Kamis, 05 November 2009

MATSUURA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Duhai matahari pagi !
Dihadapanmu, apa arti sebutir debu,
Yang tersiksa pedihnya rindu.

Kumpulan doa-doa mustajab yang biasa atau yang khusus dilantunkan oleh manusia terbaik sepanjang masa Sayyidina Muhammad saw disebut Ma`tsuura. Menurut Ustadz Marwan (semoga Allah mengasihinya) pemimpin pengajian di Palembang mengatakan bahwa, Syaikh Hasan Al Banna yang wafat secara syahid, telah berhasil menyusun doa-doa ini kedalam satu kitab, dan sampai saat ini umat Islam diseluruh dunia menggunakannya sebagai doa atau wirid harian.

Ma`tsuura juga dapat berarti sebuah nama seorang wanita setengah baya yang hidup di Bukhara, Republik Uzbekistan. Beliaulah yang menemani Syaikhuna selama beberapa hari berziarah ke makam para ahli silsilah tarekat Naqsyabandiyah. Jumlah ahli silsilah yang berada di Bukhara sebanyak delapan, akan tetapi mereka menyebutnya seven pir atau tujuh wali. Alasannya tidak diketahui, ke tujuh wali tersebut adalah Kwaja Abdul Khaliq Al-Ghujdawani (w-1220), Syaikh Arif Ar Riwakari (w-1239), Kwaja Mahmud Al-Anjir Al-Faghnawi (w-1317), Syaikh Azizan Ali Ramitani (w-1321), Syaikh Muhammad Baba As-Samasi (w-1354), Syaikh Sayyid Amir Kulal Al Bukhari (w-1370), dan Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyaband (w-1388), walaupun masih ada seorang ahli silsilah lagi yaitu Syaikh Alaudin Al Attar (w-1400), akan tetapi beliau tidak dimasukkan kedalam kelompok seven pir ini. Sedangkan di Samarkand berjumlah tiga waliyullah yaitu Syaikh Ubaidillah Ah-Ahror As-Samarkand (w-1490), Syaikh Muhammad Az-Zahid Badaksyi (w-1529) dan Syaikh Darwish Muhammad (w-1562), jadi seluruhnya berjumlah sebelas ahli silsilah berasal dari Bukhara As-Syarif dan Samarkand. Persis seperti jumlah prinsip pada tarekat ini, delapan berasal dari Kwaja Abdul Khaliq Al-Ghujdawani dan tiga berasal dari Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsyaband.

Masih ada ulama-ulama lain yang tersohor dan mempunyai kedudukan yang tinggi, sebut saja Imam Bukhari periwayat hadis yang termasyhur itu, yang dapat menghafal lebih dari tiga ratus ribu hadis, dan dapat memisahkan hadis yang shahih, dhaif dan palsu. Lahir di Bukhara dan dimakamkan di Samarkand. Seperti juga di negeri kita, masyarakat Islam menyebutnya wali songo, bukan berarti di masa itu hanya ada sembilan wali, masih ada beberapa wali besar yang hidup sezaman dengan mereka, namun tidak digolongkan kedalamnya.

Di negeri yang baru lima belas tahun merdeka dari tangan Uni Sovyet ini, bukan saja ajaran tarekat yang hampir hilang bahkan syariat Islam pun nyaris punah. Disinilah tiga tahun yang lalu Syaikhuna berkata kepada seorang muridnya : ‘Bulan terang di Bukhara,’ dan ucapan beliau ini sungguh-sungguh menjadi kenyataan, yang tadinya masjid-masjid kosong dari jamaah sekarang sudah mulai terisi, terlihat beberapa wanita sudah mengenakan jilbab, sudah ada yang melantunkan azan tatkala memulai shalat fardu, madrasah-madrasah mulai digunakan, buku-buku agama mulai dikumpulkan kembali, bangunan-bangunan yang hancur di rekontruksi. Naskah asli karya-karya agung para masyaikh terdahulu dikumpulkan dan disimpan didalam mesium, seperti mastnawi-nya Syaikh Jalaluddin Rumi dan Haft Aurang karya Syaikh Abdurrahmaan Jaami dari Parsi yang sempat mengabdi kepada Syaikh Ubaidillah Ah-Ahror As-Samarkand, sebuah koleksi yang berisi tujuh kisah dalam bentuk mastnawi, yang paling terkenal adalah kisah Yusuf dan Zulaikha.

Ma`tsuura, seorang wanita berusia lima puluh lima tahun, berperawakan besar dan masih tampak gagah, berbekal pengetahuan dari buku-buku yang dibacanya tentang tasawuf dan sejarah para masyaikh tarekat Naqsyabandiyah berikut ucapan-ucapan, ajaran-ajaran serta karomah-karomahnya, membuat ia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, untuk menjadi penunjuk jalan ketempat para masyaikh tersebut dimakamkan. Pagi-pagi, ia sudah berada di lobby hotel, udara yang dingin menyengat terkalahkan oleh kehangatan pengetahuannya, lalu seorang murid datang menemuinya, ia mengucap salam dan memperkenalkan diri, terjadilah perbincangan yang ringan dan serius. Begitu sang murid berkata bahwa kedatangannya disini untuk menyertai gurunya seorang Syaikh dari tarekat Naqsyabandiyah, M’atsuura terhenyak dan memekik dengan kerasnya, ‘Yaa Allah benarkah ?’ Bergegas ia mencocokan silsilah (atau ‘golden chain’ begitulah ia menyebutnya) yang diberikan oleh murid itu dengan buku yang dibawanya, mulailah airmatanya deras mengalir, ‘sungguh ini otentik’ katanya, seluruhnya sama sampai dengan urutan ahli silsilah yang ke tiga puluh satu, berulang-ulang hanya terdengar kata-kata ‘Yaa Allah … Yaa Allah … Yaa Allah’. Bagaimana tidak, sudah lebih dari tiga puluh tahun, ia sangat merindukan pertemuan dengan seorang Syaikh, khususnya ahli silsilah dari tarekat Naqsyabandiyah. Inginlah ia mendapatkan setetes anggur dari cawan biru samudera pengetahuan seorang Syaikh, karena ia menyadari bahwa pengetahuan tasawuf yang ia dapatkan dari buku-buku, sama sekali tidak memberikan manfaat kepada perubahan jiwanya.

Bukhara bercahaya karena ketinggian kedudukan para wali dari tarekat ini, dan melegenda keseluruh dunia yang karomahnya masih dibicarakan hingga saat ini. Bahkan para tehnokrat di negara Eropa dan Amerika dengan tekun membuat penelitian atas karya-karyanya dan tidak sedikit yang memeluk agama Islam karenanya, dan banyak juga yang hanya bisa terkagum-kagum lalu membuat komentar-komentar yang menakjubkan. Nyaris tidak ada lagi ahli silsilah didalam satu negara, yang turun temurun tanpa terputus berada disuatu kota sebanyak delapan Syaikh, berarti, cahaya ini terus menerus berada disana hampir empat ratus tahun lamanya. Diatas bumi ini, sejarah yang demikian mengagumkan hanya bisa terjadi di Bagdad dan Bukhara saja. Akan tetapi sangat disayangkan, peninggalan sejarah Islam, berupa bangunan-bangunan klasik dengan ornamen-ornamen khas Bukhara dan Samarkand yang sulit dicari bandingannya, dan keindahan ajaran tarekat ini dimusnahkan oleh tangan-tangan jahil, buku-buku tasawuf dibakar, rubat atau khanaqah tempat digemblengnya para salik di tutup, madrasah tempat menimba ilmu syariat disegel, bahkan tidak sedikit yang diratakan dengan tanah. Selama hampir tujuh puluh dua tahun lamanya, atau hampir tiga generasi tidak lagi mengenyam ajaran Islam, semua merasakan ketakutan dibawah cengkeraman penguasa yang komunis, kita bisa bayangkan seperti apa pelaksanaan syariat Islam disana. Sungguh kepedihan yang luar biasa, Islam masuk ke Indonesia dari negeri yang indah ini dan sekarang Syaikhuna datang untuk mengajarkan kembali sesuatu yang diterimanya dari sana. Alhamdulillah, ditengah-tengah puing-puing reruntuhan itu, masih ada yang tersisa dan sangat berharga, yaitu kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan waliyullah masih sangat tinggi, mereka meyakini bahwa barokah-barokah para wali inilah yang membuat alam semesta merunduk melayani kebutuhan makhluk. Maka dari itu, seorang Ma`tsuura nyaris tenggelam dan hanyut kedalam lautan cahaya, seolah-olah mimpi yang menjadi kenyataan, saat berhadap-hadapan dengan Syaikhuna.

Jangankan seorang Ma`tsuura,
Bumi pun lenyap tatkala berhadapan dengan Syaikhuna.

Hadrat Syaikh kadang-kadang Khoja (Hoja) Achmad, begitulah M’atsuura menyebut nama Syaikhuna, gelar yang biasa disemayamkan kepada para syaikh-syaikh agung terdahulu, dan beliau selalu berkata : ‘Apa yang akan saya sampaikan ini, saya peroleh dari membaca buku-buku, saya yakin Hoja Achmad lebih mengetahuinya, mohon saya ditegur bila ada hal-hal yang kurang berkenan.’ Hoja atau kita mengenalnya Kwaja atau jamaknya Kwajagan adalah gelar bagi seorang Syaikh yang sudah mencapai ketinggian maqom spiritual, lalu para pengikutnya memberikan sebutan tarekatnya mengikuti gelar gurunya. Oleh karenya tarekat ini mengalami perubahan nama dari abad ke abad. Semenjak masa Abu Bakar ash-Shiddiq,ra., hingga masa Bayazid al-Bistami,ra., dinamakan ash-Shiddiqiyah. Dari masa Bayazid al-Bistami,ra., hingga masa Hadrat Abdul Khaliq al-Ghujdawani,qs., dinamakan at-Tayfuriyah. Dari masa Hadrat Abdul Khaliq al-Ghujdawani,qs., hingga masa Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsybandi,qs., dinamakan Khwajaganiyah. Dari masa Syaikh Muhammad Bahaudin Syah Naqsybandi,qs., hingga kini masa Hadrat Syaikh Al Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) dinamakan Naqsybandiyyah.

Siapa bilang di Bukhara dan Samarkand tiada lautan,
Ketauhilah disana tidak ada apa-apa kecuali lautan,
Terceluplah sebentar wahai sahabat!
Sungguh merupakan kebahagiaan.

Bukhara, ‘the door of Islam’, begitulah masyarakat disana menamainya. Begitu banyak madrasah yang dibangun oleh ulama-ulama terdahulu, bangunannya sangat besar dan mengagumkan, bentuknya unik dan selalu mempunyai pintu gerbang (portal mereka menyebutnya) ber-ukuran raksasa dan mi’rab yang menakjubkan. Ornamennya indah perpaduan antara garis lurus yang saling menyilang ataupun sejajar yang membentuk bintang segi lima, delapan dan dua belas yang saling mengikat, menyilang dan simetris, ditambah dengan kombinasi warna biru yang dominan, serta warna hijau dan coklat muda. Tampaknya warna merah tidak digunakan dalam pembuatan ornamen-ornamen ini, alasannya tidak diketahui, akan tetapi didalam riwayat dapat kita jumpai, bahwa Rasulullah, saw., tidak memperkenankan seseorang tidur dengan beralaskan kain atau sprei yang berwarna merah. Dan begitu pula Syaikhuna, beliau melarang murid-muridnya mengenakan pakaian yang berwarna merah. Singkatnya, ciri-ciri madrasah dan rubat atau khanaqah adalah perpaduan antara ketelitian, kecermatan, ketekunan dan kejeniusan, dan kesemuanya ini tidaklah mungkin dapat dicapai hanya dengan menggunakan akal intelektualitas saja, melainkan didominanasi oleh kehebatan akal spiritual.

Pendidikan syariat Islam tidak dapat dipisahkan dengan tarekat dan sebaliknya, dimana ada madrasah, disitu selalu ada rubat atau khanaqah, bak dua helai serat bambu, tetap saja disebut serat, sebelum dibelitkan satu dengan yang lainnya, maka jadilah seutas tali yang kokoh, begitu pula bila pendidikan syariat yang disatukan dengan pendidikan tarekat, maka akan diperoleh hasil yang menajubkan, khususnya akan terbuka hakikat atas segala sesuatu dan pengenalan terhadap Allah SWT dengan sebenar-benar mengenal-Nya. Seperti didalam riwayat bahwa Rasulullah saw, sering bermimpi melihat susu dan tali, dan beliau bersabda : “Susu adalah Islam dan tali adalah Al Qur’an.” Ini bermakna bahwa susu merupakan minuman kehidupan lahir yang menyehatkan, dan Islam merupakan minuman kehidupan batin, sedangkan tali adalah pegangan untuk keselamatan, dan Al Qur’an pun demikian adanya. Mari kita melongok sebentar kenegeri kita yang tercinta ini, hampir setiap pelosok ada pondok pesantren dan pada umumnya pondok pesantern dibangun dengan dana yang terbatas dan hanya mengajarkan ilmu syariat saja, walaupun pengurus pondoknya ada yang bertarekat. Karena keterbatasan itu, rubat atau khanaqah dilupakan untuk dibangun, oleh karenya begitu seseorang lulus dari pondok pesantren jiwanya kering bak sebuah guci, di isi air ataupun tidak, akan mudah pecah bila terpukul sebuah palu. Bahkan ada seorang sahabat merasa khawatir, bila kelak nanti, seorang putranya yang sedang mengenyam pendidikan Islam di salah satu pesantren di Jawa Timur, akan menjadi ‘sombong’ dan banyak ‘meracau’ atas pengetahuan yang didapatnya, bukannya gemar mengamalkan hanya untuk Allah semata.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tidaklah dibenarkan seseorang yang bertarekat tanpa bersyariat, itu disebut zindiq, dan orang yang bersyariat tanpa bertarekat itu disebut fasiq.’

Istilah uwaisy sangat kental ditelinga mereka, adalah pengajaran ilmu tasawuf yang khusus secara spiritual tanpa harus bertemu secara lahiriyah, diambil dari nama Imam Uways Al Qurni yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw., walaupun Imam Uways belum pernah bertemu secara phisik dengan Rasulullah saw., akan tetapi ia mempunyai kedudukan yang tinggi, bahkan Rasulullah saw., pun ‘mengenalnya’ dan berkirim salam kepadanya, serta meminta doa untuk keselamatan umatnya. Oleh sebab itu, mereka sangat percaya bahwa apabila seseorang pergi ber ziarah kemakam seorang wali atau khususnya seven pir maka diyakini akan mendapatkan energi atau nuur secara uwaisy yang dapat membuka sesuatu yang tertutup, membuat wajah yang redup menjadi bercahaya, membongkar tirai-tirai kesedihan dan kepedihan serta mengendurkan ikatan didalam dada. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Setiap makam seorang wali dijaga paling tidak oleh dua malaikat, yang akan menunaikan amal-amal orang-orang yang berdatang menziarahinya.’ Nah, jika kita merasa golongan orang-orang yang tidak patuh terhadap perintah dan larangan-Nya, yang menjadikan doa-doa dan amal-amal mengambang diantara langit dan bumi, maka pergi berziarah kemakam para wali adalah merupakan tindakan yang terpuji.

Berjalanlah ke Bukhara
Sujudlah di Samarkand, tanpa itu !
Engkau tak kan mampu berjalan kedalam dirimu.

Pada umumnya, mereka membagi menjadi dua kelompok orang-orang yang bertasawuf, yang pertama mereka sebut darwish, yaitu kelompok yang tidak bekerja mencari nafkah, kesehariannya di isinya dengan beribadah secara keras lalu sebagai perongkosan kehidupannya ia hidup meminta-minta, yang kedua adalah kelompok yang hidup bermasyarkat seperti biasa dan bekerja mencari nafkah, akan tetapi melakukan riyadhah dan mujahadah secara tangguh serta mempunyai tekad yang luar biasa, setiap tahunnya kelompok ini melakukan khalwat selama empat puluh hari lamanya. Kelompok yang kedua ini, berawal dari kedatangan Syaikh Yusuf Hamadzan (1048-1140) pada abab kesebelas yang membimbing masyarakat di Ghujdawan, sebuah desa kecil empat puluh lima kilometer jaraknya dari Bukhara, dan diantara sekian banyak murid-muridnya, Syaikh Abdul Khaliq Al Ghujdawani lah yang paling menonjol. Lalu Nabiyullah Khidir a.s., juga berkenan membimbing beliau dengan kaifiat-kaifiat dzikir yang khusus dan hanya diberikan kepadanya. Bermakzab Imam Malik, dan ibunya adalah seorang putri mahkota dari seorang Raja Seljuk Anatolia. Delapan prinsip Naqsyabandi adalah karya beliau yang momental.

Setelah tiga puluh menit perjalanan dari Bukhara, sampailah disuatu jalan panjang yang berusia lebih dari dua ribu tahun ‘the great silk road’ atau jalur sutra dunia, mereka menyebutnya, tampak dikanan dan kiri pohon buah anggur, apricot, hurma (bukan kurma, sejenis kesemek) dan kapas, alamnya datar dan berdebu. Kita masih ingat, tatkala sutera menjadi alat tukar dan mempunyai nilai yang strategis dibanding emas. Dari Turki dan Persia mereka membawa batu-batuan berharga yang ditukar dengan sutera China, seekor kuda dihargai dengan sepuluh meter sutera, perdagangan dengan cara barter ini melalui Bukhara, Samarkand dan Tashkent, karena itulah jalur ini mereka sebut the great silk road.

Pagi itu, langit sungguh cemerlang, lembaran biru menghampar dari ujung timur sampai ke ujung barat, bila langit ini bersambung dengan lautan akan terlihat seperti penjara bagi mahkluk yang tak kenal membalas budi, dibelakangnya ada neraka jahanam yang hingar bingar menanti kekasih mereka, disisi lain ada tempat yang indahnya tak bertara, juga sedang duka menanti makhluk yang mabuk cinta kepada Tuhannya. Akan tetapi sang Syaikh tidak mempedulikan itu semua, hiasan-hiasan alam semesta itu tidak menggodanya untuk berpaling menuju makam dari seseorang yang mengharumkan agama Islam dan hidup bersama-sama Tuhannya. Tampak dari kejauhan pancaran keagungan cahaya kewalian, kemegahan rubat dan makam yang elok, warna warni bunga mawar yang sedang merekah menambah indahnya suasana, seolah menyampaikan penyambutan dan penghormatan kepada Syaikhuna, bentuk makam dan bangunan dipenuhi dengan ornamen-ornamen dan kaligrafi ayat-ayat suci Al Qur’an yang mempesonakan, burung gagak hitam pun enggan terbang dan hanya bisa terpana menyaksikan cahaya ke-agung-an dan ketinggian kedudukan sang Wali Qutub, Hadrat Syaikh Abdul Khaliq Al-Gjuhdawani. Inilah desa Ghujdawan yang kecil tapi melahirkan seorang putra yang besar, Sultan para kwaja, yang telah melukis dunia dengan keindahan tutur kata dan perilakunya. Udara yang dingin pun tidak terasa lagi, bahkan diri ini pun lenyap dihadapannya. Terdengar sekelompak orang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an : 'Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. (QS 78:36-37)

Tak kuasa menahan gairah kerinduan, Syaikhuna bersimpuh dihadapan makam Hadrat Syaikh Abdul Khaliq Al Ghujdawani, alam pun mendadak berhenti, sekelompok orang tadi menjadi gagu, burung-burung gagak menjadi putih bulunya, yang ada hanyalah ‘pertemuan’ dan ‘perjamuan’. Doa pun meluncur dari mulut suci itu, para murid tak bisa menahan gejolak hatinya, bagai air yang mendidih terbakar cinta seorang Syaikh. Tak pernah dirasakan sebelumnya hujan air mata sehangat disana, bunga mawar pun layu menyaksikan dan merasakan kegalauan dan kerinduan yang mendalam yang dibawa-bawa oleh Syaikhuna beserta murid-muridnya, suasana hati mendadak berganti warna, berubah bak bayi yang kehausan, lalu menemukan puting susu ibundanya.

Setelah selesai upacara penghormatan dan perjamuan ini, M’atsuura berkata dengan lantang : ‘Aku lihat Hoja Achmad berbicara dengan Hadrat Syaikh.’ Mendengar ini, Syaikh hanya sedikit tersenyum tanpa berkomentar sedikitpun, lalu berbisik kepada seorang muridnya ‘itulah keutamaan seseorang yang memasang rasa ta’zim, tirai-tirai akan terbuka dan secara jelas ia dapat melihat sebuah batu hitam di kegelapan malam.’ Kemudian Syaikhuna di ikuti oleh murid-muridnya berjalan memasuki madrasah dan rubat. Bias ketangguhan riyadhah dan mujahadah para salik yang melakukan khalwat di rubat ini pun masih bisa dirasakan, sambil meneteskan air mata Syaikhuna berkata : ‘Inilah jejak-jejak para salik terbaik dan pembimbing terhebat yang melakukan khalwat di rubat yang indah ini, semoga Allah memlimpahkannya pula kepada kita, keadaan ketinggian ruhaninya dan rubat yang megah.’ Amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.

Delapan prinsip Tarekat Naqsyabandiyah karya Hadrat Syaikh Abdul Khaliq Al Gjuhdawani,qs. :

Yang pertama adalah hosh dar dam, hosh artinya pikiran dan dam artinya nafas, yang maksudnya adalah isilah nafas dengan selalu menyebut nama-Nya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa bernafas lalu tidak disertai dengan dzikir, maka ia akan menghirup kesulitan-kesulitan kehidupan. Ucapkan dalam hati ‘Allah’ tatkala mengeluarkan nafas dan ‘Hu’ tatkala menarik nafas.’

Yang kedua adalah nazhar barqadam, atau ‘perhatikan langkahmu’, disaat berjalan salik diwajibkan memandang kebawah, dimanapun kakinya berada disitulah pandangannya tertuju, sekali-kali tidak diperkenankan membelanjakan pandangannya kekanan dan kekiri, depan dan belakang, karena sesuatu yang dilihat akan segera mewarnai suasana hati, dan gangguan ini akan semakin meluas manakala pikiran terus menciptakan imaginasi-imaginasi, hal ini akan menutup cahaya ketuhanan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Hakikat nazhar barqadam adalah merasa rendah diri karena diawasi terus menerus oleh Allah SWT oleh sebab itu secara lahiriyah seorang salik diwajibkan untuk mengarahkan pandangannya ke jempol kakinya.’.

Yang ketiga adalah safar darwathon, adalah perjalanan atau hijrah dari kehidupan biasa masuk kedalam kehidupan kesucian, meninggalkan hal-hal yang subhat, tidak berlebihan menikmati hal yang halal, sedikit makan, sedikit tidur dan menjaga inderawinya. Dapat pula diartikan secara lahiriyah, yaitu pergi dari suatu tempat ketempat lain yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat batin, seperti yang sedang dilakukan oleh Syaikhuna dan murid-muridnya ini.

Yang ke empat adalah khalwat dar anjuman, merasa sendiri ditengah keramaian, atau hatinya selalu bersama-sama dengan Allah SWT walaupun jasadnya berada ditengah-tengah orang banyak. Keadaan ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui latihan yang keras, diawali dengan banyak menyendiri lalu melakukan dzikir dan kontemplasi, atau berkhalwat selama tiga, lima, sepuluh, dua puluh dan empat puluh hari. Untuk melatih ini Syaikhuna mengajarkan teknik dzikir : ‘Dikerjakan di tengah hutan tanpa ada orang lain atau di ruangan khusus, sikap berdiri menghadap kiblat, lemaskan dan matikan badan, lidah dilipat kelangit-langit lalu tutup kedua telinga dengan jari telunjuk, konsentrasikan kepada bunyi dengungan yang muncul dan isi dengan dzikir lathif … Allah … Allah … Allah, kerjakan terus sampai muncul adanya gerakan-gerakan yang indah.’

Yang kelima adalah yad kard, yad artinya mengingat (dzikir) dan kard adalah mengerjakan dzikir, jadi maksudnya adalah dzikir yang dilakukan secara terus menerus, yang diawali dengan dzikir nafi istbat (laa Ilaaha Illallaah) dengan lidahnya, yang kemudian bersama-sama dengan hatinya. Syaikhuna mengajarkan kepada murid-muridnya cara melakukan dzikir ini : “‘Laa ilaaha’ artinya ‘dinafikan’ (ditiadakan) yang lain, ‘illa Allah’ artinya ‘diisbatkan’ (dikukuhkan) ke dalam Qalbu, hanya Allah saja yang wajib disembah. Pada saat itulah Allah teresakan seesa-esanya, lupakan dulu anak, istri, harta benda yang kita cintai, perniagaan yang kita bangga-banggakan, termasuk diri kita, atau apa saja yang menjadikan kemusyrikan, yang mengotori Qalbu.”

Saat menyebut, ‘Laa’ yang berarti ‘tidak,’ bayangkan berupa cahaya berwarna keemasan, ditarik dari bawah pusar tiga jari, karena di situlah sumber enerji, enam harakat banyaknya sampai ke ubun-ubun kepala. Kemudian menyebut ‘illaaha,’ diturunkan ke pundak sebelah kanan dua harakat banyaknya. Lalu menyebut ‘illa Allah,’ diturunkan dari pundak sebelah kanan ke Latifatul Qalbi, tempatnya dua jari dibawah susu kiri, agak kekanan sedikit, dua harakat lamanya. Di situlah bercampur, tempat kerajaan syaithan, tempat keburukan, tempat kebahagiaan, tempat kebodohan, kesombongan indriawi, takabur dan segala macam penyakit hati. Saat itulah terhapus segala macam rasa gundah yang ada di dalam hati, kesusahan-kesusahan, keluhan-keluhan, sirna di saat itu, dengan mengatakan yang sebenar-benarnya Laa illaaha illa Allah.

Lalu ketika dzikirnya bertambah cepat, ‘Laa illaaha illa Allah...Laa illaaha illa Allah...Laa illaaha illa Allah,’ maka lupakan yang lain kalau ingin membersihkan tauhid, kalau ingin mengerjakan amal saleh, dan kalau ingin menjauhi kemusyrikan. Untuk mencapai Liqa Allah, lupakan semua yang lain. Yaa Allah aku sedang terpisah dengan yang lain, aku sedang berhadapan dengan Engkau saja.”

Yang ke enam adalah baz gasht, atau kembali kepada Allah. Bila pada saat melakukan aktivitas dzikir ismudzat (Allah … Allah … Allah) lalu pikirannya menerawang ke yang lain, kemudian datang kesadaran akan kelalaian ini, maka segera bacalah doa munajat ‘Illaahii anta maksuudi waridhooka matluubi a’tinii mahabbatakaa wa ma’rifatakaa yaa Arhamar yaa Rohimiin’ . Setelah itu berdzikir kembali seperti sebelumnya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengajarkan kepada murid-muridnya metoda dzikir baz gasht ini : ‘Pergunakan tasbih yang berjumlah 99, lalu mata dipejamkan, lidah dilipat keatas, jasad dimatikan, hadirkan rasa senang selalu bersama-sama dengan Allah SWT, lalu lakukan dzikir lathif kedalam latifatul qolbu (Allah … Allah … Allah), setiap hitungan yang ke seratus bacalah doa munajat ‘Illaahii anta maksuudi waridhooka matluubi a’tinii mahabbatakaa wa ma’rifatakaa yaa Arhamar yaa Rohimiin’ 3X. Ulangi lagi dari awal dan lakukan berulang-ulang.’

Yang ketujuh adalah nakahdasyt, atau mempunyai perhatian yang terus menerus terhadap gerak gerik qalbu dari selain Allah. Seorang syaikh berkata: ‘Barang siapa dapat menjaga hatinya dari selain Allah selama lima belas menit saja, sudah merupakan pendakian yang besar.’ Dan seorang Syaikh agung berkata : ‘Aku menjaga hatiku selama sepuluh hari dan kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.’

Yang kedelapan adalah yad dasyt, mengosongkan hati dari yang lain selain Allah SWT. Syaikhuna mengajarkan teknik yang tinggi untuk mengosongkan hati dari yang lain, dengan melakukan latihan yang sungguh-sungguh, terhadap kaifiat dzikir ini : ‘Kerjakan dzikir Jahr dan dzikir lathaif secara bersamaan, yaitu pada saat lidah mengucap Laa Ilaaha Illallaah, bersamaan dengan itu hati menyebut Allah .. Allah .. Allah, kerjakan ini sebanyak-banyaknya. Lalu setelah itu, meningkat dengan melipat lidah kelangit-langit, tetap mempertahankan gerakan dzikir jahr, akan tetapi yang menyebut Laa Ilaaha Illallaah adalah lidah hati, bersamaan dengan itu, lidah hati yang lain menyebut Allah … Allah … Allah dilakukan sebanyak-banyaknya sampai tenggelam dihadirat-Nya.

Disamping delapan prisip naqsyabandi ini, karya beliau yang agung dan masih dikerjakan oleh pengikut tarekat ini adalah Dzikir Khatm Khawajkan, dari segi bahasa memberikan pengertian Dzikir penutup para Kwaja (guru). Dan mempunyai keutamaan bagi yang membacanya, yaitu akan dipenuhi segala kebutuhannya, diperoleh apa yang diinginkannya, dicegah dari berbagai bencana, dinaikan kedudukannya beberapa derajat, serta muncul berbagai tajalli. Pekerjaan dzikir ini merupakan rukun bagi tarekat naqsyabandiyah, disamping dzikir ism zat (Allah) dan nafi isbat (Laa Ilaaha Illallaah). Dalam membaca dzikir ini ada beberapa etika yang harus dipenuhi terlebih dahulu, salah satunya adalah menutup pintu, ini dapat memberikan pengertian menutup pintu lahiriyah, yaitu pintu ruang dzikir dan menutup pintu batiniyah, yaitu menutup hati dari yang lain kecuali Allah selama membacanya. Lalu dikemudian hari Syaikh Ahmad Al Faruqi As Sirhindi Al Imam Rabbani (semoga Allah mensucikan ruhnya) menyusun juga khatm khawjakan dalam versi yang lain. Oleh karenanya pengikut tarekat naqsyabandiyah dapat melakukan satu diantara keduanya.

Khatm Khawajkan :
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ – الفاتحة

ثُمَّ إِلىَ أَرْوَاحِ آبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِلَى اْلمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَاْلكَرُّوْبِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَاْلصَّالِحِيْنَ وَآلِ كُلٍّ وَأَصْحَابِ كُلٍّ وَاِلَى أَرْوَاحِ أَبِيْنَا آدَمَ وَأُمِّنَا حَوَاءَ وَمَا تَنَاسَلَ بَيْنَهُمَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ – الفاتحة

ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ سَادَاتِنَا وَموَالِيْنَا وَأَئِمَّتِنَا أَبِيْ بَكْرٍ وَّعُمَرَ وَعٌثْمَانَ وَعَلِيٍّ ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَاْلقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ – الفاتحة

ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ اْلأَئمَّةِ اْلمُجْتَهِدِيْنَ وَمُقَلِّدِيْهِمْ فِي الدِّيْنِ وَاِلَى أَرْوَاحِ اْلعُلَمَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَاْلقُرَّاءِ اْلمُخْلِصِيْنَ وَأَئِمَّةِ اْلحَدِيْثِ وَاْلمُفَسِّرِيْنَ وَسَاِئرِ سَادَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ اْلمُحَقِّقِيْنَ وَإِلَى أَرْوَاحِ كُلِّ وَلِيٍّ وَوَلِيَّةٍ وَمُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ مِنْ مَشَارِقِ اْلأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا وَمِنْ يَمِيْنِهَا إِلَى شِمَالِهَا شَيْءٌ للهِ لَهُمْ – الفاتحة

ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ جَمِيْعِ مَشَايِخِ الْقاَدِرِيّةِ وَالنَّقْشَبَنْدِيَّةِ وَجَمِيْعِ أَهْلِ الطُّرُقِ وَخُصُوْصًا لِسَيِّدِناَ وَمَوْلاَناَ سُلْطَانِ اْلأَوْلِيَاءِ سَيِّدِ الشَّيْخِ عَبْدِ اْلقاَدِرِ الْجَيْلاَنِيِّ الْبَغْدَادِيِّ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ الْعَزِيْزَ وَسَيِّدِ الشَّيْخِ أَبِي الْقاَسِمِ الْجُنَيْدِيِّ الْبَغْدَادِيِّ وَسَيِّدِ الشَّيْخِ السِّرِّي السَّقَطِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ مَعْرُوْف اْلكَرْخِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ حَبِيْب اْلعَجَمِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ حَسَن اْلبَصْرِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ جَعْفَر الصَّادِق وَسَيِّدِ الشَّيْخِ أَبِي يَزِيْد اْلبُسْطَامِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ يُوْسُفْ الْهَمَدَانِي وَسَيِّدِ الشَّيْخِ بَهَاءَ الدِّيْن شَاْه النَّقْشَبَنْدِي وَحَضْرَةِ اْلأِمَامِ الرَّبَّانِي وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَأَهْلِ سِلْسِلَتِهِمْ وَاْلآخِذِيْنَ عَنْهُمْ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ – الفاتحة

ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ واَلِدِيْنَا وَوَالِدِيْكُمْ وَمَشَايَخِنَا وَمَشَايِخِكُمْ وَأَمْوَاتِنَا وَأَمْوَاتِكُمْ وَلِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيْنَا وَلِمَنْ لَهُ حَقٌّ عَلَيْنَا وَلِمَنْ أَوْصَانَا وَاسْتَوْصَانَا وَقَلَّدَنَا بِدُعَاءِ اْلخَيْرِ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ - الفاتحة

ثُمَّ إِلَى أَرْوَاحِ جَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ مِنْ مَشَارِقِ اْلأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا وَمِنْ يَمِيْنِهَا إِلَى شِمَالِهَا وَمِنْ قَافٍ إِلَى قَافٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ شَيْءٌ للهِ لَهُمْ - الفاتحة
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمِ 100
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ 79
قُلْ هَوَ اللهُ أَحَدٌ 1000
اَللَّهُمَّ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا كَافِي الْمُهِمَّاتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا رَافِعَ الدَّرَجَاتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا دَافِعَ اْلبَلِيَّاتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا مُحِلَّ اْلمُشْكِلاَتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ 100
اَللَّهُمَّ يَا شَافِيَ اْلأَمْرَاضِ 100
اَللَّهُمَّ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 100
صَلَوَة أُمِّيَّة 100
الفَاتِحَة لِحَضَرَةِ أِمَامِ خَواَجَكَانَ 1
الفَاتِحَة لسُلْطَانِ اْلأَوْلِيَاءِ سَيِّدِ الشَّيْخِ عَبْدِ اْلقاَدِرِ الْجَيْلاَنِيِّ 2
صَلَوة أُمِّيَّة 100
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ 1000
الفاتحة 1
صَلَوة أُمِّيَّة 100
الفاتحة لِحَضْرَةِ اْلأِمَاِم الرَّبَّانِي 1
صَلَوة أُمِّيَّة 100
الدُّعَاءُ
الفاتحة عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ 1
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعّلِيِّ اْلعَظِيْمِ 500
صلوة أمية 100
اَللَّهُمَّ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ أَعْطِنِيْ مَحَبَّتَكَ وَمَعْرِفَتَكَ وَصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
يَا لََطِيْفُ 16641

اَللَّهُمَّ يَا لََطِيْفُ يَا لََطِيْفُ يَا لََطِيْفُ يَا مَنْ وَسِعَ لُطْفُهِ أَهْلَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ نَسْأَلُكَ بِخَفِّي خَفِيِّ لُطْفِكَ اْلخَفِيِّ أَنْ تُخْفِيَنَا فِي ِخَفِّي خَفِيِّ لُطْفِكَ اْلخَفِيِّ اِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ اللهُ لَطِيْفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ اْلعَزِيْزُ. اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ يَا قَوِيُّ يَا عَزِيْزُ يَا مُعِيْنُ بِقُوَّتِكَ وَعِزَّتِكَ يَا مَتِيْنُ أَنْ تَكُوْنَ لَنَا عَوْنًا وَمُعِيْنًا فِي جَمِيْعِ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَحْوَالِ وَاْلأَفْعَالِ وَجَمِيْعِ مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرَاتِ وَأَنْ تَدْفَعَ عَنَّا كُلَّ شَرٍّ وَنِقْمِةٍ وَمِحْنَةٍ قَدِ اْستَحَقْقْنَاهَا مِنْ غَفْلَتِنَا وَذُنُوْبِنَا فَإِنَّكَ أَنْتَ اْلغَفُوْرُ الرَحِيْمُ وَقَدْ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ : وَيَعْفُوْ عَنْ كَثِيْرٍ، اللّهُمَّ بِحَقِّ مَنْ لَطَفْتَ بِهِ وَوَجَّهْتَهُ عِنْدَكَ وَجَعَلْتَ اللُّطْفَ اْلخَفِيَّ تَابِعًا لَهُ حَيْثُ تُوَجِّهُ أَسْأَلُكَ أَنْ تُوَجِّهَنِي عِنْدَكَ وَأَنْ تُخْفِيَنِي بِخَفِيِّ لُطْفِكَ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ آمِيْنَ الفاتحة

Hadrat Syaikh Abdul Kaliq Al Gjuhdawani wafat pada tanggal dua belas Rabi ul-Awwal 575 H (1179), dari sekian banyak muridnya, empat orang khirkoh sebagai Syaikh, dan penerus silsilahnya turun kepada Syaikh Arif Ar-Riwakri.

1 komentar: