesana kemari, hinggap dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya, memamerkan ‘keindahan’ warna bulunya yang hitam legam. Gagak itu sudah melupakan balasan dari anak cucu Adam, tatkala pengetahuannya telah dicuri oleh Qobil di saat ia kebingungan tak tahu cara menguburkan saudaranya yang ia bunuh dengan tangannya sendiri yang bernama Habil.

Sekuntum mawar merah dan beberapa helai daun yang hampir layu berada di atas makam Hadrat Syaikh, ia sudah berada disana sejak beberapa hari yang lalu, Syaikhuna mendekap dan menciumnya, lalu menghadiahkannya kepada seorang murid sambil berkata : ‘Di makam yang agung ini, apapun menjadi wangi tak terkecuali daun ini.’ Sang murid menciumnya, ‘sungguh harum daunnya melebihi bunganya,’. Kejadian ini mempunyai makna tinggi, bahwa murid-murid Syaikh Muhammad Baba As-Samasi dikemudian hari telah mengharumkan thariqat ini melebihi keharuman gurunya, dari nama Kwajaganiyah berganti dengan Naqsyabandiyah. Akan tetapi biar bagaimanapun jua, murid-murid tetaplah sebagai daun-daun yang berada diantara dahan yang berduri dan guru adalah mawarnya.

Syaikhuna memerintahkan murid-muridnya untuk melakukan dzikir lathaif di makam yang agung ini. Tak bisa menahan gejolak kerinduan, burung-burung pun yang berada diatas pohon berkicau saling saut-sautan dan berterbangan diatas makam, mereka mengerti bagaimana dasyatnya tenggelam di hadirat Sang Wali Agung, Hadrat Syaikh Muhammad Baba As-Samasi.

Selesai berziarah, Syaikhuna berkenan mengijazah tharekat kepada pemuda yang mengantar tadi, yang ternyata adalah pengurus makam di rubat yang indah ini. Kegembiraan nampak diwajah pemuda itu, disimpannya naskah dzikir jahr dan lathaif kedalam baju dan menempel tepat didadanya, setiap ada orang yang mendekat ia memberitahukannya dengan menepukkan tangan kedadanya, ‘rahasia dan misteri Islam ada disini’ katanya. Semoga silsilah thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin oleh Syaikhuna bersambung sampai ke Bukhara dan menyebar keseluruh wilayah Uzbekistan sampai pada akhir zaman natinya, amiin Yaa allah Yaa Rabbal Alamiin.

Syaikh Muhammad Baba As-Samasi adalah seorang pelajar al-Azizan yang paling cemerlang, dilahirkan di Sammas, sebuah desa di pinggiran Ramitan, tiga mil dari Bukhara. Setelah dizinkan berbakti kepada Syaikh Azizan Ali ar-Ramitani, beliau melakukan khalwat setiap hari sampai mencapai maqam kemurnian. Sehingga suatu hari ia mendapatkan pengetahuan langit dari Syaikhnya. Beliau menjadi sangat terkenal dengan ketinggian maqam kewaliannya. Syaikh Azizan Ali Ramitani memilihnya sebagai penerusnya dan memerintahkan semua murid untuk mengikutinya.

Syaikhuna pernah bercerita, bahwa pada saat Syaikh Muhammad Baba As-Samasi melewati sebuah desa di Qasr al-‘Arifan, beliau berkata : ‘Aku mencium wangi seorang Pemegang Ilmu Spiritual yang akan muncul dan dari namanyalah seluruh thariqat ini akan dikenal. Aku lihat di masa depan ia akan menjadi pemandu bagi seluruh ummat manusia. Rahasianya akan menggapai seluruh orang-orang shaleh. Pengetahuan langit yang telah dicurahkan oleh Allah kepadanya akan memasuki setiap rumah di Asia Tengah. Nama Allah akan terukir (Naqsh) dalam hatinya. Dan thariqat ini akan dinamai dengan ukiran tersebut.’ Lalu beliau memerintahkan Sayyid Amir Kulal untuk mendidiknya dikemudian hari.

Syaikh Muhammad Baba As-Samasi pernah mengalami pengalaman spiritual “mi’raj”. Pada saat itu, beliau mendengar suara Rasulullah,saw., : ‘Layanilah Syaikhmu.’ Beliau wafat di Samas pada tanggal sepuluh Jumada al-Akhir, tahun 755 H. Beliau mempunyai empat khalifah, tetapi penerus silsilahnya diteruskan kepada Sayyid Amir Kulal .


Syaikh Al Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mengatakan bahwa menjelang wafatnya Hadrat Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyabandi (semoga Allah mesucikan ruhnya) berkata : ‘Sepeninggalanku, barang siapa ingin berziarah kepadaku, hendaknya dia berziarah ketempat guruku terlebih dahulu Syaikh Amil Kulal Al Bukhari, lalu berziarah ketempat ibuku, setelah itu barulah engkau boleh datang kepadaku.’ Dan beliau juga berkata : ‘Murid yang memasang adab kepada gurunya, manfaatnya untuk dirinya, kemajuan spiritualnya terbang mendekati cahaya.’

Syaikh Al-Jalajily al-Bashry berkata : ‘Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut syariat, jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syariat, tidak memiliki iman dan tauhid.’

Mendengar tentang adab membuat kulit kita menjadi merinding, bagaimana tidak, Nabi Muhammad saw diutus kedunia ini tidak lain hanya untuk ‘memperbaiki’ akhlak/adab, memperbaiki mempunyai pengertian membuat benar sesuatu yang rusak, perangkatnya adalah ‘Wahyu Illahi’ atau kitab suci, penutup kitab-kitab suci terdahulu, yaitu Al’Quran. Jika tugas kenabian seperti itu, maka tugas kewalian tidak jauh berbeda. Yang pertama mendidik manusia bagaimana mereka harus berprilaku dalam kehidupannya dan bagaimana hidup sebagai hamba-Nya, sedangkan yang kedua adalah memelihara kelestarian tradisinya. Tugas ini tidak mungkin bisa dilakukan hanya dengan cara memberi anjuran-anjuran saja, akan tetapi harus dengan menampakkan contoh-contoh, oleh sebab itu yang memberi contoh wajib berbusana adab yang tinggi, dan adab tertinggi bagi manusia adalah Rasulullah saw, seperti yang termaktub didalam firman-Nya diatas. Dan ketika Aisyah.r.a, ditanya tentang akhlak Rasulullah, dia menjawab : ‘Khulquhu-l-qur’an, akhlak beliau adalah al-Qur’an.’

Prilaku seperti itu hanya ada didalam kehidupan pengajian tarekat, karena seorang Syaikh di tengah para muridnya laksana Nabi Muhammad saw di tengah para sahabatnya. Ada murid yang berkehendak dan murad yang dikehendaki, murid menerima manfaat dan murad memberikan manfaat, manfaat diterima oleh murid bukan dari kata-kata saja melainkan dari prilaku Syaikhnya (murad), seorang murid wajib mencontohnya, karena didalam diri seorang syaikh berkumpulah himpunan tindakan-tindakan yang terpuji. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Seorang Syaikh adalah pewaris Nabi (warosatul anbiyai), dan derajat para Syaikh adalah sama dengan para Nabi bani Israil.’

Sayyidina Al Imam Muhammad Baqir r.a., berkata : ‘Tasawuf adalah kebaikan budi pekerti, ia yang mempunyai budi pekerti yang lebih baik, adalah sufi yang lebih baik.’

Syaikh Abu Hafs Haddad,ra., berkata : ‘Tasawuf sepenuhnya berupa tingkah laku, setiap waktu, tempat, dan keadaan lingkungan mempunyai adat kebiasaannya masing-masing, maka dia yang menyesuaikan diri dengan adat-adat kebiasaan pada setiap kesempatan, mencapai tingkat orang-orang suci, dan dia yang tidak mengindahkan adat-adat kebiasaan itu, maka akan jauh tersingkir dari pikiran tentang kedekatan dengan Tuhan dan tidak dapat membayangkan bahwa dia bisa diterima Tuhan.’

Syaikh Abul Hasan Nuri, ra., berkata : ‘Tasawuf tidak terdiri atas praktik-praktik dan ilmu-ilmu, tapi ia adalah moral (akhlak).’

Ciri-ciri orang yang disukai Tuhan adalah mempunyai adab yang baik, dan tidaklah mungkin manusia itu terluput dari perbuatan dosa, karena Tuhan menghendaki yang demikian, agar manusia tumbuh kesadaran bahwa ia tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya, hanya saja manusia diwajibkan memandang dosa adalah perbuatan yang tidak baik. Perhatikan sabda Rasulullah,saw., : ‘Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggamannya, seandainya kalian tidak melakukan dosa, niscaya Allah akan memusnahkan kalian dan menggantikan dengan kaum yang berbuat dosa, kemudian mereka meminta ampunan kepada-Nya dan Dia mengampuni mereka.’ Sifat membangkang ada pada diri setiap manusia, agar ia dapat merasakan manisnya kemenangan tatkala berperang melawannya, dan bagi yang tidak mampu memeranginya agar ia merasakan pedihnya penyesalan, untuk itu manusia menyikapi perbuatan dosa secara berbeda-beda, golongan pertama merasa biasa-biasa saja bila melakukan perbuatan dosa, karena kadung, sudah terlalu banyak noda-noda hitam didalam hatinya, golongan kedua merasa senang dan menikmatinya, dikarenakan Allah telah mengunci mati hatinya, dan golongan ketiga menyesali tindakannya lantas melakukan pertaubatan, golongan yang terakhir inilah yang disukai oleh Tuhan, yang termaktub didalam firmannya : 'Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.’ (QS 2 : 222) Nah, pertaubatan dan pensucian diri inilah salah satu bentuk adab kepada Tuhan. Oleh sebab itu, adab menuntut kedisiplinan terhadap aturan-aturan, bila berkaitan dengan keagamaan adalah disiplin terhadap hukum syariat, bila berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat adalah berbuat kebajikan dan bila menyangkut dengan cinta adalah penghormatan. Barang siapa secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi didepan orang banyak atau sedang sendirian merasa melulu dihadapan Rajanya, lantas dia merendahkan diri dan selalu menyebut nama-Nya, sungguh ia telah memelihara adab kepada Tuhanya dalam peng-esa-an secara terus menerus dan ini merupakan kebaikan yang melimpah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tidaklah pernah aku menyenderkan tubuh tatkala aku makan, karena seorang hamba yang diberi makan oleh Tuannya harus merasa rendah dan mengerti cara bersyukur.’

Meraih cahaya adab tidaklah mudah, harus selalu berdekat dengan sumber cahaya, disamping tekun menjalankan seluruh perintahnya (riyadhah), Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bila kacang hijau ditebar, lalu dinyalakan sebuah lentera, maka yang tampak bercahaya adalah yang terdekat.’ Terdekat disini bukan saja secara phisik, akan tetapi hati yang selalu terhubung dengan Syaikh. Terhubungnya hati tidak terjadi begitu saja, murid harus mempunyai cawan untuk menerima curahan samudra ilmu, cawan didapat atas perkenan Syaikh dengan jalan memberikan pekerjaan-pekerjaan tarekat atau aurad (wiridan), semakin giat seorang murid menjalankan pekerjaannya maka semakin besar pula cawannya, dan akan semakin bercahaya adab-nya.

Semua murid berlomba ingin berbakti kepada Syaikh dengan ke-ada-anya masing-masing. Ada murid yang tanpa sadar memberi ‘perintah’ kepada Syaikh merasa sudah berbakti, sebagai contoh : ‘Syaikh mohon dapat hadir kerumah saya ada selamatan rumah baru.’ Lalu ada lagi ‘Syaikh dirumah saya ada sunatan masal, kalau tidak keberatan mohon kehadirannya,’ ada lagi ‘Syaikh jam dinding di rubat mati, dan beberapa tempat bocor.’ Mendengar ‘perintah’ ini Syaikh bergegas memenuhinya, dengan mengganti jam yang mati dan menutup tempat-tempat yang bocor, seharusnya seorang salik harus lebih dulu betindak daripada syaikhnya bukannya memberi ‘perintah'. Ada juga yang menganggap bahwa syaikh seorang ‘dukun’, ada pula yang menganggap syaikh seorang ‘peramal’, juga ada yang menganggap syaikh adalah seorang ‘paranormal’, dan ada yang bertanya tentang ilmu-ilmu ‘kesaktian’, bahkan ada pula yang menguji tentang ilmu agama. Ketika seseorang berkata : ‘Syaikh si fulan wiridan dengan membaca ‘anu’, bolehkah saya membacanya ? Syaikh akan menjawab : ‘Boleh, mangga (silakan dalam bahasa sunda).’ Serentetan peristiwa diatas adalah adab yang buruk, yang akan menutup amal seseorang, walaupun orang itu tidak menyadarinya. Untuk itu gunakan nuranimu tatkala bersama dengan Syaikh, bila ingin bertindak, mintakan pendapat terlebih dahulu kepada murid-murid Syaikh yang terdekat. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Sudah merupakan hidayah bagi seseorang dapat mengaji disini, walaupun tujuannya ingin sakti, kaya, atau coba-coba, biarkan saja.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Janganlah memberi sesuatu pun kepada sesorang Syaikh, bilamana setelah memberi hatimu merasa lega seolah-olah sudah mampu berbakti, lalu berkuranglah rasa cinta kepada Syaikhnya.’ Dan beliau juga berkata : ‘Jangan pernah mengukur kecintaan seorang Syaikh kepada muridnya, tak akan mampu kalian mengejarnya.’ Wejangan ini sangat terselubung maknanya, bagi murid-murid terdekat dapat melihatnya secara jelas, terang benderang bak disiang hari, dan akan sebaliknya bagi murid yang malas dalam pekerjaannya.Untuk mencapai keadaan seperti itu tidaklah mudah, banyak melakukan latihan memberi sesuatu yang terbaik dan yang dicintainya adalah tindakan awal untuk melemahkan keterkaitan kepada dunia, lalu memeriksa gejolak jiwa setelahnya. Sesendok garam tak mungkin menambah rasa asin lautan, tak mungkin pula seorang murid mampu bertukar harta benda duniawi ini dengan ilmu langit yang diperoleh dari gurunya, karena harta benda dunia membuat gelap jalan-jalan dibumi dan ilmu dzikir akan membuat terang jalan-jalan dilangit.

Syaikh selalu meliburkan kholaqoh dzikir dibulan suci Ramadhon, seolah-olah raudhah min riyadhil janah (taman daripada taman surga) ‘ditutup’. Surga adalah tempat bagi orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah atau yang telah diampuni dari segala dosanya, dan barang siapa ditakdirkan memasuki kholaqoh dzikir sama artinya telah merumpun ditaman surga dan dosa-dosanya telah diampuni, jika tidak demikian, maka mereka tidak berada disitu. Seperti yang disampaikan oleh sahabat Jabir,r.a., bahwa Rasulullah mendatangi kami dan beliau bersabda, ‘Wahai ummat manusia, merumputlah di padang taman Surga!.’ Sahabat bertanya, ‘Apakah taman Surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Majelis orang-orang yang berdzikir.’ Seorang Syaikh berkata : ‘Lima menit berada didalam kholaqoh dzikir, sama dengan melakukan ibadah sunah selama tujuh tahun.’ Tidak bertemu dengan Syaikh dalam beberapa hari membuat hati terasa pedih, kerinduan meluap, celah ini membangkitkan gairah agar tetap bisa melayani dan berbakti kepada Syaikhnya. Gejolak kerinduan ini membuat murid-murid berkeras ingin berdekat dengan cahaya, karena tak mungkin kerinduan terobati tanpa adanya perjumpaan, untuk itu beberapa murid memberanikan diri mengundang Syaikh untuk dapat berbuka puasa bersama, atau kegiatan-kegiatan lainnya.

Dalam suatu pertemuan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ’Saya mendapatkan kebahagiaan berada disini bersama-sama dengan para sahabat dapat berbuka puasa bersama, walaupun kholaqoh dzikir diliburkan, akan tetapi Allah menakdirkan kita dapat berkumpul disini.’ Kata ‘Saya bahagia’ diucapkan lebih dari tiga kali, berarti mempunyai makna yang tersembunyi. Orang awam akan senang mendengarnya, seolah-olah Syaikh telah merasakan seperti apa yang dia rasakan, dan merasa telah berbakti kepada Syaikhnya, terkadang terlupakan bahwa inti pengajian tasawuf adalah untuk dapat melihat makna segala sesuatu bukan bentuknya. Tirai penghalang akan terbuka manakala makna puasa terpahami, keberpatangan dari makan dan minum adalah puasanya anak kecil, akan tetapi mengurangi pertemuan dengan orang lain, dan mengekang lidah agar tidak banyak bicara adalah puasa yang bermutu tinggi, agar cahaya keberpantangan yang berada didalam dada tidak pergi, agar isyarat berupa mimpi-mimpi tidak lenyap. Bukankah sebagian rukun kewalian itu adalah berpuasa disiang hari, terjaga dimalam hari dengan melakukan peribadatan, selalu dalam keadaan berdzikir dan sedikit bicara. Dalam perjalanan pulang, Syaikh menjelaskan makna kata ‘Saya bahagia’ yaitu : ‘Kita semua telah kalah dalam bermujahadah, keberpantangan dari kesenangan telah tersinakan malam ini, dengan ‘berpesta bersama-sama’, dengan menikmati makan yang enak dan sepuas-puasnya serta mengumbar bicara dengan sahabat yang lain. Nyaris terlupakan bahwa kita sedang berpantang (berpuasa) dari kesenangan dan sedang berada didalam bulan suci Ramadhon.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Segala macam kekotoran, segala macam kerusakan akhlak, adalah terlalu lancarnya segala macam kehidupan di alam semesta ini, kita lakukan menurut kehendak yang kita senangi, dan sebaliknya sebuah kesucian adalah berpantang atas itu semuanya, dibungkamnya indriawi kita, dibungkamnya indra perasa kita, berarti dibungkam juga cakap-cakap hati kita, fikir-fikir kita, hanya ditujukan kepada Allah SWT saja.’

Berbakti dapat diartikan memberikan manfaat kepada yang menerimanya, mari kita lihat kedalam diri, apa mungkin seorang murid memberikan manfaat kepada gurunya ? jawabnya tidak ! Rasulullah, saw., berkata : ‘Pemimpin suatu kaum adalah mereka yang melayani kaumnya itu.’ Seorang murid masih dikendalikan oleh egonya. Dan ego itu masih terlalu erat terkait dengan dunia, jika tidak berhati-hati, maka segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan untuk kemajuan spiritualnya tertutup. Jalannya sederhana ‘patuh’ atas perintah Syaikh. Jika hati meronta-ronta (syahwat) mengajak untuk mengajukan sesuatu yang berupa pertanyaan dan ajakan kepada Syaikh, atau yang berhubungan dengan kepentingan diri, lawanlah! urungkan niat itu. Jika tidak mampu menahannya, periksalah, hal itu untuk Syaikh ataukah untuk konsumsi ke-akuan. Syaikh selalu mempunyai waktu yang khusus dengan Kekasihnya, waktu yang tepat untuk berziarah kepadanya adalah diantara jam delapan sampai jam sebelas pagi, atau setelah sholat Asar sampai dengan jam lima sore. Jangan pernah bertelepon jika tidak dalam keadaan darurat, apakah tega, kalian melihat Syaikh sedang makan sambil berbicara di telpon, sedang mimpin majlis terpotong oleh telpon, sedang bekerja memelihara atau menyiram pepohonan sambil bertelepon, sedang bercengkrama dengan anak-anaknya terganggu oleh telpon ? apa pangkat kalian berani bertindak seperti ini ? Pada umumnya yang dilakukan seorang murid kepada Syaikh adalah untuk diri-nya bukan untuk Syaikh-nya, pahamilah ini jika ingin memelihara kemajuan spiritual.

Suatu saat, seorang murid memberitahu murid yang lain, bahwa Syaikh memerintahkan untuk melakukan sholat sunat dua belas rakaat dengan enam kali salam, pada setiap rakaat setelah membaca Al Fatihah diwajibkan membaca surat Qaaf (surat ke lima puluh) dan dilakukan secara berjamaah di Mas’jid, juga dianjurkan untuk berpuasa pada hari Jum’at saja. Mendengar itu, sang murid berkata kepada murid yang memberitahunya : ‘Apa benar syaikh berkata seperti itu? karena pada kesempatan lain, Syaikh pernah berkata bahwa Rasulullah,saw., melarang sholat bejamaah dengan membaca surat yang panjang, khawatir menjadi fitnah dan berpuasa pada hari Jum’at saja dilarang, karena Rasulullah,saw., pernah bertanya kepada seorang sahabatnya yang sedang berpuasa pada hari Jum’at ‘apakah engkau berpuasa kemarin’ dijawab tidak, ‘dan apakah engkau berniat puasa untuk keesokan harinya’ dijawab tidak, lalu beliau berkata ‘kalau begitu berbukalah.’ Akan tetapi bila Syaikh memerintahkan, kita harus patuh, walaupun kita beranggapan bahwa itu bid’ah, karena Syaikh mengetahui dan melihat apa yang tidak kita ketahui dan tidak kita lihat.’ Kemudian murid itu, menyampaikan yang didengarnya kepada Syaikh, dengan berkata : ‘‘Syaikh menurut pendapat si fulan, jika sholat sunah ini dilakukan secara berjamaah dan berpuasa pada hari Jum’at saja, merupakan bid’ah,’ tanpa melengkapinya dengan kata-kata selanjutnya. Kontan saja, Syaikh menegur murid yang lancang itu dengan berkata : ‘Itu bukan bid’ah, karena ada tarekat yang melakukan sholat sunah nawafil (qobla dan ba’da shalat fardu) secara berjamaah, jika ingin ikutan silakan dan jika tidak ikutan juga tidak mengapa.’ Murid yang mengeluarkan pendapat dan beranggapan bid’ah telah melakukan tindakan yang tercela, karena didalam pengajian tarekat tidak diperkenankan membuat penilaian atas perintah Syaikhnya, walaupun bid’ah itu tidak semuanya buruk, ada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah, sedangkan murid yang kedua juga demikian adanya, karena menyampaikan informasi yang tidak lengkap. Kedua murid itu wajib bertaubat, agar nuur ala nuur tetap hinggap didalam dadanya. Untuk itu lebih baik diam dan merenungkan segala sesuatu yang diucapkan oleh Syaikhuna.

Seorang Syaikh dalam berbicaranya adalah mutiara-mutiara hikmah, ilmu dan rahasia yang meluncur deras dari dalam qolbunya, semua kata yang terangkai dalam sebuah kalimat, mempunyai makna yang bermutu tinggi, dan menjadi obat penawar bagi hati yang kumuh. Suatu ketika Syaikhuna bertanya kepada beberapa muridnya : ‘Jika kalian mempunyai uang yang telah diniatkan untuk peribadatan, akankah kalian berikan uang itu untuk pembangunan Mas’jid atau diberikan kepada Syaikhnya ?’ Sambil menangis seorang muridnya menjawab : ‘Saya hanya ingin bersama-sama dengan Syaikh diyaumil qiyamah nantinya, tidak dengan Mas’jid.’ Syaikh menagis tersendu-sendu mendengarnya, lalu beliau menjelaskan rahasianya : ‘Amal seseorang bagai debu yang berada diatas batu yang licin, begitu tertiup angin (riya) hilanglah debu itu, akan tetapi apabila uang itu diberikan kepada Syaikhnya, maka Syaikh akan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkan dengan ilmunya dan pahalanya dihadiahkan kepada siempunya uang.’ Ada kisah, seorang Syaikh diundang oleh murid-muridnya untuk berbuka puasa di suatu tempat, kebetulan tempat itu sedang membangun mas’jid yang hampir rampung, sesampainya disana, sebagian besar murid-murid itu langsung menuju ke mas’jid untuk melihat-lihat penyelesaian pembangunannya, tanpa memperhatikan Syaikhnya yang berjalan menuju padepokan kecuali hanya beberapa murid saja yang tidak terkecoh. Seorang murid berkata kepada murid yang lain, ‘Waktu berhaji, Syaikh sering ditinggalkan oleh murid-muridnya yang lebih suka itikaf di Masjidil Haram, sekarang aku melihat lagi murid-murid yang berpaling karena sebuah mas’jid’. Bangunan mas’jid dihormati, dijunjung tinggi, diperindah dan dipahat tiang-tiangnya serta karpetnya terbuat dari bahan pilihan, tetapi hati manusia dimana Tuhan bersemayam, dihancurkan. Bangunan yang terbuat dari batu, pasir dan semen hanyalah simbolik. Mas’jid yang sesungguhnya adalah hati manusia, hati mereka yang kosong dari yang lain kecuali hanya Allah semata, hati para Syaikh, para Wali dan Nabi. Itulah tempat ibadah sejati, yang terbuka bagi semua orang dan Tuhan pun bersemayam disana. Oleh sebab itu, Syaikh memerintahkan murid-murid yang berada di sana untuk memelihara kambing, agar dikemudian hari muncul kesadaran bahwa, kita semua ini laksana kambing yang sedang digembala oleh seorang Syaikh, yang selalu mendengar panggilan dan teriakan saja tanpa bisa memahami maknanya.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapapun yang telah baiat atau bertarekat, maka seorang Syaikh akan mengetahui tingkatan muridnya di masa lalu, masa kini, dan masa akan datang, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika dia berada di Timur ataupun di Barat, Syaikh akan memeliharanya dengan cahaya kecintaannya agar kehidupan keseharian murid-muridnya penuh berkah.’ Oleh karenanya, mari bersama-sama kita jauhkan kepura-pura-an dihadapan sang Syaikh, karena dia dapat melihatnya, bak melihat gunung disiang hari, dan Syaikh sangat mengerti, murid-muridnya berada di maqom apa. Dan munafiknya seorang guru adalah setinggi-tinggi maqom muridnya. Suatu hari, Syaikh bercerita, seorang murid dalam keadaan tertentu berkata : ‘Untuk menyelesaikan pembangunan Mas’jid, mohon perkenan Syaikh untuk menjual rumah yang saya huni.’ Syaikh menjawab : ‘Jangan lakukan.’ Istri Syaikhuna mendengar percakapan itu dan berkata : ‘Bagaimana ini ! ada murid mau beribadah, kok dilarang.’ Lalu Syaikh berkata dengan bijaksana kepada istrinya : ‘Kalau begitu mari kita mulai dari diri kita dulu, dengan menjual rumah yang kita huni.’ Mendengar jawaban itu sang istri terdiam. Lalu Syaikh melanjutkan bicaranya : ‘Jika aku setujui permintaannya dia tidak akan mampu melakukannya, karena maqom-nya belum berada disitu.’ Lalu Syaikh melanjutkan ceritanya, dengan berkeinginan seperti itu maqomnya sudah baik, tidak seperti murid yang berada di maqom ‘kagok’ begitu hajatnya terkabul dan memperoleh harta yang dicita-citakan, hatinya menjadi ‘goncang’ dan membatalkan niat-niat atau nazar-nazar yang telah diucapkan terdahulu. Kita patut bercermin, terhadap apa yang dilakukan oleh Hadrat Abu Bakar As-Siddiq,ra., ia menyedekahkan semua harta bendanya dan Hadrat Umar Bin Khatab,ra., menyedekahkan separuhnya, setelah bertindak, barulah mereka melaporkannya kepada Rasulullah saw., yang membuat beliau bertanya : ‘Apa yang engkau tinggalkan untuk istri dan anak-anakmu ?’ dijawab oleh Hadrat Abu Bakar As-Siddiq,ra., ‘Allah dan Rasulnya.’

Nuurun alaa nuurin, sangat mahal harganya, persis seperti dijaman Nabi saw, tidak semua yang berdekat dengan beliau akan memperolehnya, bahkan tidak sedikit jumlahnya justru melawannya, ini berlaku juga pada kehidupan Syaikh, boleh jadi yang secara phisik berjauhan malah mendapatkan hidayah untuk mengaji dan berdekat dengannya, dan sebaliknya tetangga terdekatnya malah ada yang menghujat dan memfitnahnya. Jika hidayah itu berkaitan dengan kedekatan secara phisik maka rahasia Allah mudah terungkapkan dan para istri, anak-anak dan kerabatnya akan habis-habisan berbakti kepada ayahnya atau Syaikh. Akan tetapi tidak demikian, terlalu banyak hijab-hijab yang menutupi rahasia Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang berjauhan secara phisik, ada yang di Palembang, Lubuk Linggau, Gresik, Ponorogo, Bandung, Jakarta bahkan di beberapa Negara di timur tengah justru mendapatkan hidayah berdekat dengan cahaya dan memperoleh barokah Syaikh secara terus menerus dan sebaliknya yang berdekat secara phisik justru menyia-nyiakannya.

Seorang Syaikh berkata : ‘Tak mungkin seorang murid sampai kepada Tuhan, sebelum dia merasa diawasi oleh Syaikhnya dalam setiap gerak-gerik kehidupannya.’ Ini syirik, kata seseorang kepada Syaikhuna, lalu beliau menjawab : ‘Masih lebih baik memperlakukan Syaikhnya bagai yang selalu mengawasinya, daripada mempertuhankan harta benda, istri atau anak-anaknya, atau bahkan egonya, seseorang yang merasa diawasi terus menerus oleh Syaikhnya akan membuat ia takut bebuat kejahatan lahir ataupun bathin, kemudian akan merasakan manisnya ibadah, mencintai para ulama, kemudian hatinya bergerak mencintai Nabinya Sayidina Muhammad Rasulullah saw., dan Allah SWT.’

Berlakulah bak selembar kain putih, guru melukis gunung kepatuhan dan danau kecintaan, akan tetapi engkau ikut-ikutan melukis sebuah pohon keangkuhan di danau kecintaan, apa jadinya ?, jelas bukannya kepatuhan dan kecintaan yang didapat, namun pembangkangan dan penyangkalan. Ini adalah dasar perjalanan bagi para murid, pemandu tidak berbekal apapun kecuali kecintaan, pengetahuan dan pengalaman ruhani. Dia ingin berbagi atas sesuatu yang tidak layak dibagi. Pendengaran, penglihatan dan geraknya atas perintah hatinya, dan hatinya atas perintah Tuhannya. Hatinya telah kosong dari selain-Nya, seperti selembar kain putih tadi yang di manipulasi oleh takdir-Nya. Jadi kita harus menyadari bahwa pelukis tidak memerlukan apapun kecuali kepatuhan dan kepasrahan, barulah goresan demi goresan akan menyatu menjadi seni yang indah yang menghiasi kain putih, Barulah keindahan akan naik kepermukaan, orang yang melihatnya akan terkagum-kagum atas tindak tanduknya, tumbuh-tumbuhan yang dilewatinya akan bershalawat untuknya, binatang yang didekatinya akan bertasbih memuji-Nya. Itulah perumpamaan orang-orang yang dikaruniai adab yang tinggi.

Para sahabat, bukanlah disebut seorang murid bila tidak melakukan kesalahan, dan pantang bagi orang yang bertarekat ada rasa yang tidak nyaman lalu bersarang lama didalam hatinya, karena ‘marahnya’ seorang syaikh adalah barokahnya, seorang murid dimata seorang syaikh bagai bayi yang sedang belajar berjalan dan berbicara.

Atas perkenan Syaikhuna, berikut adalah sebagian inti sari ‘adab murid terhadap guru’, dari Syaikh Muhammad Amin al Kurdi, (semoga Allah meridhainya) sebagai berikut :

1. Seorang murid harus mempunyai suatu keyakinan yang kuat bahwa cita-citanya tak akan pernah tercapai tanpa bantuan dari sang guru. Berlindunglah segera kepada Allah SWT, agar perhatian tidak terpecah kepada guru yang lain, karena hal ini akan mengakibatkan, jalan menjadi tertutup, cahaya akan padam, guna menyerap ilmu darinya.
2. Berserah diri dan menerima dengan lapang dada dalam mengikuti bimbingan guru. Ia juga harus khidmat melayani guru dengan rasa senang, rela dan ikhlas hatinya, hanya karena Allah SWT. Karena cinta (Mahabbah) tidak akan diperoleh kecuali melalui jalan ini.
3. Tidak menyalahkan tindakan yang diperbuat oleh guru, sekalipun hal itu jelas bertentangan dengan pengetahuannya. Tidak bertanya, “Mengapa Syaikh melakukan ini ?” Karena seorang murid yang mempertanyakan tindakan gurunya, tidak akan pernah beruntung selamanya. Tidak jarang terjadi bentuk tindakan seorang guru yang tercela secara lahiriyah, tetapi sesungguhnya tindakan itu terpuji secara batiniyah, seperti riwayat yang terjadi antara Nabiyullah Khidir.as. dengan Nabiyullah Musa as.
4. Dalam berkumpul dengan guru, jangan sekali-kali punya tendensi selain untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5. Murid harus mutlak mengedepankan keputusan guru diatas keputusan dirinya dalam segala persoalan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, baik dalam keagamaan maupun tradisi. Termasuk diantara tanda-tanda seorang murid yang benar-benar setia, andaikata sang guru berkata kepadanya : “Minumlah ‘minuman’ itu.” Maka ia akan meminumnya.
6. Tidak menyelidiki prilaku guru dalam semua hal. Karena kadang-kadang sikap semacam itu dapat merusak, sebagaimana telah sering terjadi pada sebagian besar para murid. Hendaklah berbaik sangka kepada guru dalam semua urusan.
7. Menjaga kehormatan guru tatkala berjauhan sebagaimana menjaga kehormatan guru ketika sedang berada dihadapannya. Mengingat guru (rabithah) di dalam segala keadaan, baik ketika sedang bepergian maupun di rumah. Ini perlu dilakukan agar memperoleh berkahnya.
8. Menyakini semua keberkahan dunia dan akhirat yang diperoleh sebab berkah guru.
9. Jangan merahasiakan berbagai pengalaman spiritual yang dialami seperti kasyaf, karamah dan bisikan hati kepada sang guru.
10. Jangan berusaha mengetahui arti berbagai peristiwa yang dialami, mimpi-mimpi dan mukasyafah, sekalipun jelas. Jangan sekali-kali percaya pada itu semua. Akan tetapi sampaikan hal itu kepada guru dan jangan meminta jawaban. Tunggu saja jawabannya pada waktu yang lain dan kalau tidak dijawab maka diamlah. Yakinlah diamnya guru karena hikmah. Dan apabila murid ditanya guru atau diperintahkan menerangkan sesuatu, maka ia harus menjawab seperlunya.
11. Jangan membuka rahasia gurunya.
12. Jangan menikahi wanita yang dicintai guru. Jangan menikahi janda bekas istrinya, baik karena dicerai atau ditinggal wafat.
13. Tidak mengajukan pendapat apabila sang guru meminta pertimbangan dalam hal melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Akan tetapi kembalikanlah persoalan itu kepadanya disertai dengan suatu keyakinan bahwa guru jauh lebih mengerti tentang persoalan itu dan tidak perlu meminta pendapatnya.
14. Jika ia menyadari ada perasaan bangga di dalam hati atas amal perbuatan dirinya, utarakanlah hal itu pada guru, supaya ditunjukkan obatnya. Jika ia tidak mengutarakan hal itu, maka sama saja ia membangun sikap pamer dan hipokrit di dalam hatinya.
15. Menghargai pemberian guru. Tidak menjualnya kepada siapa pun. Andaikata ia memberikan suatu pemberian gurunya, kadang-kadang di dalamnya mengandung rahasia orang-orang fakir yang akan menolongnya di dunia dan akhirat serta mendekatkan pada Allah.
16. Menjadikan kesungguhan hati sebagai modal utama dalam mencari guru. Karena semua guru (masyaikh) sepakat, seorang murid yang benar-benar percaya penuh kepada gurunya, akan merasakan manisnya mari’fat pada Allah di dalam satu tempat pertemuan dari awal perjumpaannya.
17. Tidak mengurangi kepercayaan terhadap gurunya, apabila ia melihat sang guru mengalami degradasi dari posisinya karena banyak tidur malam atau kurang hati-hati dalam menjalankan hukum dan lain sebagainya.
Karena tidak jarang juga seorang wali mengalami kelalaian pada saat lupa. Tetapi tidak lama kemudian tumbuh kesadarannya kembali dan segera menyadari kelalaian yang dialami. Maka ia menyusuli apa yang tertinggal dan menutupi cacat. Semua itu adalah sebagai petunjuk dari Allah pada para murid agar sabar mempelajari kelalaian yang terjadi pada gurunya dan para wali. Bagaimana mereka dapat melepaskan dosa-dosa apabila kelalaian yang terjadi pada gurunya itu menimpa juga pada diri mereka.
Kadang-kadang Allah menampakkan kepada seorang wali kekurangan yang menimpa dirinya berdasarkan kejujuran sang wali dalam rela menerima takdir Illahi. Allah memberitahu kepada para wali tentang perubahan kejujuran atau kebohongan mereka agar mereka bersyukur atau memohon ampun ketika mereka telah sadar. Seorang sufi berkata : “Tergelincirnya orang-orang yang dekat Allah (al-muqarrabin) adalah dalam rangka mengangkat kedudukan mereka.”
18. Kalau mau menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu. Jangan menghadap guru dalam waktu sibuk, atau dalam waktu istirahat. Dan kalau sudah menghadap, jangan bicara sesuatu kecuali yang menyenangkan hati guru serta harus tetap menjaga kesopanan, jangan memandang keatas, melihat kanan dan kiri, atau bicara dengan teman. Tetapi menghadaplah dengan penuh perhatian terhadap perkataan guru. Karena su’ul adab kepada guru bisa menjadikan tertutupnya pintu hati. Dan seorang murid yang tidak mendapatkan keterbukaan hati, jarang sekali akan kembali lagi kepada gurunya. Jangan lama-lama berhadap-hadapan dengan guru, tetapi sekedar perlunya, kemudian segera memohon diri, kecuali jika dicegah oleh guru, maka juga harus menurut.
19. Murid harus merendahkan suara di tempat guru.
20. Tidak duduk bersila di atas kain sajadah di hadapan guru. Seyogyanya, ia duduk di tempat guru dengan sikap merendahkan diri dan melayani.
21. Melaksanakan tugas yang diperintahan guru dengan segera mungkin, tanpa berhenti istirahat dan menunda-nunda sebelum tugas itu rampung.
22. Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dibenci gurunya dan turut membenci apa yang dibenci gurunya.
23. Tidak duduk bersama orang yang dibenci guru dan mencintai orang yang dicintainya.
24. Bersabar atas sikap guru yang keras dan tidak mengacuhkan. Jangan sekali-kali bertanya, “mengapa guru bersikap demikian terhadap fulan, tapi tidak terhadapku ?”
25. Tidak menempati tempat duduk yang disediakan untuk gurunya. Tidak banyak bertanya. Tidak bepergian, tidak menikah dan tidak melakukan pekerjaan yang penting tanpa izinnya.
Seorang guru kadang-kadang memberikan kelonggaran kepada muridnya. Jika ia mencium bau kejujuran dan kesungguhan dari murid itu, maka ia akan membebani tugas-tugas yang berat dan akan bersikap acuh kepadanya. Ia akan menampakan sikap yang kasar kepadanya. Ini dilakukan untuk membunuh hawa nafsunya dan supaya ia tenggelam dalam cinta Illahi. Kadang-kadang sang guru bermaksud menguji, apakah murid itu benar-benar setia atau tidak.
26. Murid tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali sekedar yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara. Dan itupun perkataan-perkataan yang diizinkan untuk disebar luaskan.

Jika seorang murid telah diberikan kemampuan berbusana adab seperti diatas, maka sangat beruntunglah ia, karena akan terpelihara dari tindakan-tindakan bodoh yang menghambat perjalanan. Ini bukan pekerjaan ringan, murid yang bodoh akan menghafal urutan adab diatas lalu membicarakan kepada orang lain, sedangkan murid yang arif akan tekun melakukan riyadah dan mujahadah agar adab itu membenam kedalam dada dan mengejewantah di dalam tidak tanduknya, semoga Allah SWT mengganti perilaku kita yang buruk dengan tindakan-tindakan yang terpuji, amin yaa Allah yaa Rabbal alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar